43. Will Our Space Getting Bigger?

221 41 3
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Baca komen chapter kemarin, kayaknya kalian dendam banget ke si Fadel. So, here.

⚠️ harsh word

Selamat membaca

•••

Tidak baik berselisih terlalu lama, apalagi masih satu darah. Suasana rumah pun terasa begitu berbeda jika ada perang dingin di antara keluarga. Pun tidak ada yang mau keluarganya berjarak hanya karena suatu masalah.

Meski berkali-kali si kembar berpapasan di rumah, tetapi keduanya hanya memalingkan wajah, kemudian berjalan menjauh. Fadel tidak tahu jika diam-diam Dave selalu berharap semua kembali baik. Namun, lagi-lagi, sukma si bungsu terluka saat ingat itu, membuatnya tetap menjaga jarak. Dave pun tidak tahu jika setiap malam setelah hari itu---hari di mana Dave mengucapkan pergi---, Fadel selalu diselimuti khawatir. Khawatir jika adiknya itu akan pergi dengan cepat. Khawatir jika dirinya tidak bisa memangkas jarak.

Pagi setelah sarapan, bersamaan dengan Tio yang pergi menuju rumah sakit dan Rina yang berkunjung pada teman lama, Hayden kembali dari rumah sakit.

Di ruang keluarga, sudah ada sang istri dan dua putranya yang sudah berseragam rapi. Segera, setelah membersihkan diri, Hayden mengajak kedua putranya untuk berangkat ke sekolah, diantar.

Si bungsu meminta dibekali makanan untuk istirahat. Hanya roti lapis berisi keju dan susu, serta beberapa potong buah-buahan. Dave tahu, kakaknya pasti akan menuju kantin nanti. Karena ingin menghindar, maka dari itu, ia membawa makanan.

Di perjalanan, tidak ada suara terdengar, selain suara kendaraan lain dari luar. Sesampai di sekolah, keduanya langsung keluar mobil tanpa berucap apa pun, selain pamit.

"Fadel, Dave," panggil Hayden, membuat mereka menghentikan kegiatan menutup pintu. "Di sekolah jangan berantem. If you can, just act like nothing bad happen," perintahnya, risau jika kedua putranya akan memperlihatkan perseteruan.

"Iya," jawab mereka bersamaan, melanjutkan menutup pintu mobil.

Melihat dua permatanya berjalan menjauh saling berdampingan, Hayden kembali melajukan mobil menuju rumah.

Sampai di kelas, dua anak itu langsung duduk di bangku masing-masing. Nancy yang duduk di samping Dave cukup penasaran. Terasa aneh remaja laki-laki itu hanya diam dan memainkan permainan di gawai.

Saat istirahat pun, Fadel dan Dave tidak terlihat bersama. Fadel yang memilih ke kantin bersama Freya, sedangkan Dave yang memilih memakan bekalnya di belakang kelas bersama beberapa temannya yang sama-sama membawa bekal.

"Tumben lo gak nempel sama Fadel, Dave," ucap Raka, diangguki Nancy.

"Gue juga pengen nanya itu," sahut Nancy.

"Gak apa-apa. Gue, kan, bawa bekel, Fadel nggak. Ngapain gue ke kantin?" balas Dave. "Oh iya, mau ngasih tau, tapi jangan dulu kasih tau yang lain. Kalau gue lama gak masuk, berarti gue udah pergi," ucapnya.

"Hah?"

"Apa, sih, Dave?"

"Anjing, kalimat lo ambigu banget, sumpah," umpat Raka, mengundang tawa tanpa dosa dari si pembicara.

•••

Sepulang sekolah, si ayah menjemput. Sesampai di rumah, Kirana yang sudah menunggu di ruang keluarga, menyuruh keduanya agar langsung menghampiri setelah pakaiannya diganti.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang