33.

294 38 7
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Malam ini, “sidang” akan dimulai. Dengan permasalahan utamanya adalah si tengah yang kembali bertengkar dan pesan dari saudaranya yang berisi: “Dave kayaknya lagi ada masalah. Dari pulang sekolah gak keluar kamar, makannya gak dimakan, dan sekalinya keluar, lesu banget. Ajak bicara, Hay.”

Setelah membujuk si bungsu dengan berbagai cara agar ikut berkumpul, akhirnya ia pun mau. Ya, dengan paksaan juga tentunya. Sang mama cukup terkejut kala melihat raut bungsunya begitu pucat. Segera saja, ibu dari tiga anak itu langsung bangkit dan memeluknya. Dave tidak membalas.

"Oke," ucap Hayden, membuat Kirana dan Dave duduk bersebelahan. "Dave, kamu kenapa?" tanyanya, menatap wajah sang putra.

Mendapat pertanyaan itu, Dave hanya menunduk, lalu menggeleng, masih enggan untuk menanggapi. Hatinya masih terasa sesak setiap ingat ujaran yang dilontarkan dia. Memangnya ... ia salah terlahir istimewa?

Paham, Hayden pun menoleh ke arah putra tengahnya yang mengepalkan tangan. Ia seolah bertanya: ada apa? Berbeda dengan Dave, setiap ingat itu, emosi Fadel selalu tersulut.

Hayden menghela napas. "Fad, jawab dengan jujur. Kenapa kamu berantem?" tanyanya. Fadel berdecak. Bukankah ia sudah memberitahu itu?

"Pa, aku udah bilang tadi," jawab Fadel. "Aku bela adik aku, gak boleh? Lagian, aku udah bilang, kan, tadi ke Papa?" belanya.

"Alesan yang jelas!" seru Hayden.

Dahi Fadel mengerut, bingung dengan perintah orang tuanya. "Di depan Dave?" tanyanya.

"Dave mau ke kamar," ucap Dave lesu, lalu bangkit, berjalan menuju kamarnya.

Netra mereka tidak lepas dari Dave yang tengah menaiki tangga. Memang lebih baik ia tidak mendengarnya.

"Fadel, jelasin semuanya!" titah Kirana, mengalihkan atensi Fadel.

Bukannya menjawab, Fadel malah bangkit untuk mengikuti Dave, tetapi tangannya langsung ditahan oleh sang ayah.

"Jelasin dulu," suruh Hayden, pelan tetapi penuh ketegasan.

Yang disuruh kembali duduk setelah menghela napas. Ia memejamkan matanya dengan tangan yang semakin mengepal kuat. Menarik dan membuang napas berulang-ulang, bermaksud meredam marah.

Fadel membela diri terlebih dahulu sebelum menjelaskan. "Aku gak pernah bilang ke siapapun kalau Dave istimewa. Dave juga gak pernah nunjukin sakitnya di depan anak-anak kelas," jelasnya. "Aku sama Dave gak bikin masalah sama siapapun, apalagi Gassan. Mama sama Papa ... percaya, 'kan?" tanya Fadel, menatap kedua orang tuanya.

"Iya, percaya," sahut Kirana.

"Gassan bilang ...," ucap Fadel menggantung. "Gassan sialan," gumamnya.

"Fadel!"

"Gassan bilang, Dave penyakitan."

"Kenapa marah?" tanya Hayden.

Fadel berdecak. Kesal pada sang ayah. "Kalau misal Gassan cuma nanya, kenapa pilih kata penyakitan? Emang gak pilihan kata lain yang lebih enak didenger?"

•••

Hampir tengah malam, tetapi kantuk tidak menyapa remaja itu barang sedikit saja. Selimut sudah menutup tubuhnya sampai sebatas dada. Netranya menatap langit-langit kamar. Pikirannya dipenuhi pertanyaan: apa adiknya baik-baik saja? Apa dirinya perlu membalas? Jika iya, tindakan apa yang harus ia ambil untuk membalas teman---mantan temannya?

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang