28. Everything's Gonna be Okay

305 45 3
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Tidak ada suara yang terdengar tepat setelah dokter dan perawat keluar. Tidak ada yang beranjak dari tempatnya sejak saat itu. Ketiganya sibuk dengan dunia masing-masing. Hingga tepukan di paha si adik oleh pria dengan rambut beruban mengalihkan perhatian.

"Farel istirahat dulu, ya. Yeye mau ngasih tau yang lain," ucap Zhenan, bangkit dari duduknya untuk berjalan keluar kamar rawat setelah mendapat balasan dari Fadel.

Hanya berdua sekarang. Masih tidak ada yang membuka suara. Fadel menatap sang kakak yang kembali memejamkan mata. Likuid mulai menumpuk di ujung matanya, bersiap untuk terjun hanya dengan satu kedipan.

Ingin rasanya memeluk kakaknya, tetapi terus diurungkan karena takut mengganggu. Tidak bisa, ia tidak bisa menahannya. Remaja itu berjalan menghampiri ranjang pesakitan sang kakak. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan remaja yang terus bersamanya, membuat si empu membuka mata.

Hal pertama yang Farel lihat adalah sang adik yang menunduk dengan bahunya yang terlihat bergetar. Merasakan tetesan air mengenai punggung tangannya, ia refleks melepaskan genggaman dan memilih mengusap rambut adiknya.

"Lo kenapa?" tanya Farel, masih dengan nada pelan.

"Jangan gini lagi. Gue takut," jawab Fadel, masih menundukkan kepalanya.

"Hey, liat sini!" titah Farel, membuat Fadel menatapnya. "Gue gak apa-apa. Jangan nangis, dong!" ucapnya, mengusap air mata yang tersisa di pipi adiknya.

"Gak apa-apa, kok, sampe gini?" Pertanyaan ini hanya dibalas kekehan pelan oleh Farel. "Lo kenapa? Apa yang bikin lo sampe kayak gini?" tanyanya lagi. Kekehan kembali terdengar, tetapi kali ini diakhiri ringisan kecil.

"Eh, lo ke---"

"Gak apa-apa. Gue gak apa-apa," balas Farel sekaligus memotong ucapan Fadel.

"Gue gak suka waktu orang-orang bilang, 'Gak apa-apa.' di saat keadaannya gak baik-baik aja," celetuk Fadel, memalingkan wajahnya.

Farel merasa gemas sendiri. Memilih mengalihkan pembicaraan, Farel berucap, "Dari kapan yeye di sini?"

"Dari lama," jawabnya singkat. Kesal dengan sang kakak yang mengalihkan pembicaraan.

"Sumpah, lo sampe kapan pun bakalan terus jadi bayi buat gue. Nanti gue traktir kalian lagi, deh," ucap Farel.

"Berisik! Sembuh aja dulu, baru mikirin nraktir lagi."

Ingin rasanya ia memeluk adiknya untuk menenangkan, tetapi tidak bisa. Perutnya terasa sakit dan perih setiap kali ingin mengubah posisi. Tangan kiri yang terbebas dari infusan kembali menggenggam tangan Fadel, membuat Fadel menoleh.

"Doain aja gue cepet sembuh."

Bersamaan dengan berakhirnya percakapan itu, pintu kamar rawat terbuka, menampakkan sang mama yang berjalan mendekat dengan, lagi-lagi, air mata yang menumpuk di ujung. Dengan segera, Kirana mencium dahi putra sulungnya lama. Sementara Farel yang diperlakukan seperti itu hanya memejamkan mata, menikmati sayang yang diberikan sang mama.

Pejam kembali terbuka kala Kirana terasa menjauh. Matanya tak sengaja menangkap air yang membasahi pipi. "Mama jangan nangis," ucap Farel pelan, tidak berusaha mengusapnya, karena jauh dari jangkauan.

"Makasih, Farel, makasih," ucap Kirana, mengusap rambut kecokelatan milik sang putra. Senyuman manis menjadi balasannya, meskipun jauh di dalam hati, kesal, marah, dan kecewa bertumpuk.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang