34. Unexpected Decision

257 38 6
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Remaja itu memejamkan matanya kuat kala dadanya lagi-lagi terasa sakit. Ringisan dan kerutan di dahi tidak luput dilakukan olehnya. Sang ayah hanya diam, sesekali merapikan rambut bungsunya dan mengelap keringat yang membasahi. Sementara, sang mama sedari tadi mengusap-usap dada remaja itu, dengan batinnya yang berdoa agar sakit sang putra segera lenyap.

Bak mantra ajaib, berangsur napas putranya kembali normal. Ringisan sudah tidak terdengar. Pun dengan kerutan di dahi yang juga hilang. Dave membuka matanya. Pemandangan pertama ia lihat adalah kedua orang tuanya yang tengah menyalurkan sayangnya melalui usapan.

"Masih sakit?" tanya sang mama lembut. Dave hanya membalas dengan gelengan.

"Jangan bohong! Masih sakit gak?" tanya sang ayah, tidak yakin dengan respons sang permata.

"Nggak, Pa," jawabnya pelan. Tenaganya terasa habis sebab menahan sakit.

Merasa lebih baik, Dave mendudukkan diri di ranjangnya. Lantas tersenyum manis kepada orang tuanya. Senyumnya tersirat tanda jika ia sudah baik dan terima kasih yang terlalu gengsi ia sebutkan langsung.

Kirana yang paham segera menarik Dave ke pelukannya. Wanita itu mencium puncak kepala sang bungsu. Dave hanya diam, memejamkan mata sambil menikmati sayang yang ia dapatkan.

Ibu tiga anak itu melepaskan pelukannya. Tangannya ia simpan di bahu sang permata. "Dave, jangan kayak kemarin lagi, ya? Jangan diem terus di kamar. Jangan lewatin makan sama minum obatnya. Ya?" ucap Kirana.

Dave menundukkan kepalanya. Haruskah ia memberitahukan apa yang mengganjal di hati? "Ma, Pa, Dave pengen pindah sekolah. Atau ... Dave home schooling aja juga gak apa-apa, kok," ucapnya.

"Kenapa? Karena masalah kemarin?" tanya Hayden peka yang dibalas anggukan oleh Dave.

"Dave takut. Dave takut kalo ada yang tau lagi, orang-orang bakalan kayak Gassan. Dave juga malu kalau nanti orang-orang tau, mereka bakalan mandang Dave beda. Dave gak mau itu kejadian," jelas Dave.

Penjelasan ini cukup berhasil membuat hati Hayden dan Kirana terkoyak. Salah kami, karena tidak bisa menjaganya dengan baik, pikir mereka.

Kirana menunduk, matanya berkaca-kaca. Benar-benar merasa tidak berguna. "Maafin Mama, karena gak bisa ngejaga kamu dengan baik waktu masih dalam kandungan." Permintaan maaf Kirana membuat Dave mengangkat kepalanya.

"Maaf, ya?"

Dave menggeleng. "Nggak, kok, bukan salah Mama. Takdirnya Dave yang ditulis Tuhan emang gini. Jadi, Mama jangan merasa bersalah. Dave gak apa-apa," ucapnya.

Hayden membalikkan badan, menyembunyikan fakta jika dirinya juga terluka karena takdir yang kejam. Telunjuknya mengusap likuid bening yang meluncur tanpa aba.

Dirasa tidak ada lagi derai yang jatuh, pria itu kembali membalikkan badan untuk menghadap sang putra. Tangannya mengusap kepala sang permata. "Kalau kamu emang mau pindah atau home schooling, gak apa-apa. Tapi emang gak nanggung? Ini udah tengah semester," putus Hayden. Sekarang, ia tidak akan menuntut apa-apa lagi. Cukup penuhi saja keinginan si bungsu, sebelum ... terlambat dan menyesal di kemudian hari.

"Pengen secepatnya. Dave gak mau ketemu Gassan lagi," gumam remaja yang saat ini menunduk dengan tangan yang memainkan selimut.

Dave tidak bercanda. Kalimat Gassan kala itu sangat berpengaruh bagi dirinya. Dave tahu, sakitnya bukanlah aib. Namun, kepercayaan diri yang sejak lama ia bangun, akhirnya roboh, hancur lebur tanpa sisa. Ketakutan yang selama ini ia takutkan ternyata malah terjadi.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang