Apa yang membuat ketujuh-tujuhnya datang pada satu tempat yang sama?
Hampir seperti satu jiwa yang menyatu, satu hati, satu-satunya yang akan keluar dari mulut mereka ialah, menggapai mimpi meraih bintang.
Panggung megah, piala penghargaan, suara merdu, koreografi yang penuh tantangan, sorakan para penggemar, gema tepuk tangan, kelap-kelip lampu, tetek-bengek seputar dunia hiburan lah yang mereka kejar selama ini.
Dunia mengubur banyak kisah. Entah tentang si pemuda yang merelakan diri untuk tak menggaet satu teman pun di sekolah, entah mengenai seorang pemuda yang ditinggal seorang diri di negara asing ini ketika usianya masih 13 tahun atau tentang kisah seorang pemuda yang meneruskan jejak sang bunda sebagai pemusik.
Kemudian, takdir dijatuhkan. Semesta menyatukan mereka dalam satu ruang yang sama. Satu tujuan yang sama dan satu mimpi yang sama pula. Merangkum semua kisah menjadi satu kisah milik bersama. Semuanya punya peran masing-masing.
Yang paling muda, rupanya yang paling banyak berkorban. Usianya, ia korbankan sepenuhnya untuk mengejar mimpi. Park Jisung, pemuda semampai yang menjulang tinggi itu, tak pernah tahu bagaimana rasanya disanjung oleh teman-temannya. Tak pernah tahu tawa macam apa yang bisa menderai di udara ketika lelucon-lelucon itu dilayangkan. Tak pernah tahu semarah apa ia saat temannya membuat kesalahan yang menyulut emosinya. Bahkan tak pernah tahu seberapa sedih dirinya ketika teman-temannya pergi meninggalkan dirinya.
Park Jisung tak pernah tahu asam, manis atau pahitnya berteman.
Lantas apa yang ia lakukan selama 18 tahun ini?
Bermimpi. Jisung hanya bisa berimajinasi. Menekuk lututnya. Memejamkan kelopak matanya untuk menyaksikan dirinya tengah menguasai panggung. Menikmati teriakan menggema. Tepuk tangan dan setiap mulut yang mengucapkan namanya, memberi asupan semangat lebih banyak lagi.
Kenyataan memang selalu pahit. Jisung mana mungkin bisa menggapai mimpinya kalau yang dia lakukan sebatas menekuk lutut dan memejamkan mata? Maka, ia berlatih. Tak peduli tubuhnya digelayuti rasa lelah seberat apapun. Tak peduli pakaiannya disulap menjadi kain pel yang basah kuyup akibat cucuran keringatnya. Yang Jisung inginkan hanyalah kesempurnaan untuk meraih mimpinya. Hanya itu.
Kemudian, satu minggu setelah pembagian kelompok trainee, Jisung tak lagi berpulang. Lebih memilih mengangkut barang-barangnya ke asrama. Tidur bersama si pemuda Jilin yang selalu mengudarakan sebuah lagu kapanpun ia mau. Terkadang, Jisung nyaris mundur. Dengan suara semerdu, seindah itu, siapa yang tak jatuh ke dalam pesonanya?
Karena itu, Park Jisung semakin melatih dirinya. Alunan musik menggema tanpa henti. Meraung-raung, seolah memerintahkan dirinya untuk selalu melakukan yang terbaik. Jatuh, terpeleset, terkilir, itu bukan hal asing yang menyakitkan. Semua itu bagai makanan sehari-hari yang Jisung lahap.
Di ruangan luas itu, tersisa Park Jisung seorang diri. Di pantulan kaca itu, tersisa bayangannya. Ketukan lantai yang timbul akibat tapak kakinya lah yang menemani kesendiriannya. Mata tajamnya menelisik ke arah bayangannya sendiri. Ketika adanya beberapa gerakan yang mengecewakan, maka Jisung akan berhenti. Terduduk merenungi kesalahannya yang harus segera diperbaiki.
Tahu-tahu—brak—pintu dijeblak setengah kasar. Gerakan kaki itu terhenti refleks. Membalikkan badannya, Jisung menyaksikan adanya sekawanan pemuda lain yang menyeruak masuk. Satu diantaranya melipat tangan di bawah dadanya. Menatap remeh ke arahnya seolah mereka tak menyukai kehadirannya.
"Wah? Jisung lagi? Kayaknya kamu betah banget di sini sampai nggak ingat kalau ruangan ini bukan cuma buat kamu." Melangkah, seraut wajah penuh kesombongan itu semakin mengikis jaraknya. Mengintimidasi Jisung lewat tatapannya. "Harusnya kamu tahu caranya berbagi. Kelompokmu udah latihan selama satu jam dan kamu masih ada di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
Hayran KurguSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...