Ini tentang sepenggal kisah tersembunyi milik Lee Haechan.
Zhong Chenle menuduh. Katanya, Haechan menjadi salah satu alasannya untuk meniru bagaimana cara bertindak curang. Lalu yang dituduhi tidak bisa memberi pengelakan sekecil apapun. Semuanya dimulai dari malam puncak. Malam yang seharusnya ditaburi akan letupan kebahagiaan. Malam yang tahu-tahu disulap menjadi peristiwa kelam. Malam dimana Park Jisung ditemukan tergeletak tak bergeming.
Saat itu, giliran Chenle. Yang tersisa di ruang tunggu hanya Park Jisung, Na Jaemin, Lee Jeno, Mark Lee dan tentunya Haechan sendiri. Lewat lirikan matanya, Haechan menelisik. Atmosfernya menegang dibubuhi kesenduan yang ikut merangsek. Sampai sekon ini, Renjun belum juga berpulang. Entah kemana sosoknya pergi, mungkin ke suatu tempat dimana ia bisa melampiaskan segala macam emosinya.
Haechan disergap rasa khawatir. Jisung nampak belum bisa menangani ketakutannya yang kian mengganas. Sementara si pemimpin pasti tengah meratapi segala kekacauan ini. Haechan mengerti. Tahu seberapa besar semangat kawan-kawannya sampai sejauh ini. Mereka menginginkan satu akhir yang sama—debut. Tak peduli seberapa kerasnya mereka berjuang. Bahkan ketika sosok yang penuh kejujuran seperti Lee Jeno ditemukan curang atau si gigih Chenle yang sampai rela menghamburkan uang untuk terus melatih vokalnya. Mereka semua berusaha kelewat keras.
Kemudian, Haechan bertanya-tanya. Seandainya salah satu dari mereka keluar sebagai pemenang— entah Mark Lee, Na Jaemin atau Park Jisung—apa yang akan terjadi setelahnya? Pasrah? Mengucapkan selamat? Atau justru memendam dengki yang mungkin bisa tumbuh menjadi rasa benci? Selepas semua kerja keras itu, merelakan kemenangan untuk seseorang pasti berat.
Maka, Haechan bangkit dari duduknya. Malam itu Mark menoleh. Kepalanya mendongak. "Mau kemana?" Tanyanya.
"Ke kamar mandi sebentar."
Begitu jawabannya mengudara, Haechan melenggang pergi. Kakinya melangkah. Berlawanan arah dengan apa yang barusan ia ucap. Menyusuri koridor, belok di sebuah lorong kecil alih-alih melanjutkan langkahnya sampai menemukan kamar mandi.
Rasa diburu-buru itu pasti ada. Haechan menoleh sesekali. Memastikan bahwa hanya ada dirinya sendiri di sini. Kemudian berbalik. Tangannya membuka sebuah kotak yang menempel lekat pada dinding. Kabel-kabel listrik yang macamnya terlalu banyak dan saling melilit itu menyapa netranya. Lorong itu remang-remang. Bukan sebuah tempat yang sering dikunjungi. Mungkin itu alasannya kenapa tak diberi pencahayaan seterang ruang yang lain.
Tak lagi berpikir 2 kali, kedua tangannya dikerahkan. Meraih salah satu kabel yang saling terhubung. Kemudian, crak! Putus. Sekedar memperalatkan kuku tajamnya, kabel itu berhasil terpisah. Lantas satu detik berikutnya, lampu padam. Semuanya gelap. Gulita seakan tak ada kehidupan sedikitpun.
Waktu yang tepat!
Haechan berseru dalam hati. Cepat, tangannya menutup kembali rumah bagi sang kabel-kabel itu untuk tinggal. Kakinya dilangkahkan. Bukan lagi sebuah endapan namun dirubah menjadi larian. Samar, rungunya menangkap beberapa derap langkah bersama arahan yang ikut menyertai.
Bersama kata maafnya yang kian memenuhi kepala, Haechan terus melangkah. Interupsi-interupsi itu saling bersahutan. Semuanya kacau karena Lee Haechan. Tapi siapa peduli? Ketimbang pertempuran besar terjadi di masa yang akan datang, Haechan lebih memilih untuk melalui jalan ini.
Tubuhnya berbelok. Semangat dan panik itu datang di waktu yang bersamaan. Sebuah ruang yang menjadi tujuan utamanya ia temukan. Tapi tahu-tahu, beberapa suara menyambar rungunya. Penuh kegugupan dan kalang kabut yang tak bisa ditanggulangi. Haechan berkelit tangkas. Menyembunyikan tubuhnya di balik dinding yang memisahkan.
"Listriknya koslet! Aish! Bisa hancur semuanya!" Kemudian sesosok perempuan mungil dari dalam sana keluar. Menjeblak pintu kuat-kuat. Saking tak terkendalinya ia, si lawang dibiarkan terbuka setengah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
FanfictionSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...