25. Meretaknya Pertemanan

189 37 0
                                    

Kang Junhee tersingkirkan.

Pemuda itu benar-benar tereliminasi dari babak ini. Mark tak tahu harus berbuat apa. Sekarang, satu-satunya yang menjadi saingannya hanyalah kelompoknya sendiri. Mereka, 6 pemuda yang selalu menguraikan janjinya untuk tetap mendaki dan terjatuh bersama-sama, kini dipaksa untuk saling menyerang.

Pertama kalinya, Mark kehilangan julukan yang disematkan untuknya—trainee number one. Manusia tak bisa terus menerus memuncaki sebuah kondisi tanpa goyah sedikitpun. Malam itu, Lee Haechan-lah penggantinya. High note itu, ampuh membuat semua pasang mata terpaku. Rungunya tak berhenti terngiang-ngiang akan alunan lagunya yang menghanyutkan emosi. Lantas satu tingkat di bawahnya, ada Huang Renjun disusul Lee Jeno baru Mark Lee.

Hampa, penuh kekosongan. Saat itu, Mark tak tahu apa yang harus ia rasakan. Sebuah perasaan lega yang berapi-api sebab Junhee berhasil didepak keluar dari medan perang ini atau justru tersedu-sedu perihal tingkah laku Lee Jeno.

Ketika Chenle tak mempermasalahkan peringkatnya, ketika dia meluapkan euphoria-nya bersama Na Jaemin, Mark justru hanyut akan luapan keterpakuannya. Menit-menit sebelum Jeno turun dari panggungnya, Mark kalang kabut. Lagunya benar-benar sukses besar dibawakan oleh Lee Jeno. Dia tak bisa menampilkan sesuatu yang sama. Maka, seolah tak mengenal apa itu nekat, Mark membuat kesepakatan baru. Mengudarakan pintanya kepada salah seorang staff untuk menyetel ulang musiknya. Mark tak punya pilihan lain. Malam itu, pemuda rantauan Toronto dengan alis camarnya nekat memamerkan performanya yang tak didasari latihan sedikitpun.

Bunyi denting kecil mengudara. Pintu lift dijeblak otomatis. Mempersilahkan si penumpang baru untuk masuk ke dalam box pengantar itu.

Mark menghembuskan nafas kasarnya. Kaki itu melangkah masuk bersama senyum lebar yang berhasil membangkitkan ketidaksukaan begitu pasang netranya menatap. Ini bukan waktu yang tepat untuk menghadapi si mulut sampah, Kang Junhee.

"Apa kabar trainee number one? Ah atau harus diganti jadi number four?" Sapaan itu akrab dilontarkan bersama tangan kanan yang bertengger nyaman di pundak kiri sang lawan bicara. "Tegang banget. Aku nggak mau cari gara-gara. Cuma mau bilang selamat aja. Kalian jadi saingan sekarang."

Mark mengerling tak suka. Menepis tangan si musuh dari pundaknya. Menepuk-nepuk jejaknya seakan virus baru saja menyambar tubuhnya. Tak tergerak untuk banyak melayangkan tanggapan, Mark mengenyahkan tatapannya.

Kang Junhee manusia gila. Tak pernah bisa diterka. Alih-alih merutuki kekalahannya, menyalahkan hukum alam yang terjadi atau terjebak dalam lilitan penyesalannya sendiri, orang itu malah mengulas senyum konyolnya. Seakan tersingkirkan dari pertarungan ini bukanlah sebuah masalah besar. Ini tak cukup masuk akal untuk mendapati Kang Junhee yang setenang beriak air. Lebih dari apapun, Mark tahu kenyataan bahwa pemuda di sampingnya ini punya ambisi yang tak kalah besarnya. Sogokan itu, kesepakatan gelap itu, sekarang tak berarti apa-apa?

"Tapi ngomong-ngomong, kamu cukup nekat juga." Bariton itu kembali menyapa rungu. "Walau tampil pakai performa seadanya, kamu bahkan masih bisa ada di peringkat 5 besar."

Menoleh, Mark gagal menyembunyikan keterkejutannya. Alis camar itu naik bersamaan. Pupilnya membesar. Seseorang mengetahui fakta lain dari dirinya selain Lee Jeno. Mark bertanya-tanya tapi satu hal yang melintas di benaknya hanyalah tentang praduganya. Si manusia dengan mulut sampah ini mungkin saja tengah membual yang dengan kebetulannya tepat menebak pada kenyataan sesungguhnya.

Maka, Mark menggemakan dehemannya. Berusaha menyembunyikan keterkejutannya yang terlambat ia kubur. "Kamu ngomong apa?" Berpura-pura tak tahu. Berusaha menggoyahkan keyakinan si Kang.

Tapi pemuda di sampingnya justru tergelak kecil. Bukannya mengerut ketakutan atau dikurung rasa malunya sebab terkaannya yang salah kaprah. "Mark Lee, kamu nggak pinter bohong." Tubuhnya digeser mendekat, mengikis jarak yang terbentang. "Aku tahu itu. Jadi kamu nggak perlu berkelit segala." Junhee mengudarakan sebuah bisikan kecil. Menjauh, kedua tangannya dilipat nyaman di bawah dadanya. "Nggak nyangka aku bisa jadi pendengar yang baik. Mark, mau tahu nggak? Aku simpen banyak rahasia loh. Termasuk tentang kelompokmu." Senyum pongah itu disunggingkan bersama dengan tangan kanan yang menepuk bangga dadanya sendiri.

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang