19. Membaranya Kedewasaan

194 42 0
                                    

Ketimbang bulan Juni, Renjun lebih suka bulan Desember. Ketimbang teriknya panas matahari, Renjun lebih suka betapa menusuknya rasa dingin sang putihnya salju yang berguguran menghantam tubuhnya. Ketimbang mengenakan kaus tanpa lengan, Renjun lebih suka sweater dan api unggun yang berhasil menghangatkan dirinya.

Intinya, Huang Renjun lebih menyukai musim dingin daripada musim panas.

Renjun tak punya segudang alasan untuk memaparkan seberapa besar rasa cintanya teruntuk musim dingin. Entah itu rintik salju atau tetesan air yang siap membasahi sekujur tubuhnya kapan pun. Renjun tak pernah menyukai bebauan tentang seberapa gersangnya tanah ketika musim panas menyerang. Renjun tak pernah menyukai teriknya sinar matahari yang seringkali merepotkan netranya sampai nyaris tersembunyi. Yang disukainya sekedar suara derasnya hujan yang menghantam bersama sejuknya udara yang menerpa.

Terpaku pada tangkai-tangkai bunga di hadapannya, Renjun nyaman menyaksikan tetes per tetes air yang sempat menghujani si kelopak bunga. Mengguncangnya sedikit, mengakibatkan banyaknya tetes air untuk terjun lebih deras lagi. Dagunya bertumpu pada tangan kirinya sendiri bersama dengan kepala yang ditelengkan. Jelaga gelap itu selalu gagal menghancurkan ketertarikannya sendiri akan betapa menawannya bunga-bunga ini. Mengabaikan cuap-cuap di belakangnya.

Kemudian tanpa aba-aba, Lee Jeno datang menemani. Menempati bangku kosong di sampingnya, kedua pemuda itu kini saling bersisian di ambang jendela. Menatapi bunga ayu dengan kelopak merahnya yang ampuh menghipnotis semua mata.

"Jeno." Suara berat itu mengudara meski setengah lirih. Berhasil mengundang dehem kecil dari sang empu nama. "Kita yang sekarang, nggak ada bedanya sama bunga kan? Terus-menerus disiram pakai latihan atau apalah itu."

Mengerling sekilas, Jeno mengangguk. Masih tak mau memalingkan pandangannya, obsidian itu kembali mengarah pada bunga yang sesekali berkutik kecil. "Terus?"

Tangan itu terjulur. Mengusap banyaknya jejak sejuk akibat siraman hujan yang menerpa kelopak bunga. "Tanaman ini bahkan belum tentu bisa berkembang dengan baik, mereka belum tentu tumbuh setelah banyak disiram air. Mungkin bisa aja, ada sesuatu yang malah rusak semuanya sampai dia gagal tumbuh." Helaan nafasnya mengudara. Lantas, tangan itu beralih ke bagian tangkai. Mencabut sehelai daun di sana. Di detik berikutnya, jarinya menghempas lepas benda di tangannya. Membuatnya terbang diterpa angin sebelum kabur dari pandangannya sendiri. "Atau yang paling parah, kita dipaksa mundur. Dicabut kayak daun barusan terus berakhir ke tempat antah berantah dan nggak punya mimpi sedikitpun."

"Renjun, kamu nyamain kita bertujuh sama setangkai bunga?" Jeno menoleh. Benci ketika sang sobat mengudarakan kalimat sendunya. Senyum teduhnya diulas bersama dengan posisi tubuhnya yang berubah menyamping. "Kita ada tujuh, lebih kuat dari beratus-ratus tangkai bunga sekalipun. Kalau tanaman itu cuma punya satu pelindung—pemiliknya sendiri, kita punya 6 pelindung. Karena itu, apa yang harus kamu khawatirin?"

Yang ditanya mengedikkan pundaknya. "Aku cuma pengin bilang gitu aja." Kalimat itu pelan mengudara. "Terkadang, rasa khawatir itu datang walau aku nggak mau, Jen."

Renjun tak memberi sahutan lebih banyak lagi. Tanpa sadar, pemuda itu berhasil membangkitkan kekhawatiran di dalam jiwa Lee Jeno sendiri. Bagai bumerang, Jeno justru yang lebih dulu hanyut akan untaian kalimat si Huang bukan malah sebaliknya.

Tak pernah menyadari adanya beberapa orang yang tengah menyendu, Zhong Chenle tengah sulit-sulitnya memberi pelajaran seputar bahasa Inggris kepada sang maknae. Setengah jam yang lalu, Jisung beringsut mendekat bersama dengan sebuah buku di genggamannya. Lucu, imut, menggemaskan menyerupai bocah 5 tahun yang takut-takut minta diberi contekan untuk tugasnya sendiri.

Setengah jam lalu, Haechan sempat melontarkan pertanyaan,

"Kenapa tiba-tiba minta diajarin bahasa Inggris?"

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang