Na Jaemin terduduk. Tanpa benda keramat yang seharusnya melindungi wajah penuh pesona itu. Topi dan maskernya tergeletak. Teronggok bagai sampah yang tak patut dipungut. Kedua tangannya ditangkupkan erat-erat. Alisnya menaut, wajahnya menyendu. Tapi coba lihat? Sosok di hadapannya sedatar patung museum yang bahkan tak bisa mengedipkan mata sekalipun.
"Pak, aku mohon. Setelah semua yang aku jelasin barusan, apa bapak merasa kalau semua itu omong kosong?"
Si pria kepala empat yang jabatannya menduduki posisi detektif itu mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Siapa tahu? Itu bukan sebuah hal yang mustahil." Kemudian, Jaemin menghembuskan nafas beratnya. Si detektif beringsut mendekat. Kedua tangannya dilipat di atas meja. "Nak, sekarang ini jamannya kriminalitas meninggi. Mungkin kamu cuma anak muda yang iseng buat prank kayak gini terus videonya kamu jadiin konten atau apalah itu. Menurutmu, apa masuk akal seseorang tiba-tiba dateng ke kantor polisi dan ngaku bahwa dia pembunuh? Apalagi orangnya anak muda kayak kamu. Itu sulit dipercaya."
Jaemin terpaku. Kepalanya menunduk sedetik berikutnya. Lantas ketika diangkat, rautnya lebih sendu ketimbang sebelumnya. Dia merengek. "Pak, demi apapun aku nggak kurang pekerjaan sampai iseng buat prank segala. Ini menyangkut nyawa seseorang. Aku bunuh Kang Junhee walau itu bukan niatku yang sebenarnya. Lebih parahnya lagi aku memanipulasi semuanya. Aku fitnah mereka yang pada dasarnya nggak bersalah sama sekali. Jadi Pak detektif, aku mohon bantu aku biar aku nggak lagi merasa sebersalah ini. Jangan dukung kejahatan ini buat disembunyikan lebih lama lagi. Sekali lagi aku mohon." Kedua tangannya digesek kuat-kuat.
"Pengakuanmu nggak cukup buat penyelidikan ulang. Lagipula semua buktinya udah mengarah ke preman-preman itu. Semuanya masuk akal." Si detektif bangkit dari duduknya. Tangan kanan itu menepuk sekali pundak yang lebih muda. "Pulang sana. Lebih baik main atau kumpul sama keluargamu."
Tapi yang namanya Na Jaemin tak kalah keras kepalanya. Dia ikut bangkit. Kelewat tiba-tiba, kursi yang sempat didudukinya terjatuh. Membawa debuman yang nyaringnya bukan main.
"Sebutin, sebutin semua persyaratannya supaya bapak percaya. Aku bakal bawa buktinya secepat mungkin. Tolong, aku nggak mau jadi manusia sekejam ini.""Sikapmu berlebihan." Mulai jengah, yang lebih tua tak lagi nampak memberikan respek secuil apapun. "Pulang sekarang dan lupain karangan ceritamu."
Jaemin mendekat. Tak pernah takut untuk berhenti. Tangannya menggapai-gapai apapun yang dikenakan oleh si detektif. Berusaha merengek lebih keras. Atau mungkin berlinang sendu? Jatuh bersimpuh? Barangkali itu bisa meyakinkan si detektif, Jaemin tak ragu untuk mengabulkannya.
Tapi sayangnya, sesuatu lebih dulu menginterupsi. Jeblakan lawang menggema bukan main kerasnya. Brak! Benda itu membentur kuat dinding di belakangnya. Kemudian tanpa pernah diterka, tapak lain mengudara di detik berikutnya. Iramanya terburu-buru akan sesuatu. Tahu-tahu, cling! Bagai peri yang punya sihir ampuh, Lee Jeno muncul di ambang pintu. Wajahnya dihias raut kekhawatiran. Paniknya mungkin kian menjadi-jadi.
"Jaemin!" Pekikan itu mengudara. Terkejut ketika menemukan sang sobat berakhir pada ruang investigasi.
Si detektif menoleh. "Dia temenmu?" Dagunya dikedikkan sekilas. Menunjuk pemuda Na di sisi kanannya yang masih belum bergeming.
Jeno mengangguk. Kakinya melangkah masih sama temponya. Lantas, tangan kekar itu menarik sang sobat. Pada akhirnya kekhawatiran itu pun diungkapkan. "Kamu ngapain aja di sini?"
Jaemin tak tergiur untuk memberi sepatah katapun. Mulutnya masih terlalu nyaman dibungkam. Maka, mewakili yang lebih muda, sang detektif menyahut. "Temenmu mungkin lagi sakit. Tiba-tiba bikin pengakuan kalau dia yang bunuh Kang Junhee. Dia yang manipulasi kematiannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
FanfictionSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...