Denting kecil saling beradu di udara. 7 orang saling memenuhi meja bersama bakinya masing-masing. Mengenyahkan ricuhnya kafetaria seolah bebunyian itu tak lebih dari kicau burung di angkasa.
Menunduk, Chenle menghela nafasnya. Seleranya menghilang. Nafsunya lenyap hanya ketika ia mendapati berbagai macam sayur-mayur yang dicampur dalam satu tempat sama. Zhong Chenle, seorang pemuda China yang tidur di sebuah rumah megah bertingkat-tingkat tingginya, dimana tamunya harus melewati kebun bambunya dulu sebelum sampai pada tujuan yang sebenarnya, mana bisa terus-menerus disiksa oleh dedaunan ini? Meski Chenle tahu bahwa agensinya hanya ingin trainee mereka punya kondisi tubuh sehat dan selalu siap untuk apapun, tapi menu makan juga seharusnya divariasi bukan?
Punggungnya direbahkan. Menciptakan debum yang lumayan keras akibat beradunya tulang-belulangnya bersama sandaran kursi. "Lama-lama aku jadi kambing."
Menoleh, Jaemin mengamati pemuda di sisi kirinya. Menangkap seberapa muaknya Chenle dengan makanan hijau segar itu. Tangannya mengapit sumpit, memindahkan beberapa sosisnya yang tersisa. Membiarkan makanan itu bermigrasi tempatnya pada baki lain. Lantas di detik selanjutnya, tindakan lain menyusul. Jaemin mengerahkan sumpitnya kembali, memindahkan sayur-mayur milik Chenle yang belum disentuh sedikitpun. Baki mereka kini bertukar pemandangan.
"Lebih baik makan sosis daripada sayur semua kan? Sekarang, makan."
Disita oleh keterpanaannya, Chenle tak bergeming. Pelan, kepalanya menoleh. Tak menemukan raut penyesalan atau keterpaksaan apapun pada wajah yang lebih tua. Seolah bukan masalah besar, Jaemin masih nyaman menikmati isi bakinya yang hampir menyerempet penampakan kebun teh.
Dari tempatnya, Park Jisung ikut memaku. Sosok itu, pemuda Na itu, Jisung seakan selalu dibuat terpukau olehnya. Bukan hal besar, sebatas sebuah perlakuan sekecil ujung kuku. Tapi dengan itu, Jisung tahu bahwa Jaemin selalu mengutamakan kelompoknya. Mengesampingkan dirinya sendiri. Selalu berusaha membuat semua kawannya melingkar dalam satu kenyamanan yang sama. Selalu berkorban untuk mereka.
Menunduk, Jisung tersenyum. Kelompoknya terasa semakin sempurna akan hadirnya Na Jaemin.
"Hyung, makasih banyak! Aku janji bakal bales ini nanti." Bangkit dari keterpurukan takdir menu makannya, Chenle meraih sumpitnya. Mengapit potongan sosis sumbangan Jaemin. Membuka mulutnya lantas meloloskannya masuk ke dalam rongga mulut. Lebih baik dari sebelumnya, sinar keceriaan itu kembali terbit.
Tergerak memberikan sebuah lelucon, Haechan turun tangan. Raut wajahnya memelas bersama dengan mulutnya yang dikerucutkan. Tubuhnya mencondong, berusaha meraih atensi Renjun di seberangnya. "Renjun Hyung, aku juga mau sosisnya." Dibuat-buat, menciptakan drama kecil-kecilan, Haechan mengguncangkan tubuhnya sendiri. Berusaha menciptakan beberapa aegyo, mencoba meluluhkan si lawan bicara yang masih nampak belum tertarik akan tingkahnya.
Mendongak, Renjun menghela nafasnya. "Kamu siapa?" Berikut dengan tatapan tajam dan raut datar yang ampuh menusuk Haechan. Meleburkan semuanya dalam sekejap. Mendorong jiwanya terjerumus masuk ke dalam jeratan akan rasa kesalnya.
Terkekeh kecil, Jisung menanggapi. Puas akan cipratan lelucon yang diciptakan Lee Haechan. Lain Jisung, lain pula Jeno. Bukannya terhibur, pemuda itu justru memendam rasa jijiknya. Berusaha untuk tetap menandaskan makanannya yang tersisa meski ekspresi Haechan amat sangat menghantuinya, menggugurkan nafsu makannya digantikan dengan betapa mualnya ia sekarang.
"Lain kali tahu tempat dan keadaan ya, Lee Haechan. Aku nyaris muntah di sini karena aegyo-mu yang norak." Mencibir, Jeno mengerling tak suka.
Berniat memberi balasan akan cibiran menyakitkan hati itu—yang ini Haechan melebih-lebihkan—kepalanya mendongak. Menatap sosok yang barusan mengudarakan persepsinya. Sayang, bukannya mendarat pada sasaran, Haechan justru terpaut pada sosok lain di samping Lee Jeno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
FanficSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...