20. Gerbang Kegundahan

188 44 1
                                    

Lee Jeno tak akan pernah bisa menjelaskan seberapa banyaknya ia mencintai panggung ini. Seberapa banyaknya ia berkorban untuk hari ini. Seberapa kerasnya ia berusaha untuk menggapai mimpinya. Atau seberapa sakitnya ketika ia disingkirkan oleh takdir kecil yang dinamai cobaan.

Dulu, mamanya pernah bilang, Jeno, kamu mungkin lahir buat ditakdirkan terus ada di depan kamera. Maka, sang Mama memberi banyak petuah tentang bagaimana caranya menjadi enternainer yang baik di depan publik. Bagaimana ia menonjolkan kesopanannya atau beberapa tips agar dia punya banyak penggemar nantinya.

Jeno tak tahu kenapa ia amat menyukai sesuatu yang dinamai dengan kamera. Dari dulu, sejak usianya masih seumur jagung, Jeno mulai andal memamerkan diri di depan publik. Sementara bocah-bocah lainnya sibuk mencari banyak teman, saling bertengkar memperebutkan mobil-mobilan atau robot keren, Jeno justru berada di depan kamera. Mengikuti arahan sang sutradara untuk menata sepatu-sepatu di sebuah ruangan. Diminta untuk meminum segelas susu lantas mengusap bekasnya dengan cara yang menggemaskan. Jeno kecil bahkan telah berhasil membintangi sebuah iklan susu untuk anak-anak.

Seandainya Tuhan bisa mendengarkan pinta terakhirnya sebelum mendekati ajal, dia mungkin bersedia untuk terus menari di atas panggung. Sampai detik itu menjemput. Menyekat nafasnya kemudian ia tergeletak di atas panggungnya yang kelewat meriah.

Tapi tidak, itu terlalu mengerikan. Selagi dia bisa menikmati masa ini, berjuang keras untuk benar-benar meraih mimpinya, buat apa bayangan mengerikan itu harus turut menyisip kecil di benaknya?

Sorakan menggema tak tertahankan. Ketika musik mulai mengalun. Dibuka oleh performa rap Lee Jeno, dunia seakan tak pernah bisa terkondisikan karenanya. Di bawah sana, audiens berebut menyebut nama idolanya. Suaranya tumpang tindih. Berharap mereka bertujuh di atas sana sempat mendengar teriakannya yang terlontar dengan penuh cinta.

Kembalinya kelompok Mark Lee membawa sebuah keajaiban bagi beberapa orang tertentu. Idol Teen kembali menduduki rating tertinggi dalam acara survival semacam ini ketika minggu sebelumnya sempat turun ke peringkat tiga akibat hengkangnya Mark Lee dan kawan-kawan dari atas panggung. Channel Nmet kebanjiran respek. Siaran langsung Idol Teen lewat akun WeTube nya ditonton lebih dari 4 juta penonton dengan like dan komentar yang nyaris tembus ratusan ribu.

Agensi agaknya membuat keputusan yang salah jika bukan karena Chenle yang rela menurunkan lututnya. Menumpu pada dinginnya lantai mengkilap mengenyahkan harga dirinya.

3 menit ditutup dengan amat sempurna. Sorakan itu kembali keras menggema bersama tepuk tangan yang berhasil menumbuhkan banyaknya perasaan bangga tak terhingga. Jisung tak pernah mengulas senyumnya selebar ini. Nyaris diserang akan rasa harunya yang menyerebak bukan main. Letupan penuh kebahagiaan ini membuatnya enggan untuk meninggalkan titik saat ini. Suara sorakan itu akan segera menjadi objek yang paling suka untuk ia dengar. Gemerlap lampu yang memanjakan mata bersama dengan lautan audiens di hadapannya akan selalu menjadi pemandangan favoritnya. Park Jisung terlanjur menyukai dunianya yang saat ini.

"Kerja bagus, teman-teman!" Bersorak, Haechan mengerahkan kakinya. Berlari kecil, menyambar pundak Renjun dan Jaemin di satu detik yang sama. Kepalanya ditolehkan, memamerkan seberapa lebarnya senyum itu terulas.

Di belakangnya, duo maknae menyusul. Lebih keras luapannya, euphoria ini amat sulit untuk ditepis. Maka, Chenle menggemakan suaranya lantang-lantang. "Hari ini kita makan ayam sama pizza, mungkin? Kalian mau nggak? Aku yang bayar lunas!"

Di 2 detik setelah kalimat itu mengudara, Haechan berhenti melangkah. Tubuhnya bergerak mundur. Beringsut mendekati Chenle disusul dengan tangannya yang berpindah merangkul pundak si Zhong. "Ide bagus, tuan muda Zhong."

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang