40. Keberanian Menyatakan

198 31 0
                                    

Ruang yang akrab digelayuti kehangatan itu kini tak lebih dari ruang kosong yang menyerupai gudang tak terurus. Lee Jeno berjongkok. Penuh kehati-hatian, kedua tangannya sama-sama dikerahkan. Serpihan kaca itu dipunguti. Masuk ke dalam sebuah kantong sebelum berakhir di tempat pembuangan sampah. Di sudut ruangannya, hadir Huang Renjun. Tangan kanannya menggenggam sebuah sapu. Menggiring semua pecahan-pecahan kecilnya untuk diusir dari dalam hunian.

"Jeno."

Panggilan itu mengudara. Gerakan tangannya terhenti. Tak tergiur lebih lama lagi untuk segera menyelesaikan semua pekerjaannya. Punggungnya disandarkan, disambut akan kokohnya dinding yang siap menopang tubuhnya. Kedua tangannya menganggur. Paling-paling sekedar iseng memutarbalikkan gagang sapu di genggamannya.

"Hm?" Agak lama, Jeno menyahut. Kakinya melongkap kecil. Meraih satu serpihan yang tersembunyi di bawah nakas kecil. "Ya ampun, aku nggak tahu Chenle sekuat itu. Pecahannya sampe kemana-mana." Kemudian, gumamannya menyusul.

"Dia bakal baik-baik aja kan?" Pertanyaan itu mengudara. Renjun menerawang. Mengira-ngira seberapa parah kondisi Chenle saat ini. Mungkin tengah meraung kesakitan atau yang paling buruk masih nyaman memejamkan mata.

"Kamu mau ngeraguin kekuatannya si wang mori?" Jeno menoleh barang satu kedip mata. "Dia pasti bakal baik-baik aja. Nggak perlu khawatir. Ada suster, ada dokter, ada Mark, ada Jaemin dan ada Haechan yang jagain dia." Untaian kalimat itu meluncur. Niatnya mengusir kekhawatiran sang sobat tapi dirinya tak bisa mengelak. Sebab kenyataannya Lee Jeno pun sama takutnya.

"Chenle..." Ucapan lirih yang kian memelan itu dilontarkan. "...kenapa dia sampai senekat itu? Kalau sesuatu yang serius terjadi di kepalanya, itu berita buruk. Aku mungkin nggak sanggup terima kenyataannya."

Jeno bangkit. Sosoknya nampak jauh lebih tenang. Itu sebatas topeng muka. Yang namanya Lee Jeno lebih andal dari aktor internasional sekalipun. Keahliannya menyembunyikan ekspresi. Marah atau sedihnya, tak bisa dibaca sesuka hati oleh orang.

"Apa yang harus kamu terima? Jangan mengada-ada, Renjun. Chenle bakal baik-baik aja." Tangannya beralih mengikat kantong di tangan kirinya. Bebannya tak seberat itu—bagi Lee Jeno. Rasanya sekedar mengemban selembar kertas. "Daripada berandai-andai nggak jelas, lebih baik cepetin kerjaanmu. Kita bisa selesai lebih cepat dan susul mereka ke rumah sakit."

Melenggang, Jeno pergi. Menyisakan si Jilin di dalam hunian seorang diri. Kakinya dilangkahkan, menciptakan bunyi tapak kecil yang samar-samar terdengar. 5 meter dari teras asrama, Jeno berhenti. Tangan kanannya terayun di udara sebelum berakhir mendarat di tutup tempat sampahnya. Diangkat, kerumunan sampah kering di bawah sana menyapa netra. Botol-botol bekas, kertas kusut, plastik-plastik bersama remahannya sekalian, paling-paling isinya sekedar sampah kecil itu.

Tapi sebentar. Jeno membungkuk, membiarkan kantung di tangannya teronggok tak terurus di atas tanah. Kepalanya melongok. Masuk ke dalam si tempat sampah. Netranya yang menyerupai bulan sabit itu berhasil menemukan sesuatu. Terkubur di antara banyaknya kertas-kertas yang menutupi. Ujungnya menyembul sedikit, mengundang kepenasaran Jeno lebih banyak lagi. Lantas, seakan bukan benda yang menjijikkan, tangan kirinya terjulur masuk. Menyingkirkan banyaknya sampah yang menyelimuti.

Jeno meraihnya. Memungut benda itu untuk dibawa keluar. Matanya menelisik, ini sebuah ponsel. Kepalanya ditelengkan bersama tangannya yang sibuk memeriksa tiap rincinya. Familier, ponsel ini familier.

"Heh Jeno! Ngapain ngorek-ngorek tempat sampah?!" Teriakan Renjun tahu-tahu menusuk rungu.

Diburu akan perasaan bahagianya, Jeno berbalik. Tangannya mengangkat sebatas dada. Menunjukkan barang temuannya meski si penemu masih setengah penasaran dibuatnya. "Renjun! Aku nemu ponsel Jisung!"

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang