42. Langkah Menggali Kebenaran

206 37 1
                                    

Park Jisung, pemuda kelebihan kalsium yang lahir di tahun 2002, hari ini mendeklarasikan bahwa seluruh manusia di bumi patut bersyukur ketika kelopak mata mereka berhasil dibuka. Menghancurkan gembok yang sempat mengunci mata. Membuat semua kegelapan yang mulanya menaungi, melebur tak berbekas. Selama belasan tahun lamanya, Jisung tak pernah mengira-ngira bahwa rasanya sebahagia ini hanya karena dirinya berhasil membuka mata. Hanya karena dia terbebas dari jeratan gelap yang tak berhenti membabi-buta.

Sekarang, semuanya tengah ia rindukan. Jumantaranya yang memikat. Baskaranya yang bersinar terang seolah menyambut eksistensinya kembali. Desiran anginnya yang bagai musik pengiring ketenangan. Park Jisung menyukai bumi yang sekarang tengah dipijaknya. Walau tanpa diketahui, semua di sekelilingnya kian kelam bukannya menerang.

"Gimana rasanya tidur hampir 3 bulan?"

Jisung enggan menoleh. Jelaga gelap itu terpusat pada betapa menawannya alam yang tengah ia kagumi. Bersama tangan kanannya yang menggenggam asal sebuah tiang. Ujungnya bukan bendera tapi sebuah infus yang dibungkus rapi. Punggung tangannya disambung kabel kesehatan untuk tetap terhubung pada infusnya.

"Aku mimpi lamaran sama Anna. Aku mimpi makan malatang satu restoran." Kekehan kecil itu mengudara. Kian merindu akan suasana hangat yang tahu-tahu dibangun sendiri.

"Sakit aja masih suka halu kamu. Darimana bisa makan malatang satu restoran?" Chenle mencibir. Merendahkan lelucon milik Jisung yang tak seberapa.

Baru kali itu, Jisung menoleh. Cengirannya dipamerkan. "Dari kamu. Kan ceritanya kamu yang bayarin sampe satu restoran cuma buat aku." Alisnya dinaik-turunkan. Masih pada sosok Park Jisung yang sama. Sosok yang ahli membuncah kan emosi orang-orang yang menyayanginya. Sosok yang ahli merengek. Setidaknya Chenle menghela nafas lega sebab si sobat karib masih tak punya perubahan sekecil apapun walau tubuh sekurus tiang itu terjatuh dari tingginya lantai gedung.

"Mana mau aku traktir segitu banyaknya? Masih mending buat investasi rumah."

Jisung mengenyahkan pandangannya. Kini, yang ia tatap nampak beribu kali lipatnya lebih indah. Kedengarannya sepele. Park Jisung hanya menghabiskan waktunya untuk telentang di atas kasur bersama kelopak matanya yang tertutup dengan jangka yang lumayan panjang. Sekedar itu, orang pasti beranggapan bahwa itu sama sekali tak menyulitkan.

Tapi ketika kamu mulai dihantui untuk kehilangan segala-galanya, ketika itu pula kamu merasa tengah menjalani simulasi kematian. Dimana semuanya hanya ada kamu seorang diri. Orang-orang yang kamu banggakan, mereka tak ada. Bagai debu yang melebur lantas diterpa angin. Hilang dari pandangan dalam sekejap mata. Tidur dalam jangka waktu panjang. Ringan namun mengerikan.

"Aku mimpi kita bisa debut bertujuh juga." Kalimat itu dilontarkan.

Chenle tak menyahuti lebih banyak lagi. Terpaku tenang. Membiarkan tuan angin terus-menerus menerpa kulitnya. Ada sesuatu yang bergejolak berbau penentangan di dalam dirinya. Batinnya teramat ingin mengucapkan kata tidak bisa, sebuah pernyataan ketidaksanggupan. Tapi di sisi lain, Chenle tak bisa. Sebab hatinya masih menaruh sedikit harapan. Asanya belum pupus dipatahkan oleh kepasrahan.

Jisung mengerjap. Sadar bahwa ucapannya barusan bukan rambu-rambu yang baik. Kepalanya kembali menoleh. Mengukir untaian tawa yang kini berderai di udara. "Ahaha lucu banget. Di mimpiku rambutmu warna metalik. Gayanya dikriting kayak badut."

Chenle terkekeh kecil. Alih-alih menautkan pandangannya, netra itu tak fokus pada sang lawan bicaranya. Arahnya ke bawah. Menatap hamparan atap-atap rumah warga di bawah sana. Lebih tinggi sedikit, ada banyak kabel listrik yang jalurnya simpang siur. Sebuah tindak sebagai tes kecil membawa Park Jisung mampir ke atap rumah sakit. Tempat kejadian perkara yang pernah mendera skenario hidupnya. Detik-detik bagaimana tubuhnya melayang enteng bersama udara yang menghantam kulit. Chenle sekedar memastikan kalau-kalau Jisung teryata mengidap trauma rooftop. Tapi kabar baiknya, Jisung menepis. Matanya setenang biasanya. Tak ada kabut ketakutan sepias apapun.

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang