Na Jaemin benci ketika dirinya harus mengulur waktu, sekedar berpangku tangan, menanti-nanti berita yang ingin didengarnya. Sosoknya benci akan digantungnya fakta yang belum bisa membawa kebenaran atau sebaliknya. Tak bisa menyerahkan semuanya pada mereka, orang-orang yang punya pihak berwenang. Polisi tak hanya mengatasi kasus Jisung, Jaemin yakin masih banyak kasus lainnya yang menggunung, tingginya nyaris melebihi Namsan tower. Dalam keadaan segenting ini, Jaemin tak bisa hanya duduk melipat kakinya lantas larut akan terkaannya sendiri.
Jari-jemarinya bertaut. Mengenyahkan kegelisahannya sendiri yang tak pernah berhenti bercucuran, menghujani dirinya. Kekhawatiran itu tak punya niat sekecil apapun untuk angkat kaki dari jiwanya. Nyaman tersemat di dalam sana. Mempengaruhi si pemilik jiwa akan semua kerumitan ini.
Gusar, Jaemin menyambar kaleng sodanya. Tandas dalam 5 detik sebelum tangannya meremas kuat-kuat. Kaleng di genggamannya penyok, reyot dalam satu perlawanan kecil. Ketika sebuah tapak kaki mendekat, kepalanya mendongak. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mark Lee muncul bersama sekantong penuh sampah di tangan kanannya.
"Mark Hyung." Jaemin menyetop. Tubuh semampainya menjulang. Menghentikan langkah yang lebih tua tanpa diduga-duga. "Udah ada kabar? Polisi, mereka udah dapet kabar apa? Mereka banyak, pasti bisa dapet berita kecil-kecilan atau apapun itu. Iya kan?" Pertanyaan itu dibombardir tanpa jeda.
Mark seakan disentil. Saat manik gelapnya menemukan banyak harap yang binarnya kian jelas ketika dipapar sinar baskara, Mark merasa dirinya bukan lagi seorang pemimpin yang baik. Ah atau sekedar disebut pemimpin pun Mark rasa ia tak lagi pantas. Tanpa sadar, dia membubuhkan banyak kekecewaan yang mendera, meremas-remas kewarasan anggotanya sendiri. Alih-alih menjadi tameng, Mark justru menjadi orang yang menghancurkan semuanya.
Pelan, kepala itu menggeleng. "Maaf Jaemin. Tapi aku belum dapet telepon apapun dari kepolisian. Agensi pun belum dapet informasi lain." Jawabannya ampuh membuat sosok di hadapannya mendesah kasar. Na Jaemin nampak lebih frustasi ketimbang hari-hari sebelumnya. Maka, tangan kanannya tergerak. Memberi tepukan kecil disertai rematan di pundak yang lebih muda—berniat menguatkan. "Sabar ya. Kita nggak bisa ngelakuin apapun. Kita cuma bisa berdoa dan tunggu kelanjutannya."
Kelewat cepat, bola mata itu dipalingkan. Lurus, menatap ke arah sang lawan bicara. "Sampai kapan kita mesti sabar? Jisung sendirian di sana, tidur sendirian. Gimana bisa aku cuma duduk dan tunggu orang-orang itu bawa berita?" Lantas kepalanya digelengkan kuat-kuat. Tangan kanannya terangkat, menyatu bersama terpaan angin sebelum memberi dorongan kuat. Berhasil membuat kaleng penyok di tangannya melayang, membentur dinding keras-keras kemudian berakhir bersama dentingannya—kaleng naas. "Kita bisa cari kebenaran ini selagi polisi juga turun tangan. Semakin banyak orang yang berusaha buat cari tahu, semakin cepet semuanya terungkap."
Mark kehabisan stok kata-katanya ketika sosok di hadapannya berubah menjadi monster dengan banyaknya kobaran api yang mengelilingi. Tak punya kosakata sekecil apapun untuk mengutarakan pencegahannya atau setidaknya sekedar menenangkan yang lebih muda. Jaemin amat sulit dihentikan pada saat-saat seperti ini. Maka, seseorang yang katanya pemimpin paling bijak ini malah cuma berdiam diri layaknya orang bodoh yang tengah tersesat, gagal menemukan jalan pulangnya sendiri.
"JAEMIN! JAEMIN! NA JAEMIN!"
Tapi sang empu nama tak pernah menghentikan langkahnya atau menoleh sedikitpun. Derap langkahnya terdengar menggebu ketika menapaki tanah. Jaemin pergi. Masuk ke dalam asrama, menyisakan si Kanada seorang diri. Dibelenggu akan kekacauan yang semakin menyesakkan dada.
Park Jisung berjuang dengan dirinya sendiri. Tanpa siapapun, dia terbaring lemah di bangsal mengerikan itu. Bau-bauan yang tak nyaman di hidung pasti semakin menyiksanya. Jaemin masih ingat betul. Kala itu, Jisung menyatakan satu fakta unik tentang dirinya. Katanya, aku nggak suka rumah sakit. Baunya kayak bau kematian. Lebih menyakitkan ketika ditimpuk tumpukan batu berat atau ditusuk bambu runcing, Jaemin menyesali semuanya. Park Jisung, si maknae benar-benar diterpa akan kenahasan yang bukan main beratnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
FanfictionSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...