32. Terulangnya Pertikaian

180 33 0
                                    

Sosoknya tidak harus terus-menerus menyelesaikan sesuatu dengan cara umum. Sosoknya lebih suka menyelesaikan sebuah perkara menggunakan caranya sendiri. Sosoknya lembut, manis dan penuh akan perhatian yang tidak pernah berhenti membludak di tiap detiknya. Sosoknya diberi nama Na Jaemin. Seorang pemuda kelahiran Agustus yang menyukai kedamaian dan identik dengan empati simpatinya.

Jaemin bukan mantan perundung di sekolah atau anak badung yang susah diatur. Dia hanya tak lebih dari seorang pemuda yang menyayangi segala hal di sekelilingnya. Barangkali kamu pernah menyaksikan seseorang tengah mengobati kaki kelinci di pinggir jalan, kamu tidak salah, itu memang Na Jaemin.

Nggak, ini pasti bukan karena Jaemin.

Lee Jeno kewalahan. Separuh dari jiwanya amat sangat mempercayai sang sobat tapi separuh yang lain malah menentang. Langkah kakinya dipercepat bersamaan dengan rumitnya benak itu bekerja. Dipenuhi akan rasa bersalah. Jeno hanya punya 2 kandidat untuk dijatuhi sebagai pelaku saat ini; Na Jaemin dan dirinya sendiri. Seandainya hari itu mulutnya benar-benar ditutup rapat atau setidaknya menghindar, membentak Jaemin, membuatnya berhenti mendesak, Jeno pasti tak akan kecolongan. Seandainya Jeno menyadari fakta betapa eratnya kesolidaritasan Na Jaemin.

Alih-alih memburu waktu, kakinya justru memelan. Pintu agensi diblok akan banyaknya orang yang berkumpul pada titik itu. Eksistensi Seok Jungmin tahu-tahu menarik perhatiannya. Pemuda itu rupanya tengah dimintai keterangan oleh aparat kepolisian. Kedua tangannya membawa getaran kecil. Menyalurkannya pada sebuah ponsel di genggamannya.

Seakan mengendus betapa harumnya daging segar, Jeno melangkah lebar-lebar. Tidak tergerak menderaikan sepatah kata apapun, tangan kekarnya menarik pergi sang saksi yang tengah dimintai keterangan. Membawanya, mengamankannya di sebuah tempat yang lebih sepi.

"Jeno? Apa-apaan sih kamu? Aku lagi ngasih keterangan." Keningnya berkerut. Gurat kekesalan ditorehkan kelewat jelas. Jungmin beranjak melenggang, tapi Jeno kembali menahannya.

"Aku mau tanya sesuatu. Satu hal, cuma satu hal." Telunjuknya teracung bersama raut kekhawatiran yang mulai timbul. "Sebelum Junhee ditemukan babak belur kayak gitu, dia bilang sesuatu ke kamu atau ke teman-temannya? Dia bilang sesuatu kan pasti? Dia bilang apa?" Mencecar, Jeno tak peduli akan banyaknya pertanyaan yang menghujani Jungmin.

Yang ditanya menghela nafas. "Sebelumnya, dia kirim pesan ke aku. Katanya dia bakal habis karena orang-orang brengsek yang kecanduan." Jungmin mempertontonkan sebuah gelembung pesan di layar ponselnya. Kalimatnya berbunyi, aku bakal habis nggak bersisa hari ini karena para pecandu narkoba itu, aku udah gali lubang kematian sendiri jadi harusnya aku nggak banyak marah-marah karena salahku sendiri. Tapi Hyung, kalau kamu mau tolong aku, tolong sekarang.

Tak bergeming, Jeno mematung. Semua ini kian masuk akal bagi mereka-mereka yang tak mencurigai apapun. Kedengarannya kelewat jelas ketika seseorang ditemukan terkapar penuh akan torehan luka sementara sang sobat dikirimi pesan pertanda beberapa saat sebelumnya. Tapi Jeno tidak. Ketimbang merasa masuk akal akan semua ini, dia malah makin tidak bisa mengendalikan kecurigaan akan semua teka-teki mengerikan ini.

"Aku terlambat. Aku mau nolong dia tapi terlambat. Yang aku temuin cuma tubuhnya udah dalam keadaan babak belur separah ini. Aku harap dia nggak apa-apa meski kepalanya sampai bocor. Walau dia punya banyak salah ke temen-temenmu, aku masih punya rasa kawan buat dia. Jadi Jeno, sebagai wakilnya Junhee, aku minta maaf ke kamu dan temen-temenmu terutama Mark Lee sama Park Jisung."

Dia bilang Park Jisung. Si pemuda yang tengah berbaring tanpa tergolek sedikitpun di atas bangsal. Si pemuda yang masih nyaman menyelami alam bawah sadarnya tanpa tahu keadaan semakin runyam. Si pemuda yang menjadi satu-satunya alasan akan kekacauan yang kian merajalela.

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang