27. Kubangan Pertanyaan

177 39 1
                                    

Manusia itu penuh dengan teka-tekinya. Akrab dengan banyaknya rahasia yang dikubur dalam-dalam. Sebagian darinya mungkin memuat tentang beberapa skenario hidup mengerikan dan sebagiannya lagi mungkin sesuatu yang memalukan. Umumnya, manusia punya banyak rahasia dengan dasar seperti yang disebutkan barusan. Tujuannya hanya satu, menyembunyikannya. Tak akan membiarkan manusia lainnya menggali semuanya. Membiarkan mereka terus terjebak akan segala tanda tanya yang alot dicabut.

Lee Jeno masih betah menyinggahi benaknya. Dan Lee Haechan tak bisa mengenyahkannya dalam sekali coba. Jaemin bilang, satu-satunya alibi yang mendasari kecurangannya adalah mimpinya sendiri. Orang bilang, berambisi itu salah satu jalan menuju gerbang kesuksesan. Tapi Jeno terlalu dalam menyelaminya. Matanya mulai menggelap. Kehilangan kepercayaan akan kemampuan dirinya sendiri. Terjun ke dalam jurang yang sewaktu-waktu siap menghancurkan dirinya. Berkeping-keping sampai berakhir melebur bersama debu.

Seharusnya Haechan tak lagi dikuasai oleh rasa bertanya-tanyanya sebab Na Jaemin selesai menjelaskan semuanya dengan amat sangat mendetil. Sayangnya tidak. Haechan masih merasakan secuil kejanggalan. Lantas di tengah semua itu, seseorang mengambil beberapa ruang di dalam benaknya. Itu Zhong Chenle.

Sampai sekarang, pertanyaan Haechan masih sama persis. Apa tujuan pemuda itu masuk ke dalam gedung les vokal? Maksudnya, agensi menyediakan segala-galanya. Tari, vokal, rap, akting—semuanya dibekali oleh mereka. Tapi di tengah segala kesempurnaan itu, kenapa Chenle masih susah-susah membuang uangnya untuk les vokal? Haechan tahu, pemuda Zhong itu kehabisan cara untuk menghabiskan hartanya, tapi apa ini cukup masuk akal?

Lee Jeno dan Zhong Chenle telah memasuki teka-tekinya masing-masing. Kemarin satu orang, besoknya bertambah satu. Haechan meragu. Tak menutup kemungkinan, pelan-pelan semua sobat karibnya ini dipenuhi teka-teki yang mencekik dirinya sendiri.

Haechan menunduk. Tangan kirinya diangkat setengah dada. Mengerling sekilas ke arah arloji yang nyaman melingkar di pergelangan tangannya. Mulutnya berdecak kecil. Mark Lee terlambat entah untuk alasan apa. Bosan, jemarinya mendarat di atas meja. Menciptakan ketukan acak yang lama-kelamaan merangkai sebuah nada.

"Haechan Hyung?"

Si empu nama mendongak. Salah satu sosok yang mulai betah mendiami benaknya, muncul tanpa diduga-duga. Zhong Chenle bersama sebuah cup kopi di tangan kirinya datang menyapa.

"Mau kemana?" Tak tergiur membalas sapaan si China, Haechan mengulas pertanyaan lain. Siapa tahu jawabannya nanti berhasil mengenyahkan setengah dari banyaknya kubangan pertanyaan itu.

"Iseng mau jalan-jalan."

Lewat tatapan itu, Haechan menelisik. Chenle bukan tipe orang yang gemar menikmati waktunya seorang diri. Anak penuh keceriaan itu, tak bisa bertahan lebih lama ketika ia tak menemukan siapapun untuk diajak bincang. Melihat adanya celah kejanggalan, Haechan mengerling sekilas. Tapi kosong. Kenyataannya memang tak ada siapapun di belakang si Zhong.

"Sendirian?"

Dari raut itu, Haechan menangkap adanya sedikit kekecewaan yang mencuat. Chenle mengangguk pelan. "Tadinya aku mau ajak Jisung, tapi dia kayaknya masih tidur." Matanya menerawang sekilas. "Mau ajak Jeno Hyung. Tapi aku pikir dia nggak bakal tertarik karena keadaan ini. Padahal Jeno Hyung pasti mau kalau aku ajak keluar."

Haechan termangu. Ah si mata sabit itu masih memperkeruh keadaan. Berita terkininya, Jeno melewatkan waktu tidurnya. Itu laporan dari reporter Na Jaemin. Selebihnya, Haechan belum tahu lebih banyak. Tentang Jeno yang sempat mengudarakan pinta maafnya atau tentang seberapa kacau kondisinya saat ini.

"Hyung sendiri, ngapain di sini?"

Yang ditanya mengerjap. "Aku tungguin Mark Lee. Dia udah telat 15 menit." Lantas decakan itu kembali mengudara.

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang