Dari mulut manisnya, kalimat itu melesat tanpa beban. Bunyinya,
"Kamu nggak usah khawatir. Walaupun ini udah berat banget kasusnya, tapi aku bakal coba lindungi kamu dan Jaemin sebisanya. Besok datang aja ke pengadilannya, aku bakal kasih perintah ke karyawan-karyawan itu buat pastiin nggak ada salah satu pun wartawan yang pergoki kalian. Kalau udah begitu, semuanya bakal tetep aman-aman aja. Kamu atau Jaemin, nggak akan aku depak dari sini. Kalian terlalu berharga, banyak yang mau kalian buat jadi trainee mereka. Tapi konsekuensinya—seenggaknya—kalian didiskualifikasi."
Renjun gamang. Apa yang harus ia rasakan saat itu? Mungkin secuil rasa takut yang menghambat relung dadanya bisa terbebaskan. Tapi sisanya, Renjun tak lebih dikuasai oleh keabu-abuan. Oke, katakanlah bahwa dia masih punya satu harapan dan hidupnya tak akan hancur lebur sepenuhnya. Sebab mimpi itu masih memberikannya peluang. Sebab mimpi itu masih setia menantinya. Sisanya, Renjun mirip manusia yang kehilangan akal sehatnya. Ketika waktunya kian mendekat, rasa bersalah itu justru makin menggembung besar-besar. Tak punya niat untuk lenyap.
Di tempatnya, Renjun terduduk. Bersama Na Jaemin di sisi kiri sementara sang pengacara di sisi kanannya. Renjun terapit. Kepalanya menunduk, tak bisa membalas tatapan mereka-mereka.
Agensinya konsisten. Mereka mungkin tengah melakukan banyak hal. Coba lihat, ruangan ini sekedar diisi oleh yang bersangkutan. Kursi-kursi di belakang sana, hanya diduduki oleh Haechan, Mark Lee, Lee Jeno dan Zhong Chenle bersama beberapa orang asing lainnya—agensi mungkin telah memastikan mereka untuk menutup mulut.
"Sidang hari ini diselenggarakan karena dibukanya kembali kasus Kang Junhee sebulan yang lalu. Sebelum itu, izinkan saya memaparkan detail kasusnya, Yang Mulia." Si pengacara—Yang Mingguk—mengawali. Tubuh gagah semampai itu bangkit dari duduknya. Membungkuk bagai bawahan yang nampak amat sangat menghormati tuannya.
"Bisa dimulai, pembela."
Mingguk mengangguk kecil. "Terima kasih Yang Mulia." Lantas pada saat itulah karismanya mulai membumbung. "Kasus kematian Kang Junhee dengan kedok pembunuhan akibat ketidakterimaannya para preman penikmat narkotika itu, ternyata bukan cerita yang sesungguhnya. Seseorang datang, memberikan kesaksiannya di waktu yang agak terlambat. Saudara Na Jaemin, mengakui bahwa dirinya-lah yang telah membunuh Kang Junhee dengan motif ketidaksengajaan. Menurut penuturannya, dia sekedar ingin memberi sebuah pelajaran untuk Kang Junhee tapi yang terjadi justru lebih dari itu."
Hakim mengiyakan. Anggukan samar itu menyapa netra sementara Mingguk mulai mengubah haluannya.
"Kemudian Huang Renjun. Kasusnya lumayan rumit, tapi sebetulnya semua ini saling berkaitan." Tangan itu menuding sekilas si empu nama. "Sebelum kematian Kang Junhee, Park Jisung ditemukan terjatuh dari atap gedung. Dugaannya adalah Huang Renjun. Kasus ini merembet, salah satu saksi malam itu—Lee Jeno—membeberkan kebenaran yang salah kepada Na Jaemin. Dia menyebutkan bahwa Kang Junhee-lah yang mengakibatkan Park Jisung jatuh dari atap gedung. Maka dari itu, saudara Na Jaemin tergerak memberi pembalasan terhadap Kang Junhee namun bukan dalam artian menewaskannya."
Renjun tak lagi punya jalan keluar sedikitpun untuk membebaskan diri. Kepalanya nyaman ditundukkan. Kedua tangannya gelisah bertautan di bawah sana. Gundah, dia tak bisa membayangkan apapun. Entah itu sekilas angan tentang sang Mama yang tengah sesenggukan karena putra tak beradabnya ini atau dia yang justru tak tahu-menahu apapun.
Renjun seolah tuli. Suara-suara itu bagai gesekan angin yang lirihnya bukan main. Tak bisa menyadari apapun walau seseorang tengah mengawasinya. Netra itu terpaut erat untuk sosoknya yang masih diam tak bergeming. Jaemin menanti-nanti si Jilin untuk menggerakkan lehernya lantas menoleh ke arahnya dan dia bisa mengulas senyum sebagai penghibur kecil-kecilan—setidaknya. Tapi harapan itu agaknya ditolak oleh alam. Renjun bahkan tak tergiur untuk menyadari keberadaannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
FanficSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...