Setahu Mark, namanya STAR-M. Skenario hidupnya sekedar dihabiskan untuk berkutat bersama pena dan banyaknya kertas yang siap berhamburan. Orang bilang, kemampuannya lumayan. STAR-M nampak bahagia menduduki tahtanya. Dijuluki sebagai penulis lagu berotak emas dan komposer musik sekelas dunia. Rumornya, semua lagu ciptaannya pernah menduduki chart billboard dan tiap bulannya terjual lebih dari 1 juta copy. Dari sana, kamu bisa tahu seberapa hebat sosoknya hanya melalui nama yang disematkan untuk dirinya.
Hidupnya kelewat indah untuk dibual-bual. Sampai pada akhirnya, Mark Lee akan datang. Memerankan tokoh antagonis dalam skenario hidupnya. Siap menghancurkan semua yang pernah ia bangun sampai tak bersisa. Bahkan puing-puingnya pun tak akan bisa memperjuangkan apa yang pernah dipunyainya.
Manusia tidak akan pernah bisa terpaku dalam titik kesuksesan selama umurnya terus berlanjut. Rela atau dipaksa, hidupnya akan runtuh sekali-kali. Itu cara kerja hidup. Mark Lee pun tengah ada di titik yang sama. Haechan dan kawan-kawannya sempat melontarkan kejujuran. Katanya, hatinya terlampau baik. Dunia ini kelewat kejam untuk ditinggali seorang pemuda berhati mulia. Tapi Mark kini menepis. Sebanyak apapun bualan itu terlontar—mengulas tentang hal-hal baiknya—itu bukan segala-galanya. Mark punya satu sisi gelap. Mulanya dari rasa jengkel, sedikit namun lama-kelamaan menggunung. Membumbung tinggi mengalahkan sisi baiknya.
Di sini, kedua tangannya terlipat. Sesekali menciptakan irama tak tentu. Mejanya ditabuh kecil-kecilan. Bola matanya jelalatan. Studio musik yang katanya milik STAR-M ini dibangun dengan nuansa abu. Lumayan sepi, paling-paling sekedar 5-10 orang yang menapakkan kaki di dalam sana termasuk Mark Lee.
Ini misi rahasia—mungkin. Ketika Lee Haechan masih belum menyerah, mempertaruhkan segala yang ia punya demi menemukan pusaka yang dicari-cari, ketika itu pula Mark menyelinap keluar. Si Jeju tak menyadari ketidakhadirannya. Ponsel Jisung lebih berharga ketimbang karirnya yang dipotek kejam oleh orang tak bertanggungjawab.
Pintu kaca didorong. Menciptakan derit kecil yang mengiringi langkah. Satu hembusan nafas panjang mengudara. Mark bangkit, yang dinanti-nanti tiba bersama senyum lebarnya. Kakinya melangkah lebar-lebar. Mencegat tawanannya.
"Halo, yang terhormat Moon Hyuntaek." Sapaan itu meluncur. Membuang jauh-jauh mahkotanya yang digadang-gadang sebagai bintang atau apalah itu. Mark tak tertarik memujinya lewat sematan nama STAR-M. Moon Hyuntaek agaknya lebih menarik.
Yang disapa setengah dikejutkan. Alisnya menukik kecil. Tak pernah menyangka-nyangka si buah bibir mampir ke istananya. Sosok yang tampil memukau di panggung. Menciptakan binar kagum di matanya. Sorot itu, pancar auranya, Hyuntaek sama antusiasnya. Berandai-andai seberapa sempurna hidupnya jika satu hari nanti tulisannya berhasil dibawakan oleh Mark Lee. Sayangnya sesuatu menghambat. Alih-alih bunga yang menyergap, Hyuntaek diserang akan sakitnya tusukan. Tak bisa berhenti, kepanikan itu menguasai dirinya.
"H-hai. Ada yang bisa ku bantu? Ayo, ayo, duduk. Mungkin kita bisa berbincang kecil. Kamu ke sini dengan tujuan buat kerja sama kan? Aku dengan senang hati bakal terima. Satu minggu lagi, satu minggu lagi, single yang sempurna bakal jadi milikmu."
Mark mengerut. Ngawur. Hyuntaek melenceng dari dugaannya. Entah apa yang mendasari tapi ketakutan itu ia tangkap lewat binarnya. Mungkin kalimatnya barusan efek samping atau sekedar omong kosong—berusaha membelokkan topik pembicaraan.
Mark menggeleng. "Kenapa kamu seenaknya copy paste lirikku gitu aja?" Pertanyaan itu telak menusuk lawan bicaranya. Bersama dengan kilat emosi yang mulai menyalak seram, Mark dingin menginterogasi.
Tepat sasaran. Tak! Panah yang diluncurkan Mark menancap pada targetnya. Hyuntaek kelimpungan. Panik itu kian merajai. "L-lirik apa? Jangan ngomong sembarangan. Aku banyak kerjaan, kalau kamu cuma mau cari gara-gara, keluar sekarang. Aku nggak terima kehadiran perusuh kayak kamu." Kaki kanannya mulai dikerahkan. Tapi gagal, Hyuntaek kembali dipaksa untuk tetap pada titiknya. Cekalan tangan itu menghinggapi pergelangannya. Menghambat semua gerak-gerik yang siap diluncurkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
Fiksi PenggemarSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...