26. Mereka Berupaya

175 36 6
                                    

Gelapnya malam belum cukup berhasil membuat kobaran cahaya dalam diri pemuda Lee itu meredup. Kelabunya tak cukup ampuh membuat suasana hatinya ikut menggelap. Detik jam yang beradu dengan gesekan angin, masih gagal menjadi lagu pengantar tidur. Bahkan ketika jarumnya berpulang pada angka 4, Lee Jeno masih nyaman terkurung dalam jeruji itu. Dikelabuti akan penyesalan, kekecewaan namun dicampur bersama ambisi pembangkit semangatnya.

Seharusnya, orang normal tak akan punya banyak semangat yang membara ketika subuh mulai menjelang. Seharusnya, kelopak mata mereka digelayuti akan beratnya rasa kantuk yang menyerang. Seharusnya Lee Jeno tak bisa menahan semua itu. Tapi kenyataanya terbalik. Seolah tak sadar akan perubahan waktu, Jeno tak kehilangan sepersen pun semangatnya. Alih-alih melirih, bariton itu makin keras menggema. Menyaingi detik jam yang dulunya menguasai gelap.

Satu tingkat di kasur bawahnya, Na Jaemin nyaris tergerak untuk membanting tubuh kekar milik Jeno. Jaemin tak tahu apa yang salah dengan pola pikir pemuda mata sabit itu. Tapi jam 4 pagi bukan waktu yang bisa dimanfaatkan untuk mengasah kemampuannya. Berjam-jam lamanya, Jaemin berusaha berperang. Melawan betapa mengganggunya bebunyian yang diciptakan Lee Jeno. Matanya melawan semua kebisingan itu. Dipaksa memejam tapi selama itu, upayanya tak membawa hasil apapun. Rasa kantuk itu semakin berat tapi si kelopak mata enggan menutup.

Gusar, kaki jenjangnya terangkat. Memberi tendangan keras akan ranjang di atasnya. Sedetik singkatnya, kayu itu bergetar kecil. "Berisik! Kamu bisa liat jam nggak sih? Nggak capek bacot terus dari tadi?" Jaemin mencecar kesal. Keningnya mengernyit dalam.

"Kamu bisa keluar."

Jaemin terpaku. Rasa kantuknya melarikan diri. Menyisakan segunung rasa kesal yang tak bisa runtuh dalam satu sentuhan jari. Mendelik, tubuhnya beringsut duduk. Kepalanya mendongak bersama tangan yang terus-menerus menghujani pukulan di dasar kayu ranjang milik Jeno.

"Sialan, apa hak kamu ngusir-ngusir kayak gitu? Aku juga bagian dari agensi ini, aku berhak tidur di sini." Sayangnya, yang diberi protesan tak kunjung bungkam. Makin keras guncangan yang dikerahkan, makin keras pula bariton itu mengudara. Menyaingi bunyi decitan yang lumayan ngilu ketika merangsek ke dalam rungu. Maka, Jaemin memberi serangan lebih brutal. "Lee Jeno! Kamu gila?! Ini jam 4 subuh! Kamu nggak bisa latihan rap sepagi ini!"

"Kalau gitu, kamu boleh keluar!"

Diserang keterkejutannya, Jaemin memaku. Tangannya berhenti memberi banyaknya bombardir akan guncangan yang ia ciptakan. Ini sebuah skenario yang cukup konyol. Menjelang pagi, pertikaian itu nyaris berlanjut. Lee Jeno baru saja memberi serangan balik. Suaranya yang tak pernah padam, berhasil mengalahkan lantangnya bentakan Jaemin. Kepalanya menunduk bersama tatapan tajam yang seakan menguliti Jaemin dari bawah ranjangnya.

"Kamu bisa keluar." Cetusan itu kembali meluncur dari bibir yang sama. Kali ini lebih pelan, nyaris menyerupai bisikan. "Maaf ganggu waktu tidurmu. Aku cuma nggak mau makin ketergantungan buat ngelakuin hal-hal curang. Jadi biar nggak kejadian lagi, lebih baik aku kerja sekeras mungkin sampai semuanya lebih baik." Kalimat itu menyusul. Selepasnya, Jeno tak lagi menyertakan apapun. Tangannya meraih selembar kertas yang mulai kumal. Mulutnya kembali tergerak. Mengucapkan untaian kalimat yang masih sama bersama nadanya. Lebih bersemangat dan lebih bertenaga.

Di bawah sana, Jaemin ikut diserang akan rasa sendunya. Merasa satu rasa sesal yang tak kalah beratnya dari Lee Jeno. Sayangnya, dia masih belum tergerak untuk menyatakan perdamaian. Meski pemuda mata sabit itu terang-terangan mengakui kesalahannya, menyesalinya, tapi itu masih berat untuk dimaafkan.

Lantas, Jaemin menyadari. Bahwa rasa kecewanya lebih besar ketimbang rasa simpatinya.

Masih keras kepala mengacuhkan bunyi bising yang tak hentinya menyapa rungu, Jaemin merebah. Tubuhnya menyamping, menatap dinding yang mulai dihiasi beberapa retak kecil. Menyamakannya akan pertemanannya yang mulai terancam. Sama seperti dinding, tali itu lama-kelamaan akan rapuh. Diterjang banyaknya angin topan dan kerasnya debur ombak. Dan Jaemin, sampai saat ini masih bertanya-tanya.

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang