Huang Renjun tumbuh dengan penuh cinta. Renjun di usia 5 tahun terlalu rapuh untuk menghadapi betapa kejamnya dunia. Ketika kakinya jatuh disandung kawannya sendiri atau ketika robotnya kalah bertanding, air matanya kelewat deras tercurahkan. Mulut mungil itu terbuka lebar-lebar. Suaranya melengking, mengundang siapapun untuk turut mengasihaninya. Tak sampai setengah menit lamanya, sang Mama dipastikan tergopoh-gopoh. Tangannya menarik tubuh mungil si pangeran, mendekapnya, menenangkannya dengan peluk yang selalu nyaman. Telapak tangannya tergerak, mengelus surai gelap milik Huang kecil sebelum suara lembut itu mengudara.
"Renjun kenapa nangis? Anak ganteng nggak pantes nangis. Katanya Renjun anak ganteng?"
Kalimatnya selalu sama. Renjun sampai hafal di luar kepalanya. Walau sekedar kata-kata yang itu-itu saja, tapi entah mengapa ketenangan itu selalu menghinggapi dirinya. Saat tangisan itu kian pilu, tersedu-sedu, Renjun menyahut sebisanya. Bersama jari telunjuknya yang mungil menggemaskan, menunjuk kawannya—menyalahkannya.
Renjun banyak mengadu. Mamanya pernah bilang bahwa dia bisa menjadi apapun yang Renjun mau. Dokter, koki handal atau polisi sekalipun jadi ketika ia kesulitan, maka mulutnya tak akan pernah berhenti melapor. Berharap sang Mama menjelma menjadi sosok polisi yang akan selalu melindunginya. Renjun selalu bilang, dia curang Ma! Dia tendang robotku waktu aku belum siap! Itu kan nggak adil! Atau kalimat lainnya seperti, huweee! Dia jahat, dia jahat! Kakiku ditendang! Kakinya ngehalangin jalan padahal itu bukan jalannya! Mama, Mama masukin dia ke penjara ya.
Tapi sang Mama tak pernah kehabisan stok senyum lembutnya. Menguraikan dekapan hangat itu, matanya memberi keteduhan untuk menaungi kesedihan sang anak semata wayang.
"Renjun, dia nggak salah. Temenmu mungkin nggak sengaja. Dia udah minta maaf belum? Kalau udah, berarti dia bukan orang jahat. Buktinya dia minta maaf. Orang jahat kan nggak bakal menyadari kesalahannya. Jadi, setiap Renjun kesakitan atau merasa kalah itu bukan berarti mereka jahat karena buat Renjun sedih. Mereka cuma nggak sengaja bikin Renjun gitu. Kalau mereka udah minta maaf, itu artinya mereka menyesal. Dan Huang Renjun yang katanya anak ganteng ini harus maafin dia. Anak ganteng kan selalu baik ke semua orang termasuk maafin orang-orang itu. Paham, sayang?"
Si mungil Huang Renjun akan selalu berakhir memberi anggukannya. Tawa kecil itu berderai kala jari-jemari itu terulur mendekat. Menjawil pipinya yang gembul kemudian mengelus surai gelapnya.
Beranjak dewasa, Huang Renjun lebih kokoh dari sosoknya yang dulu. Lebih tegar dan lebih sulit ditumbangkan. Waktu itu, usianya menginjak 10 tahun ketika obsidiannya menyaksikan betapa mengagumkannya seseorang di layar kaca. Tubuhnya membungkuk ke bawah seiring mulutnya yang terbuka lebar. Menggemakan suara merdunya yang bukan main. Matanya berbinar. Sorotnya dipenuhi akan semangat yang berkobar. Sejak hari itu, Renjun menemukan mimpinya. Saat gurunya melayangkan pertanyaan perihal cita-citanya, Huang Renjun-lah yang lebih dulu mengangkat tangan. Kelewat semangat, dia akan berteriak lantang.
"Aku mau jadi penyanyi hebat, Bu Guru! Aku mau nyanyi pakai bahasa Inggris juga! Nanti Bu Guru sama temen-temen harus datang ya!"
Lumrahnya, anak-anak seusianya itu masih belum menetapkan macam apa bentuk mimpi mereka. Semangatnya sekedar untuk bertarung merebutkan robot-robot yang masuk ke medan perang atau balapan. Kebut-kebutan mengendarai mobil-mobilan lewat remot di genggaman masing-masing.
Tapi Renjun sedikit berbeda. Ketika dirinya dihujani banyak dukungan, ketika itu pula tekadnya semakin membulat. Perasaan puas yang menggelora bersama rasa bangga yang turut menyertai itu menggebu-gebu saat dirinya berhasil membuktikan kemampuan yang ia punyai.
Suatu hari, Renjun di umurnya yang ke-14 berlarian kelewat girang. Surainya mengembang lucu bersamaan dengan kaki mungilnya yang melangkah lebar-lebar. Tangannya mengangkat tinggi-tinggi sebuah tropi penghargaan. Saking meluapnya euphoria itu, kaki kirinya nyaris tersandung. Dagunya hampir berakhir mencium lantai. Tapi Renjun tak mempedulikannya lebih jauh. Bibir itu hanya sekedar mengaduh kecil sebelum disusul menggemakan suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
Hayran KurguSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...