Lee Jeno merenung.
Ini bukan seperti apa yang biasanya dilakukan oleh si pemuda mata sabit itu. Tapi untuk kali ini, dirinya duduk di atas dinginnya lantai. Menekuk kedua lututnya lantas menumpukan dagu di atasnya. Masih belum puas berimajinasi, Jeno tak bosan-bosannya melukis angan-angan lewat benaknya.
Dulu, yang namanya Lee Jeno seakan tak punya kegagalan. Pada bidang apapun itu, dia selalu mendapat kesempatan besar. Peringkat satu setiap tahun bukan sebuah hal yang harus dihadiahi wow bertubi-tubi. Kemenangannya atas kontes menari atau olimpiade, tak lagi harus dipamer-pamerkan dengan bangga. Ibaratnya, Jeno seakan identik dengan kebaikan dan keberhasilan.
Sayangnya, untuk pertama kalinya, Jeno merasa ini bukan tempatnya. Dia memang menyukai, dia memang punya ambisi untuk menggapai mimpinya. Tapi itu bukan segala-galanya. Kalau takdir menjatuhkan kata tidak, melarangnya untuk terus bermimpi, Lee Jeno hanya bisa menerima.
Ketimbang pelangi menawan yang menghias apik di benaknya, menciptakan banyak warna di angan-angannya, Jeno justru kehilangan semua itu. Gersang, dipenuhi warna abu-abu dan penuh akan kesenduan. Satu-satunya objek yang ada di sana hanyalah dirinya sendiri. Terpuruk. Tak tahu harus melangkah kemana untuk menyambung cerita hidupnya yang nyaris kandas.
Untuk pertama kalinya, Lee Jeno merasa ia tak punya kesempatan yang besar. Untuk pertama kalinya, Lee Jeno merasa dunia tak lagi berpihak padanya. Mungkin dia sudah bosan? Atau malah Jeno yang terlalu lama terjebak dalam zonanya.
Ini bukan berita baik. Jeno mulai terpelosok jatuh ke dalam jurang keputusasaan yang semakin mengerikan. Bagaimanapun itu, dia tak bisa terpaku lama di dalam sana. Maka, tubuhnya beringsut. Kakinya melangkah lebar-lebar. Keluar dari kamar asramanya.
Mark Lee.
Satu-satunya sosok yang tengah ia jatuhi harapan terbesar hanyalah pemuda asal Toronto itu. Kepalanya menoleh ke beberapa arah. Berusaha menemukan presensi si Kanada. Netranya disapukan. Memindai setiap tempat bak mesin pemindai andal yang tak akan melewatkan sudut sekecil apapun.
Ibarat jantung dan rongganya, Jeno pun menerka-nerka bahwa sosok yang tengah dicarinya mungkin saja tengah mengasah kemampuannya lebih jauh lagi. Langkahnya semakin dipercepat. Ketika pintu cokelat terang itu menyapa netranya, Jeno mendorongnya. Menciptakan bunyi debum yang lumayan mengganggu. Tenaganya bukan main.
Tapi, dang!
Dugaannya salah. Bukan pemuda rantauan Toronto, si Lee yang menjadi pemimpin kelompoknya, yang ia temukan justru kelompok lain. 4 pemuda yang dengan kompaknya menjeda latihan mereka. Kepalanya ditolehkan, terbengong-bengong saat orang asing tahu-tahu menyeruak masuk tanpa sopan santun. Desas-desus kecil mengudara. Menyatakan ketidaksukaan mereka atas gangguan yang didalangi oleh Lee Jeno.
Sialnya, salah satu dari mereka keluar dari barisan. Jeno merutuk. Ini bukan waktu yang tepat untuk saling adu bacot bersama si Kang Junhee pemilik otak separuh. Maka, tubuhnya berbalik. Tak punya apapun lagi untuk dikatakan.
"Wow, wow! Santai, kawan. Setelah kamu dobrak pintu itu seenak hati, ganggu latihan kita, kamu mau pergi gitu aja? Nggak ada yang mau diucapkan, bapak Lee Jeno?" Suara berat dengan nada jenaka itu mengudara. Tengil, berhasil membangkitkan kebencian yang telah dikubur dalam-dalam. "Kelihatannya kamu agak sedikit marah, lagi cari siapa?"
Kesal, rahang itu mengeras. Telak, tak mengizinkan si mulut sampah itu banyak membombardirnya dengan omong kosong lagi, Jeno menepis sarkas. "Bukan urusanmu." Kemudian kakinya melangkah pergi dari sana.
Tangannya merogoh saku celana. Meraih ponselnya bersama dengan kepalanya yang beralih ditundukkan. Jemarinya lugas mengetik untaian kalimat dalam beberapa detik. Menanyakan dimana sebenarnya Mark Lee tengah berada sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
Hayran KurguSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...