10. Pertarungan Pertama

286 63 4
                                    

Beritahu Park Jisung, apa yang harus ia rasakan saat ini.

Terlalu banyak perasaan yang mendera pemuda kelebihan kalsium itu saat ini. Ketakutan, rasa gugupnya, semangatnya, betapa gemetarnya tubuh itu, atau seberapa kalut pikirannya sendiri akibat dihujani banyak asumsi. 2 minggu sama sekali bukan perpanjangan waktu. Bak memejamkan mata, 14 hari rasanya sekedar 12 jam yang tahu-tahu dijalani dan berakhir dengan amat sangat cepat.

Ketujuh-tujuhnya tak pernah menyempatkan waktu untuk banyak melontarkan candaan. Apa yang ada di dalam benak masing-masing hanyalah tentang latihan. Setiap harinya, ruang itu seakan telah resmi menjadi rumah mereka. Ketukan sepatu yang menyatu bersama irama musik, tak pernah berhenti mengalun. Semuanya benar-benar memberi kerja keras mereka.

Di saat-saat seperti ini, keambisiusan Mark Lee sampai pada puncaknya. Suaranya tak pernah berhenti mengudara. Bertukar pikiran masing-masing, dia yang akan pertama kali mengoreksi hasil latihan mereka. Bulir keringatnya tak pernah berhenti mengucur. Mengesampingkan rasa lelahnya, dia akan terus masih berlatih. Di asrama, di atas tempat tidurnya, bibirnya akan kembali bergerak. Melantukan untaian lirik dalam waktu yang kelewat singkat. Memperhatikan detail-detailnya. Mengulangnya ketika ia belum merasa puas dengan potensinya sendiri.

Mark Lee bukan robot yang didasari oleh besi dan mesin. Mark Lee bukan benda mati yang tak pernah merasakan apa itu lelah. Bohong kalau selama ini dirinya tak pernah letih. Maka satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah berbaring. Menelan vitaminnya dengan rutin atau segelas teh madu hangat yang belakangan ini sering dikirim oleh Jaemin.

2 minggu itu benar-benar berakhir. Percobaan panggung jatuh pada hari ini. Kurang 2 hari dari pertunjukan yang sebenarnya, semua trainee dikumpulkan dalam satu titik. Mengerling, Mark menemukan si maknae lewat ekor matanya. Kepalanya menoleh, mendapati pemuda Park itu duduk pada tempat yang lumayan jauh dari kumpulan kelompoknya. Menyendiri—itu yang Mark Lee pikir.

Membungkuk, Mark meraih papan nama milik Jisung yang masih teronggok. Kakinya melangkah, menjulang tinggi di hadapan Jisung. "Hei, maknae." Sapaan kecil mengudara. Ampuh menarik atensi Jisung disusul dengan derit kursi lain yang mengudara. Mengulas senyum simpulnya, Mark berujar. "Kamu belum pakai papan namamu." Mendekat, Mark mengalungkannya. Memberitahu bahwa pemuda ini tersemat nama Park Jisung lewat benda yang menjuntai di lehernya.

Kepalanya menoleh, bibirnya menggumam kecil. "Makasih Mark Hyung."

Enteng, Mark mengangguki. Tak lama menatap manik matanya, Jisung lebih dulu mengalihkan pandangannya. Kepalanya kembali menunduk. Menyaksikan sepasang kakinya yang bergerak gelisah di bawah sana.

Mark menyadari. Tahu bahwa yang termuda rupanya lumayan kewalahan mengatasi perasaan gugupnya sendiri. Jauh berbeda dari Chenle atau Renjun, Jisung lebih banyak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Tentang bagaimana hasilnya nanti. Tentang apakah semuanya akan mengharukan atau justru menyakitkan. Tentang penutup semuanya, akankah berakhir dengan hamparan bunga memikat hati atau justru disambut dengan hujan meteor yang amat mengerikan.

Dari semua itu, Jisung hanya mengkhawatirkan hasilnya nanti.

Tahu-tahu—puk—sebuah tepukan mendarat di pundak kanannya. Jisung menoleh, menemukan kakak pemimpinnya yang nampak mengembangkan senyum lebar nan meneduhkan. "Nggak perlu gugup, nggak perlu takut dan nggak perlu gelisah. Apapun hasilnya nanti, itu atas usaha kita bertujuh."

Sayangnya, Jisung tak setertarik itu untuk menatap Mark lebih lama. Kini, jari-jemarinya saling bertaut di atas lututnya sendiri. "Aku takut hancurin semuanya, Mark Hyung."

"What are you afraid of?" Mark menaikkan kedua alisnya. "Kamu seharusnya nggak ada yang perlu ditakutin, Jisung. Kamu punya banyak bakat, latihanmu pun bagus, so you don't have to worry." Mark mengesampingkan posisi tubuhnya. Membawa Jisung untuk melempar atensi pada seorang pemuda tan yang tak bosan-bosannya mematut dirinya sendiri. Kemudian, telunjuk Mark mengacung. "Bukannya aku mau bandingin kamu sama Haechan, tapi ada baiknya kamu punya mindset kayak dia. Kamu hadir di sini bukan buat ketakutan tapi buat pamerin seberapa hebat kamu dan bakatmu itu."

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang