15. Terungkapnya Cerita

215 56 1
                                    

Selain menggemari malatang yang ampuh mengucurkan banyak keringat, Park Jisung juga amat sangat menyukai bungeoppang. Rupanya imut menggemaskan. Dalam bentuk ikan mas Korea yang dibuat menyerupai wafel. Jisung mendambakan makanan manis legit itu kali ini. Pasta kacang merahnya yang tak henti menggoda lidahnya membuat dirinya nyaris kehilangan kendali. Memasuki musim penghujan, cuaca berubah menjadi lebih dingin. Hujan rintik baru saja mendera pukul setengah 12 siang—tepat 10 menit lalu. Sebab Park menggemaskan Jisung tengah menginginkan sesuatu yang manis dan hangat di satu waktu bersamaan, maka ia melangkah keluar dari ruang latihannya.

Kaki jenjangnya dikerahkan. Dari jarak beberapa meter, langkahnya melambat. Netranya menangkap sosok lain yang tengah berdiri di depan lift. Menunggu mesin box pengantar dalam kecepatan singkat itu untuk terbuka. Dia menoleh, menyadari adanya derap langkah yang tiba-tiba merangsek rungu.

Dikuasai rasa canggungnya, Jisung mempercepat langkah. Itu Zhong Chenle. Si pemuda yang belakangan ini berubah lebih pendiam ketimbang biasanya. Tak banyak bicara. Hari itu, tentang manipulasi itu, agaknya benar-benar membuat Chenle dipukul rasa penyesalannya sendiri. Tak berdaya dan membawa sisi lainnya yang tersembunyi.

Bersanding di sisi kiri pemuda China itu, Jisung menoleh takut-takut. Belakangan ini, Jisung punya daftar orang yang ditakutinya. Yang pertama ada Lee Haechan. Kali pertamanya Jisung menyaksikan si pemuda eksotis itu membentak. Dikuasai amarahnya, rautnya yang sangar seakan menyerupai singa buas bersama aumannya yang mematikan. Kemudian di bawahnya ada Zhong Chenle—si pemuda yang tengah berdiri menanti lift bersamanya. Chenle yang mulanya tak pernah kehilangan semburat kebahagiaannya, kini bagai disulap menjadi mayat hidup. Diam, dingin, kaku dan seakan tak punya semangat sekecil apapun.

Membasahi bibirnya, Jisung mengudarakan suaranya. "Hyung, mau kemana?" Pelan, menyerupai cicitan kecil, Jisung berusaha mengenyahkan kecanggungan yang mungkin hanya menimpa dirinya.

Yang ditanya menoleh. "Nggak usah pakai formalitas segala. Kerasukan setan apa kamu?" Datar, pernyataan itu meluncur. Bukan sebuah jawaban melainkan sebuah kalimat yang menyatakan dimana Chenle seolah mengetahui perasaan segan dan canggung yang menguasai Jisung.

"Chenle, mau kemana?" Jisung mengulang pertanyaannya yang masih sama persis. Bersama dengan pintu lift yang terbuka, Chenle melangkah masuk disusul Jisung di belakangnya.

Zhong Chenle tak pernah menyukai kondisi yang seperti ini. Canggung atau segan yang membatasi semuanya. Tak bisa membohongi perasaannya sendiri, pemuda itu tengah dilanda kerinduannya. Akan bagaimana mulutnya menganga, tertawa sepuas-puasnya. Berduet bersama Mark Lee lewat tawa mereka yang sama-sama mematikan. Atau mengerahkan tangannya untuk mengelus lembut surai Jisung. Sial, seandainya Chenle tak dikuasai oleh rasa bersalahnya, dia dipastikan sudah menepuk kepala Jisung beberapa kali atau memekik gemas meneriakkan kata-kata seberapa menggemaskannya Park Jisung.

Sayangnya, itu sebatas seandainya. Menepis keinginannya, Chenle menghembuskan nafas beratnya. "Kamu mau ke lantai berapa?" Masih belum memberikan jawaban, Chenle justru balik melontarkan pertanyaan lain.

Setengah jengah, Jisung menjawab seadanya. "Bawah." Kemudian senyap. Membiarkan Chenle menekan tombol-tombol itu sementara ia berusaha acuh tak acuh. Tak berharap lebih banyak lagi akan jawaban atas pertanyaannya.

"Aku mau ke kedai depan." Tak sepenuhnya mengacuhkan pertanyaan Jisung, pada akhirnya Chenle mengudarakan jawabannya. Tak cukup membuat Jisung puas sebab mood-nya yang tersisa, terkikis oleh penguluran waktu Zhong Chenle. "Kamu sendiri mau kemana?"

Jisung menunduk. Menatap perutnya sendiri yang mulai menggila. Menyerukan pinta untuk diisi kue ikan kesukaannya. "Beli bungeoppang."

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang