Lee Haechan tahu tentang seberapa busuknya manusia-manusia yang bertaburan di atas bumi ini. Sebuah planet yang nampak amat mengerikan bukan karena penampakannya melainkan karena mereka yang menghuni. Semakin dalam dia mengetahui fakta itu, semakin mengerikan pula segala kisah terkubur yang ia temukan.
Seharusnya, Haechan tak lagi merasa asing. Seharusnya, Haechan tak perlu terkejut-kejut atas apa yang berhasil ia tangkap lewat rungunya. Seharusnya, Haechan pun memaklumi bahwa manusia-manusia seperti Kang Junhee, tak mengindahkan apa itu kejujuran. Bagi mereka yang berkuasa, tak ada masalah sekecil apapun yang menerjang hidup. Semuanya dibabat habis dengan taburan uang yang bisa membereskan semuanya hanya dalam sekejap mata.
Zaman sekarang, dunia seakan tak lagi membutuhkan kebaikan. Seseorang mencalonkan diri sebagai gubernur lantas dengan mudahnya ia ingin mencapai tahta tersebut? Gampang, maka jalan keluar yang teramat mudah untuk dilakukan ialah menabur uang untuk mereka-mereka. Menggerakkan tangan-tangan itu untuk menconteng namanya kemudian di beberapa minggu berikutnya, tahta gubernur jatuh ke tangan yang salah. Makin lama bumi berputar, makin banyak kegelapan yang menyelimuti. Hari ini, kebaikan dihapuskan. Besoknya, kejujuran ikut dihapus. Besoknya lagi keadilan pun dihapuskan. Lantas apa yang tersisa? Orang-orang berkuasa itu?
Fakta tak pernah gagal membuat Haechan berdecih atau berdecak kesal. Meratapi hidupnya sendiri yang hanya dikelilingi oleh baiknya orang-orang, kejujuran dan keadilan yang masih berusaha ditegakkan. Tapi tidak dengan orang-orang yang penuh dengan kuasa. Jadi dari sana, Haechan mendapat sebuah kesimpulan; jika hidupmu ingin selalu terasa mudah dijalani, cari saja teman yang punya kekuasaan besar untuk selalu melindungimu.
Tak bisa membodohi dirinya sendiri, Haechan belum mengerti sepenuhnya tentang tujuan hidup Kang Junhee. Ayahnya seorang anggota dewan perwakilan rakyat yang memastikan bahwa hidupnya lebih dari terjamin. Dia punya bakat, berhasil masuk ke agensi ini atau kalaupun gagal debut, dia bisa mencari agensi lainnya. Mengajukan pendaftaran ulang tanpa keberatan menyerahkan segepok uang sebagai bayaran trainee-nya. Dilihat dari semua sisi, Junhee nyaris hidup sebagai manusia yang tak pernah menyendu. Apalagi kenyataan bahwa ayahnya akan selalu siap mengabulkan semua pintanya.
Seandainya Haechan disulap—menempati posisi Junhee—dia tak lagi membutuhkan apapun. Keluarga yang utuh, ayah yang penyayang, mimpi yang di depan mata, itu semua lebih dari cukup untuk dijalani. Tapi Junhee seakan belum puas dengan apa yang didapatkannya. Penghasilan sang ayah, apa menjabat sebagai anggota dewan masih belum cukup untuk menghidupinya? Di kehidupan yang sesempurna itu, untuk apa pemuda Kang itu masih mengais uang dengan cara haram? Menjadi penyelundup narkoba tentu saja bukan pekerjaan mulia.
Menunduk, Haechan mengalihkan tatapannya. Seoul baru saja diguyur hujan. Tuan awan menggelap, menyembunyikan sang matahari di balik mendungnya. 5 menit yang lalu, hujan mereda tapi matahari masih belum mau menyembulkan dirinya lagi. Maka, sepasang kaki itu bergerak kecil. Memainkan genangan air di bawah kakinya. Suara kecipak-kecipuk kecil lantas mengudara.
"Mataharinya hilang satu. Tapi matahari yang lainnya malah asyik galau di sini."
Sebuah kalimat menyusul. Menyela suara percikan air yang diciptakan oleh Lee Haechan; si oknum yang disebut-sebut sebagai matahari.
Seakan terpanggil, Haechan mendongak. Agensinya mengaruniainya sebuah nama lain bukan tanpa alasan. Haechan; sebuah nama yang dimana artinya menjelaskan bahwa dia menyerupai matahari yang selalu siap menyebarkan keceriaan lewat sinarnya. Sama seperti si empu nama yang tak pernah redup di setiap harinya.
Lee Haechan memang seakan hidup tanpa beban—seperti pandangan Park Jisung. Nyaris tak pernah bersedih di hari-hari yang seterang masa depannya. Tapi hari ini, ketika mendung menyelimuti angkasa, ketika itu pula perasaannya ada pada saat dan kondisi yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
FanficSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...