Lee Haechan adalah satu-satunya manusia yang andal merobohkan tembok kesabaran Mark Lee.
Genap 60 menit, Mark Lee mematut dirinya di sini. Bersama punggung yang bersandar, bersama hiruk-pikuk yang bergilir keluar-masuk ke dalam rungunya, bersama itu pula kesabarannya makin menipis. Seandainya agensi tidak punya keperluan kecil dengannya, Mark tak akan pernah mau diminta duduk di sini selama satu jam penuh. Mulutnya meringis, bokongnya mati rasa.
Tak bisa lagi menoleransi keterlambatan Haechan, Mark gusar. Ponselnya ia raih untuk yang ke-20 kalinya. Menggebu-gebu, jemarinya men-dial nomor si sobat—atau yang sekarang tengah menjadi musuh sementara. Dengungnya lumayan lama. Mengabarkan bahwa yang dituju belum ada niat untuk menerima panggilannya. Kelewat lama, Mark bukan sosok yang suka bertele-tele.
"Heh baby tummy! Tahu nggak kamu terlambat berapa lama?! Aku hampir jamuran cuma karena nungguin kamu!" Si Kanada mencecar begitu sambungan teleponnya diterima. Walau hanya sebatas gertakan bersama curahan rasa kesalnya yang menyertai. Percuma, seberapa kerasnya Mark memberi bentakan, sosok yang tengah ia hubungi saat ini tidak akan pernah merasa ketakutan atau bahkan mengkerut sebab merasa terancam. Kebalikannya Renjun, Haechan lebih takluk pada mereka-mereka yang tak kasat mata ketimbang manusia.
Di seberang sana, Haechan mendumel kecil lewat bibirnya. "Iya sebentar! Aku bentar lagi sampai. Heboh banget sih? Padahal aku cuma telat beberapa menit."
"Beberapa menit apanya? Kamu terlambat satu jam! Nggak bisa ngitung? Jangan sok sibuk, cepet ke sini."
Kelopak matanya terpejam ketika bentakannya kembali merusak rungu. Haechan iya-iya saja. Malah sebelum mengudarakan kesanggupannya, Mark lebih dulu menutup telepon. Bangkit dari duduknya. Menjelma menjadi orang pemarah rupanya perlu banyak energi dan amat melelahkan. Tenggorokannya haus, dahaganya merebak memenuhi kerongkongannya. Dibarengi dengan langkahnya yang menjauh, Mark mengusap leher jenjangnya. Melupakan perihal si untaian lirik yang tersimpan apik di dalam laptopnya.
Tapi sebentar. Mark Lee agaknya baru saja melakukan sebuah kelalaian besar tanpa ia sadari. Sosoknya kecolongan. Sebab sekon berikutnya setelah dirinya melenggang pergi, seseorang mendekat. Menyalin apa yang menjadi jaminan masa depannya ke dalam sebuah benda mungil di tangannya. Waktunya kelewat singkat. Sekitar 15 detik sebelum kaki itu melangkah keluar dari sana.
Memperlambat langkahnya, Haechan masih belum berhasil mengenyahkan bayang-bayang Mark Lee atau perihal kejujuran Jeno. Kalimatnya betah mengiang di dalam benak. Kesimpulannya cuma satu; Mark Lee ada di atap gedung di saat yang sama ketika Jisung ditemukan jatuh tragis. Dan sampai saat ini, pertanyaannya masih sama; Mark Lee benar-benar melakukan hal itu? Mendorong Jisung, si maknae yang tak pernah berhenti ia bela setiap detiknya. Bagi Haechan, asumsi itu rasanya janggal. Apapun masalah yang mungkin melibatkan si pemimpin dan si maknae, Haechan 100% yakinnya bahwa pemuda Toronto itu tak akan pernah membuat keputusan sebodoh itu.
Haechan masih ingin menepis. Tapi semuanya makin masuk akal sekaligus kian menggelap. Tak ada seberkas cahaya apapun yang bisa membantunya menemukan titik kebenaran. Sebab bukan hanya Lee Jeno yang menjadi saksi. Malam itu, Lee Haechan pun sama halnya. Netra itu menangkap eksistensi Mark Lee yang datang tergopoh tidak dalam waktu yang pas—terlambat satu menit agaknya.
Lalu, pertanyaan lainnya pun menyembul. Kenapa Mark sampai terlambat datang sementara mereka semua sampai di tempat perkara bersama-sama? Jeno, Jaemin, Haechan, Chenle dan Renjun sekalipun, mereka semua tiba di saat yang bersamaan. Lantas kenapa Mark bisa menjadi satu-satunya yang tersisa?
Teka-teki ini kelewat sulit untuk diterka-terka. Haechan sama sekali tidak ingin menjebloskan si Kanada masuk dalam jeruji kecurigaannya. Tapi mau bagaimana? Semua fakta yang berhasil ia kumpulkan, lama-lama terasa kian masuk akal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
FanficSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...