Ada sebersit rasa lega yang menyeruak ketika Mark menjadi saksi lain. Dari balik tembok ini, rungunya jelas mendengar sekelumit perbincangan lewat telepon. Itu Renjun bersama sang Mama.
Benak Mark Lee menari di indahnya hamparan memori miliknya. Mengulas balik momen singkat dimana pemuda Huang itu pernah mengungkap separuh kisah milik dirinya yang sempat terkubur. Perihal Huang dan orang tuanya yang sayangnya punya perbedaan pendapat untuk tempo yang cukup lama. Hari itu, Renjun mengatakan dengan sedikit sirat kesenduan namun bercampur dengan semangatnya, bahwa ia telah mengambil jalan hidupnya sendiri. Mark tak tahu apakah Renjun pantas dijatuhi sebutan anak durhaka atau tidak sebab perangainya yang mengabaikan nasihat orang tuanya. Tapi pada kasus ini, Mark pun tak bisa menyalahkan Renjun dan orang tuanya. Sebab masing-masing dari mereka tentunya punya alasan baik yang mendasari tindakan itu.
Membayangkan dirinya menjadi Renjun saat ini, membuat senyumnya merekah lebar. Pemuda Jilin itu pasti tak lagi merasakan adanya beban. Semangatnya akan semakin membara tak henti. Hangus membakar apapun yang menghalanginya.
Tahu-tahu ceklik pintu mengudara. Seseorang menyembul dari balik sana. Alisnya terangkat meski hanya sekedar satu detik lamanya. "Mark Hyung?" Kemudian sapaan itu menyusul.
"Ah iya, ini aku." Yang lebih tua menyahuti bersama dengan sebuah senyum simpul yang diulas. "Aku mau cari Jisung. Dia ada di dalam?"
Renjun menggeleng kecil. "Bocah itu belum balik dari tadi. Hyung ada keperluan penting sama dia? Udah coba hubungi ponselnya belum?"
Mengerti, Mark menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tangan kanannya merogoh saku celana, meraih benda pipihnya yang tersembunyi di dalam sana. Hembusan nafas kecilnya lalu menyapa rungu. "Pesanku belum dibalas. Kayaknya dia nggak buka ponselnya."
"Penting banget ya Hyung?" Renjun mengorek rasa penasarannya.
"Mungkin buat aku nggak, tapi buat Jisung iya?" Tak menyerupai jawaban, kalimat Mark Lee barusan justru mengudarakan nada pertanyaan yang sama. Lantas bahunya terangkat kecil. "Aku nggak terlalu yakin. Tadi Jisung minta waktuku buat ajari dia bahasa Inggris lagi. Tapi aku lebih milih buat nuntasin latihan dulu jadi sekarang aku cari dia."
Untuk beberapa saat, Renjun termenung. Menangkap adanya sebuah sinyal bahaya yang membuat dirinya harus waspada kapanpun itu. Mark Lee lebih mementingkan latihannya ketimbang Jisung—itu bukan berita baik. Dalam satu saat yang sama pula, semangat itu kembali menyerbu dirinya. Bukan sebuah rasa kekhawatiran seperti milik Park Jisung tapi sebuah rasa ambisi yang tak bisa dikalahkan.
"Renjun?"
Matanya mengerjap ketika sang pemimpin menyebut namanya. Ah, masih bisakah Mark disebut pemimpin? Bukannya mulai saat ini masing-masing dari anggotanya tak akan membutuhkan jabatan itu lagi? Sebab semuanya akan mendaki bukit mimpinya dengan kemampuan masing-masing. Terluka sendiri, terjatuh sendiri, bangkit sendiri, semuanya tergantung pada diri sendiri.
"Iya?" Pemuda itu menyahut setengah linglung. "Mark Hyung tunggu aja di dalem. Kalau aku ketemu Jisung, aku kasih kabar ke Hyung. Aku duluan ya." Kemudian sosoknya berlalu setelah memberi tepukan kecil di pundak yang lebih tua.
Mark tak pernah tahu pikiran macam apa yang baru saja mampir ke benak Renjun. Membuatnya terjebak dalam lamunan sekejap lantas berakhir pada linglung yang terjadi dengan sendirinya. Mark Lee sendiri tak cukup bodoh untuk menangkap ekspresi barusan. Raut itu menunjukkan piasnya rasa khawatir yang bercampur dengan ambisi. Entah apa alasan di balik semua itu, tapi Mark rasa Renjun punya sesuatu yang mungkin masih tak bisa ia ungkapkan saat ini.
Sebagai seorang pemimpin, Mark tak pernah melarang anggotanya untuk melakukan apapun yang mereka mau. Membebaskannya bak burung menawan yang menari bersama birunya langit. Memberinya oksigen segar yang melebihi apapun. Mark tak pernah memaksa mereka untuk melakukan apa yang ia perintahkan. Sekedar menyarankan namun tak harus mewajibkannya untuk melakukan hal yang dianjurkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lose Me If You Can ✔️
FanfictionSatu-satunya yang paling ampuh mengacaukan jiwa Park Jisung hanyalah masa depan. Tentang mereka, tentang dirinya bersama 6 pemuda itu. Mereka telah memulai garis awal bersama-sama. Maka seharusnya mereka pun berakhir dalam akhir yang sama pula. Tapi...