43. Celotehan Si Kanada

192 32 0
                                    

Ini tentang sepenggal kisah lainnya yang sempat dikubur dalam-dalam.

Jaemin menuntut jawaban darinya. Perihal eksistensinya di satu tempat yang sama ketika si maknae jatuh menderita. 10 menit yang lalu, Mark dibuat membola. Ketika si Na itu tahu-tahu memintanya mengungkap sebuah kejujuran yang sempat dikesampingkan. Antara iya atau tidak—Mark tidak tahu—mungkin ini waktu yang telah digariskan oleh takdir. Tempurung yang mengukung mereka dalam kebingungan membabi-buta itu pada akhirnya retak sedikit demi sedikit.

Kemudian, si alis camar rantauan Toronto itu mulai berceloteh.

5 menit setelah Haechan sukses melancarkan misi gagalnya—memutus aliran listrik—semuanya kian memburuk. Malam itu, malam kelam yang tak ingin lagi tinggal dalam memori untuk jangka waktu lebih panjang lagi. Detik-detik sebelum Park Jisung menemui skenario terburuk dalam hidupnya.

Entah karena dirinya seorang pemimpin atau bukan, perasaan melindungi itu kuat menyelimuti raga dan jiwanya. Mark kelimpungan. Gelapnya malam kala itu memperburuk segalanya. Komando bersahutan di tiap detiknya. Gema langkah tak pernah berhenti mengudara. Staff-staff itu sibuk menangani kekacauan. Tanpa sadar masih banyak orang yang luntang-lantung tanpa tujuan jelas.

Pandangan buruk di tengah musibah bukanlah sebuah hal yang patut disyukuri. Mark meraba-raba. Tempat di sisinya, kosong tak berpenghuni. Maka, segeralah rasa panik itu menyergap lebih kejam lagi. Kepalanya ditolehkan ke sembarang arah. Seandainya si Kanada tahu sebuah fakta yang dilakoni Lee Haechan malam itu, dia mungkin tak akan segan menguncinya di dalam kamar berminggu-minggu lamanya tanpa penerangan sekecil apapun.

"Jaemin? J-Jeno? Kalian masih di sini?" Dua nama yang tersisa ia sebut-sebut. Berharap salah satu dari mereka menyahut walau selirih desiran angin malam.

"Iya, aku masih di sini."

Satu hembusan nafas lega mengudara. Itu bariton milik Jaemin. Asalnya lumayan dekat. Mark menerka-nerka, mungkin pemuda Na itu tengah terpatut duduk di seberang dirinya. Tepat di samping sebuah vas bunga keramik di pojok ruangan. "Kalau gitu, Jeno mana Jeno? Dia keluar juga?"

"Dia baru aja keluar." Jaemin kembali menyahut. Detik selepasnya, derit kursi menyusul. Sosok itu bangun dari tempatnya. Tungkainya dilangkahkan penuh kehati-hatian. Lantas ketika obsidiannya menangkap sebuah bayang-bayang samar, kedua alisnya menaut. "Mark Hyung? Sekarang tinggal kita. Mau gimana? Kita nggak mungkin tungguin semuanya membaik di sini, cuma duduk-duduk."

Bersama kepanikan yang menyertai, Mark mengangguk. Tubuhnya menyusul untuk bangkit. Menyadari bahwa satu-satunya yang tersisa tengah berdiri di hadapannya walau itu tak kentara. "Kalau gitu, ada baiknya kita keluar. Bantu mereka benerin listrik atau semacamnya."

Tak memberi penentangan, Jaemin menurut. Sejurus kemudian, keduanya membebaskan diri. Pergi entah kemana demi menyelamatkan segalanya yang tengah berada di ujung tanduk kehancuran. Tapak kaki itu kelewat banyak. Bergemuruh, mendongengkan seberapa panik dan gelisahnya mereka saat itu.

Mark mempercepat langkahnya. Setengah sulit mengamati sekelilingnya. Koridor menyambut kakinya. Sejauh 25 meter, dia berlari. Tangannya menggapai-gapai ke belakang ketika menyadari adanya sesuatu yang mulai diam membisu.

"Jaem? Jaemin?" Lantas, langkahnya memelan. Mark menoleh ke belakang. Merutuk kecil saat netra itu tak menangkap hadirnya sesosok pun di belakang sana. Menanti-nanti, barangkali Jaemin tertinggal beberapa meter kemudian memanggil-manggil namanya. Tapi sampai saat itu, suaranya tak kunjung menyapa rungu. Mark mengerang kecil. "Na Jaemin? Jaemin?!"

Sepoi angin menjawab panggilannya. Semuanya tahu-tahu senyap tanpa sebuah komando. Tapak kaki itu tak lagi memenuhi rungu—setidaknya mulai mereda. Membuat Mark kian gelisah. Na Jaemin, satu-satunya yang tersisa untuk ia andalkan, kini hilang entah kemana. Mungkin ditelan angin atau malah salah arus.

Lose Me If You Can ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang