53. Dia Pergi

24.7K 3.8K 570
                                    

Ramaikan lewat komen ya gengs
.
.
.
.
.

Ravin tahu apa yang akan diucapkan Okis, selama ini tidak ada orang yang bisa mengendalikan Okis selain Rimay. Mereka sangat dekat bagaikan saudara kandung. Ravin sendiri tidak bisa berbohong kepada Okis, harus jujur supaya Okis paham bahwa mereka harus melepaskan Rimay. Supaya orang yang mereka sayangi itu aman.

"Jelasin ke gue, kenapa Kakak ngelakuin itu ke Mbak Rimay?!" Teriak Okis. Matanya begitu merah, emosi, kecewa bercampur sedih.

Ravin berjalan menutup pintu, Rimay masih di luar. Berpamitan kepada para pelayan. Isak tangis mereka juga terdengar sampai ruangannya.

Setelah pintu ditutup, Ravin berjalan ke jendela. Menerawang jauh di langit. Malam ini tidak ada bintang sama sekali. Suram seperti suasana hatinya.

"Rimay tidak pantas menderita bersama kita," jawab Ravin. Tidak membalas tatapan Okis.

"Gimana maksudnya?"

Ravin menjelaskan segalanya, tentang Papanya, mamanya, Siluet dan Pram. Tidak ada yang bisa dilakukan selain melepas Rimay. Cepat atau lambat Okis harus mengetahui segalanya.

Jika dia mati di tangan Pram seperti Papa, sudah pasti Okis yang menggantikannya. Terikat dan terkekang.

Ravin juga bercerita bahwa akan melawan Pram. Meskipun itu lama dan sulit. Dia akan berusaha sekuat tenaga.

"Kalau Mbak Rimay nikah lagi sama orang lain gimana?" tanya Okis.

Dia pernah berpikir seperti itu juga, di saat pertarungan panjang yang tidak ada tahu kapan berakhir. Bisa jadi Rimay bertemu pria lain dan bahagia. Tidak akan mengingatnya lagi.

"Apa itu lebih buruk dari melihat Rimay mati?"

Pertanyaan itu dikembalikan, melihat Rimay mati jauh lebih buruk dibanding melihatnya bahagia dengan pria lain. Setidaknya dia bisa melihat Rimay tersenyum meski bukan karenanya.

Okis berkaca-kaca, buru-buru memalingkan wajah. Belum pernah Ravin melihat adiknya serapuh ini. Tidak mau kehilangan Rimay atau kasihan padanya?

"Kau masih bisa menemui Rimay kalau rindu, tidak ada yang melarangmu." Ravin mendekat, menepuk bahu adiknya.

"Terus Kakak gimana? Apa Kakak juga bisa menemui Mbak Rimay kalau kangen?"

Okis peduli padanya, tahu perasaannya yang sangat mencintai Rimay. Perlahan kepala Ravin menggeleng sembari berusaha tersenyum, supaya adiknya tahu bahwa dia kuat.

"Nggak papa, asal Rimay baik-baik maka Kakak juga akan baik-baik saja."

"Kalian berdua benar-benar bodoh!" Okis berpaling. Dia tak sanggup melihat wajah sedih kakaknya.

Remaja laki-laki itu tidak tahu apa itu cinta, belum pernah merasakan dan tidak ingin merasakan. Namun, setelah melihat kakaknya dia paham. Bahwa begitulah cinta, bisa menjadi sangat menyakitkan dan bodoh.

Mereka merelakan orang terkasih tanpa memikirkan perasaannya sendiri, sungguh bodoh bagi Okis. Tapi ntah kenapa dia mengerti. Dia juga berpikir akan melakukan hal yang sama jika di posisi Ravin, yakni menjadi bodoh.

"Apa yang bisa gue bantu?" tanya Okis.

Dia ingin ikut dalam pertarungan, membunuh Pram dan menghancurkan orang-orang yang menyakiti keluarganya.

Terlebih dia sudah salah paham dengan Mama, adiknya Aqila juga pernah dia sakiti karena hal itu. Tidak tahu bahwa ternyata Aqila adalah adik kandung.

Di sekolah, dia pernah menggangu Aqila yang baru masuk SMA. Sudah beberapa bulan yang lalu. Pasti membuat Aqila trauma. Dia harus memperbaiki sikap.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang