24. Batu

55.2K 8K 218
                                    

Ada yang hilang, sesuatu terasa sakit di sudut hatinya. Perasaan tidak nyaman membuat pikiran Ravin melayang. Tak fokus. Ruangan rapat terasa sunyi baginya. Ntah apa yang dipresentasikan Direktur dari bagian Finansial Food mengenai produk baru yang akan launching bulan depan dengan edisi terbatas.

Padahal biasanya Ravin akan mengawasi secara ketat produk bulanan edisi terbatas, tetapi kali ini telinganya seakan tuli. Tak mampu mendengar dan mencerna isi presentasi.

Di luar, cahaya matahari tak menyinari bumi seutuhnya. Banyak gumpalan awan hitam yang menghalangi. Mencoba mencegah sinar itu untuk menyinari kota Jakarta.

Ingatannya kembali kepada Rimay, tangisan gadis itu tadi pagi sungguh mengusiknya. Membuat sudut hatinya merasa tak nyaman, sekarang Ravin tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengabaikan serta menghilangkan perasaan tak nyaman itu.

Sampai rapat selesai Ravin hanya menanggapi sekedarnya, pandangannya menerobos keluar jendela kaca ruangan rapat. Memutar kursinya untuk melihat gedung-gedung yang lebih kecil dari gadung Finansial Group. Terlihat jelas dari lantai 50 tempatnya berada saat ini.

"Sel, apa jadwal saya setelah ini?" Ravin bertanya setelah berjalan mendekat ke jendela kaca.

Selly mendekat, ia membuka iPad dan mengecek jadwal Sang Presdir dengan cepat. Perempuan berusia 25 tahun itu tampak cerdas dan teliti dengan kacamata yang menempel sempurna.

"Setelah ini anda ada pertemuan dengan Direktur Irawan dari bagian Finansial Bank."

"Tunda. Apa hari ini ada pertemuan penting yang lain?"

Sekali lagi Selly mengecek jadwal. Di sana hanya tertulis pekerjaan kecil yang bisa ditunda. Selama presdir sakit, wakil presdir mengerjakan tugasnya dengan baik. Jadi tak ada satu pun kekacauan yang harus ditangani segera.

"Tidak ada, Presdir."

Setelah mendengar jawaban itu, Ravin mengibaskan tangan. Meminta Selly untuk keluar. Ia ingin sendirian memandang gedung pencakar langit yang berada di hadapannya saat ini. Sekali lagi Ravin ingin menenangkan hati dan pikirannya dari perasaan tidak nyaman yang menerpa.

Ruangan itu kosong hanya ada dirinya dan meja panjang dengan air mineral yang masih tersisa. Layar proyektor masih menyala menampakkan lambang Finansial Group.

"Perasaan ini semakin menggila," gumam Ravin merasakan dadanya mulai sesak.

Ia mengambil ponsel yang berada di saku jas, mencari nama John ketua ajudan. Merasa kalah dengan bayangan air mata Rimay. Pikiran yang mengganggu itu Ravin sadar berasal dari mana. Gadis itu, tingkah aneh dan menyebalkannya mampu membuat perasaan ini muncul.

"John, jangan bunuh gadis itu. Cari tahu tentang dia dan kirimkan fotonya padaku dalam keadaan hidup."

Akhirnya Ravin berhasil mengurangi perasaan mengganjal itu dengan melihat foto gadis bergaun pengantin yang ia lihat pagi ini, dia masih hidup dengan luka memar di sekujur tubuh. Bersyukur John tak langsung membunuhnya. Ravin menuruti permintaan Rimay, ingin sekali ia mengirimkan foto itu. Tetapi ditahan, jika Rimay tahu dia menuruti permintaannya maka gadis itu bisa besar kepala dan akan meminta lebih.

Ravin memijit pelipisnya, terasa berdenyut di sana. Ia sudah mengosongkan jadwal hari ini, perasaan ingin mengunjungi Rimay di kampus muncul tiba-tiba. Tetapi buru-buru ditepis.

Pintu dibuka, menampakkan seorang pria dengan setelan jas rapi dengan dua kancingnya dilepas. Memasuki ruangan setelah melihat Ravin yang menoleh ke arahnya. Melewati meja panjang dengan menyentuh permukaan.

"Ada apa?" tanya Ravin.

Rico tak langsung membalas, dia malah menggangkat kedua alisnya dangan senyum lebar. Tampak senang.

"Sekarang saatnya kamu menjadi pahlawan dan pusat perhatian." Senyum liciknya muncul sembari memberikan iPad kepada Ravin.

Pria itu menerimanya dan menonton siaran langsung dari salah satu channel televisi. Matanya terbelalak ketika melihat Rimay berada di tengah-tengah orang tawuran. Jantungnya berdetak cepat, tangannya gemetar.

"Apa yang kau lakukan?!"

"Memanipulasi tanggal penggusuran supaya mereka tawuran, Finansial Group harus membantu supaya semua anggota Rumah Berbagi menaruh simpati. Lalu masyarakat akan memuji, wahh ... Aku memang sangat hebat."

Tanpa aba-aba Ravin memukul wajah Rico dengan tinjunya, "brengsek! Kau bisa melukai Rimay!"

Rico tampak linglung dengan pukulan yang untuk pertama kalinya dia dapatkan dari seorang sahabat yang dia percayai. Rasa sakit di sudut bibirnya yang mengeluarkan darah tampak tak terasa. Masih bingung. Bukankah mereka tim? Apapun yang dia lakukan untuk kebaikan satu sama lain.

"What's wrong with you?!" Rico masih mempertanyakan tindakan Ravin yang memukulnya. Ia marah.

Tak mempedulikan sahabat dengan nama lengkap Ferico Nugroho itu, Ravin berlari keluar dari ruangan. Memuju lift sembari membuka kancing jasnya. Napasnya memburu, mencoba menghubungi dua pengawal Rimay, tetapi nihil. Tak ada jawaban.

Jika masyarakat sudah beringas seperti itu bahkan aparat pemerintah pun akan kesulitan melerainya. Dan Rimay malah berada di tengah-tengah mereka? Benar-benar Ravin tak habis pikir dengan gadis itu.

Mobil melaju menuju tempat kejadian yang berada di Jakarta Pusat, sepanjang perjalanan Ravin gelisah. Khawatir dan mengutuk Rico berkali kali.

Sekelebat bayangan senyum Rimay ketika makan es krim bersamanya muncul. Memutar memori ekspresi terkejut gadis itu ketika ia memakan bakso yang berada di mulut yang membuat bibir mereka bersentuhan. Tangan lembut ketika mengusap rambutnya sebelum tidur tak boleh terluka, walaupun hanya sedikit sama sekali tak boleh!

"Cepat!" Perintah Ravin.

Tapi apa daya jalan macet, kota Jakarta yang tak lepas dari kemacetan panjang memang membuat kesal. Tetapi tidak pernah Ravin sekesal ini hingga rasanya ingin berteriak.

Dadanya memburu, ia mengerahkan semua pengawalnya untuk ikut. Memikirkan kemungkinan terburuk bagi Rimay.

Sesampainya di sana semua terlihat kacau, para aparat menembakkan gas air mata. Ravin dan para pengawalnya segera mencari Rimay. Terlihat gadis itu sedang mencoba berbicara kepada teman-temannya sembari menghindari lemparan batu.

Tetapi tak nampak iktikat baik dari keduanya. Malah kepala Rimay terkena batu hingga mengeluarkan darah, membuat dua pengawal Rimay bersikeras menyeret Rimay karena tak mampu melindunginya jika berada di tengah kekacauan seperti ini.

Ravin berlari ke arah mereka bersama para pengawal, gadis itu hampir terkena batu lagi jika saja Ravin terlambat sedikit saja.

Menarik Rimay hingga punggung gadis itu jatuh di dadanya, mendekap kuat dengan melingkar kedua tangannya dari belakang. Gadis itu tampak terkejut dan menongak ke atas. Melihat Ravin di sana dengan wajah cemas dan keringat bercucuran.

Mereka dilindungi para pengawal, seakan waktu berhenti saat itu. Rimay tak merasakan rasa sakit akibat darah yang mengalir dari dahi. Malah sebaliknya, ia merasakan debaran jantung Ravin lewat punggungnya.

"Presdir?"

"Puas kau membuatku khawatir?!"

Saat itu Rimay sadar bahwa Ravin peduli padanya, masih sama seperti dulu ketika Ravin hilang ingatan. Hanya saja, saat ini sifat asli Ravin menyertai. Dan cara pengungkapan khawatir itu berbeda, rasa peduli itu seakan tertutupi sempurna karena sifatnya yang tak terbuka. Padahal, rasa peduli dari Ravin masih bersemanyam indah untuknya.

"Terima kasih," ucap Rimay disertai darah yang mengalir ke pipi, tetapi gadis itu malah tersenyum ke Ravin.
.
.
.
.
Bersambung.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang