18. Komputer

55.6K 8K 211
                                    

Dalam perjalanan menuju kantor Finansial Group Ravin terus menahan emosi. Mengingat semua kekacauan sebulan ini. Belum lagi apa saja yang sudah dilakukan gadis gila bernama Rimay padanya. Sungguh Ravin ingin mencincang habis gadis itu hingga tak tersisa.

Kepala Ravin sakit dan tekanan darahnya naik ketika mengingat bahwa dia sudah menikah dengan bocah yang baru berusia 20 tahun. Apalagi dia terus menemani anak itu kuliah. Sungguh memalukan!

Hal seperti pernikahan tidak pernah terlintas dalam benak pria yang sebentar lagi menginjak usia 27 tahun itu. Dia memang tidak bisa menghindari pernikahan, tetapi itu bukan berarti dia bisa menikah sembarangan dengan gadis kecil yang hanya mempersulit hidupnya.

Pernikahan orang kalangan atas seperti Ravin akan dirancang sempurna untuk memperkuat bisnis dan koneksi. Tak lebih dari pernikahan politik untuk memperkuat kedudukan dan stabilitas. Tetapi dia malah menikah sembarangan dengan gadis kecil yang masih kuliah, jarak dunia mereka terlalu jauh untuk disatukan.

"Bagaimana bisa hal gila ini terjadi, sial!"

Mobil terus melaju ke Kawasan Strategis Sudirman Central Business, berhenti sesaat ketika lampu merah. Beberapa kali dia ke kantor bersama Rimay untuk formalitas. Sudah sejauh apa perusahaannya berkembang dia tidak tahu sama sekali.

Ravin terus menggerutu, kemudian mengambil ponsel dan menghubungi Rico yang merupakan wakilnya. Selanjutnya mengirim pesan kepada dewan komisaris yang sudah dianggap pengganti ayahnya, paman Anas.

Meminta mereka untuk bertemu di kantor Finansial Gruop. Mobil sampai tepat di depan kantor. Semua petugas langsung bergegas keluar dan berbaris menyambut Ravin.

Berbeda dari satu bulan yang lalu, sekarang wajah para karyawannya tersenyum. Tanpa ada rasa takut seperti dulu. Sungguh pemandangan yang aneh baginya.

"Selamat datang, Presdir." Salam mereka serentak.

Dia ingat, ketika bersama Rimay perempuan itu akan membalas salam mereka dengan senyum ramah. Ravin tak akan melakukan hal semacam itu, wibawa dan harga dirinya bisa hilang.

Ravin terus berjalan ke lift, melewati lobby yang luas dan para pengawai yang tersenyum hormat kepadanya. Dengan didampingi dua pengawal Ravin masuk ke dalam lift. Langsung menuju lantai 50 tempat ruangannya berada.

Tiga sekretaris yang berada di depan ruangan berjejer menyambut pria itu dengan senyum cerah. Membuat Ravin berkerut kening dan mengabaikan mereka. Biasanya jika dia datang Selly, Yuni dan Rina selalu menampakkan wajah ketakutan. Kini, mereka tersenyum dan membuat Ravin merasa aneh.

Pintu dibuka oleh pengawal, Ravin masuk ke ruangannya yang hampir menyita sebagian besar lantai 50. Mendapati pria yang dia kenal. Rico, sahabatnya sejak duduk dibangku TK.

"Vin, apakah sekarang kau sudah mengingatku?" tanya Rico sembari berjalan menghampiri Ravin.

Pintu ditutup. Menyisakan dua pemuda berada dalam ruangan AC dan kaca transparan menampakkan pemandangan kota Jakarta.

Ravin melepas kancing kemejanya yang bagian atas, tak menjawab pertanyaan Rico dan malah bergegas duduk di kursinya. Memeriksa laci dan semua berkas yang ada.

"Semua sudah beres kau tidak perlu khawatir," kata Rico lagi.

Kali ini Ravin menatap mata Rico dengan tajam. Menunjukkan seberapa marahnya dia. Jika mengenai pekerjaan, Rico sebagai wakil kemampuannya bisa diandalkan. Ravin akui itu akan tetapi sebagai sahabatnya nilai dari Ravin untuk Rico saat ini adalah nol besar.

"Kenapa kau membiarkan aku menikah dengan bocah ingusan?!"

Seperti mata elang yang siap menerkam mangsanya, Rico yang sedari tadi santai kini sedikit gugup. Matanya beralih pada sofa yang ada di tengah.

"Rimay bukan bocah, umurnya sudah dua puluh tahun." Rico menjawab sembari berjalan menuju sofa.

Dia duduk di sana tanpa permisi dan mengangkat kakinya untuk ditopang meja, satu-satunya orang yang berani melakukan hal itu di hadapan Ravin.

Berbeda dari sifat Ravin yang dingin, Rico lebih terbuka dan sedikit memiliki belas kasih. Terbukti seberapa dihormatinya dia di Finansial Group. Terlebih jika seseorang hampir mati di tangan Ravin maka hanya Rico yang mampu mencegahnya.

"Sepertinya kau juga ingin mati bersama gadis itu."

Kali ini Rico membalas tatapan Ravin, "aku tidak tahu apapun mengenai pernikahan ini, sumpah! Semua diatur oleh Mamamu. Tapi kamu selamat berkat pernikahanmu ini."

"Apa maksudmu?" tanya Ravin. Masih duduk di kursinya.

Meja kaca tempat dia bekerja bersih, tak ada dokumen menumpuk seperti satu bulan yang lalu. Ravin menyalakan komputernya, dia ingin memeriksa nilai saham Finansial Group sekarang.

"Kamu pasti sadar kalau kecelakaan itu dibuat oleh Pram untuk membunuhmu. Jatuhnya saham Finansial Group dan juga reputasimu yang buruk menjadi alasan utama. Tetapi sejak kamu menikahi Rimay semua berubah."

Komputer sudah menyala, Ravin memasukkan password sembari mendengarkan penjelasan dari Rico.

"Apa hubungannya dengan Rimay?"

Ravin sadar dari awal bahwa kecelakaan dan penculikannya ada hubungannya dengan Pram. Mafia tingkat internasional yang memegang banyak kendali di perusahaan besar termasuk Finansial Group.

"Rimay bukan gadis biasa, pengaruhnya di masyarakat sangat besar. Dia mampu mengembalikan reputasimu yang sudah hancur. Jadi tetaplah pertahankan gadis itu sampai kita mengetahui kelemahan Pram."

Ravin memijit pelipisnya, ia begitu kesal karena apa yang dibicarakan Rico memang benar adanya. Melihat saham yang meloncat tinggi serta komentar positif di jejaring sosial ia percaya bahwa Rimay memang berguna.

Tetapi sebulan belakangan adalah mimpi buruk untuknya, tidur bersama Rimay, selalu memanggilnya adek dengan penuh kelembutan. Belum lagi bibir mereka yang bersentuhan dua kali karena bakso dan es krim. Ravin merasa hampir gila jika ingat itu semua.

Ia menyandarkan kepalanya di kursi dengan mata terpejam. Merasa stres dan bingung harus bagaimana menghilangkan memori satu bulan belakangan. Ingin sekali dia membunuh Rimay dan membuang gadis itu ke luat Antartika.

"Dari pada stres ayo kita ke bar. Merayakan ingatanmu yang sudah kembali bersama para gadis cantik dan alkohol," ajak Rico dengan antusias.

"Kau tahu bahwa aku tidak suka minum alkohol? Alkohol hanya akan membuat orang menjadi bodoh."

"Kalau begitu bagaimana dengan tidur bersama para gadis cantik?"

"Para gadis membuatku muak, apalagi yang berpakaian sexy seperti tidak punya harga diri."

Rico mendesah berat, dari dulu sahabatnya itu memang melenceng dari orang kebanyakan. Ketika mereka kuliah di Amerika pun hanya Ravin yang tidak tersentuh pengaruh budaya barat. Bahkan sampai membuat Rico cemas, apakah Ravin normal? Dia yakin Ravin tidak normal setelah melihat sikap kejamnya kepada orang lain.

"Setidaknya bar akan mengurasi stres mu. Ayolah, sekali ini saja." Rico terus membujuk.

Ravin melihat jam, pukul satu siang. Kemudian mendesah berat, menerima bujukan Rico untuk menghilangkan stres.

"Baiklah, tapi tunggu lima belas menit lagi. Aku mau shalat dzuhur dulu."

Pemuda itu beranjak dari kursinya. Sementara Rico berkerut kening.

"Kamu mau ke bar tapi pake acara shalat dzuhur dulu? Sejak kapan kamu shalat?"

Mendengar pertanyaan dari Rico membuat Ravin sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Sejak kapan dia shalat? Kenapa dia bisa berpikir untuk shalat? Ravin kembali duduk. Rimay benar-benar membuat dirinya terbiasa untuk shalat bahkan sampai di alam bawah sadar.
.
.
.
.
Bersambung

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang