19. Koper

56.4K 7.8K 312
                                    

Musik berderu kencang, lampu warna warni memenuhi ruangan. Alunan musik menghanyutkan siapapun yang mendengar, tempat bersenang-senang sebagian orang yang ingin melepaskan perasaan.

Rico menari bersama para gadis di lantai dansa bersama kerumunan orang. Menikmati musik yang dimainkan DJ.

Semua penat seakan hilang seperti tak ada beban. Ruang yang redup menambah sensasi untuk bisa melepaskan diri. Menari sebebasnya dengan perasaan senang.

Sementara itu Ravin hanya duduk di kursi VIP setelah mencoba lantai dansa untuk melakukan hal yang sama seperti Rico. Nyatanya pria itu berbeda, dia tidak menyukai klub seperti ini.

Anas Nugroho datang siang tadi, membuat dua pemuda itu sibuk melakukan rapat dadakan. Membahas rencana mereka ke depan untuk bisa lepas dari Pram. Serta menstabilkan perusahaan lewat nama baik yang Rimay bawa. Pukul sembilan malam Rico dan Ravin baru bisa pergi untuk bersenang-senang di BLOWFISH sebuah klub malam yang berada di City Plaza.

Hanya duduk dengan tangan dilipat di dada, mengamati orang-orang yang bersenang senang. Ravin tak memedulikan orang sekitar ataupun mengikuti alunan musik yang dimainkan DJ. Hingga datanglah seorang wanita dengan baju merah dengan belahan dada yang terbuka.

Duduk di samping Ravin sembari meminum wine merah yang ada di tangannya. Dengan berani dia memegang paha Ravin dengan gerakan menggoda, sejurus kemudian pria itu menoleh. Memberikan tatapan tajam kepada wanita cantik dengan bibir merah merona itu.

"Habiskan malam ini dengan saya, saya berjanji akan memuaskan melebihi istri Presdir," bisiknya di telinga Ravin dengan nada menggoda.

Siapapun di klub itu kenal dengan Marry, primadona yang hanya melayani tamu VIP. Kecantikan dan kemolekannya membuat semua pria menginginkan wanita cantik itu. Bibir merah yang menggoda, buah dada yang terpampang nyata. Dan tentu kemampuannya di ranjang tidak diragukan lagi. 

"Mati saja kau upil," kata Ravin. Tak tergoda sedikitpun.

Ravin menjentikkan jarinya, dua pengawal datang dan menangkap perempuan itu. Tak ada yang bisa menyentuhnya, ntah itu primadona klub ataupun wanita bermartabat tinggi seperti Valerie.

"Lepaskan!" Dia meronta diperlakukan kasar oleh pengawal.

Alunan musik yang keras menutupi teriakan dari wanita itu, semua orang tidak memerhatikan mereka. Sekalipun ada yanga melihat tak ada yang berani melawan.

"Buat upil ini tidak bisa menggunakan lidahnya lagi, patahkan juga tangannya." Ravin mengibaskan tangannya supaya mereka cepat membawa wanita itu pergi.

"Baik, Tuan."

"Presdir, ampuni saya! Saya salah. Saya mohon ampun, jangan lakukan ini!"

Ravin tak peduli dan tetap mengibaskan tangannya supaya pengawal cepat pergi dan menjalankan perintahnya untuk mematahkan tangan wanita itu. Merasa tak nyaman berada di sana, ia seperti membohongi diri sendiri. Tak ada kesenangan sedikitpun yang Ravin rasakan.

Tiba-tiba bayangan tentang Rimay muncul. Bagaimana senyum gadis itu hadir, mengarahkannya kepada agama yang selama ini hanya tertera di KTP.

Papa sedari kecil hanya mengajarinya berkelahi, tak mengenal ampun untuk  memberi pelajaran kepada orang. Membuat dia kuat dan tak tertandingi dari segi kecerdasan ataupun kemampuan. Tetapi tetap saja, Pram berperan besar menjadikan dia pria kuat tanpa kenal ampun. Ditakuti di mana pun berada.

"Rimay ...." Desisnya.

Nama gadis itu terus terngiang, Ravin memutuskan untuk pulang. Perasaan ingin melihat gadis itu mengusiknya. Tanpa memedulikan Rico yang sedang asik menari, Ravin berdiri. Melangkah meninggalkan BLOWFISH. 

Keluar dari kebisingan yang membuat orang lalai akan masalah yang menerpa. Ravin menaiki mobil menuju rumahnya yang berada di kawasan Pondok Indah. Menjumpai gadis bernama Rimay yang kini berstatus istrinya.

Pukul sebelas malam, jalan tol sepi. Ravin membuka kaca jendela. Ada perasaan aneh di sana. Dulu, dia jarang sekali pulang. Mengurus urusan kantor dan lebih sering tidur ruang kerja. Baginya, tak ada alasan untuk pulang. Okis sudah besar, dia sendiri tidak bisa mengendalikan anak itu.

Untuk pertama kalinya, dia ingin pulang dan tak memedulikan pekerjaan. Paman Anas berpesan untuk menjaga gadis bernama Rimay, karena dia adalah kunci untuk mengendalikan masyarakat. Ravin pikir itulah alasannya ingin bertemu Rimay.

Gerbang tinggi menjulang, mobil BMW memasuki halaman melawati air mancur. Berhenti tepat di depan tangga kecil. Pintu besar terbuka lebar menyambut kedatangan Ravin.

"Selamat datang, Tuan." Pak Sabihis menyambut Ravin bersama para pelayan.

Ravin mengabaikan mereka dan berjalan masuk. Melewati ruang tengah dengan lampu krital besar yang menyala terang. Lanjut ke ruang tengah yang terdapat foto keluarga dengan ukuran besar.

Rumah ini masih sepi seperti biasa, Ravin melihat jam dinding yang menggantung. Hampir pukul dua belas malam.

Ia berjalan menuju kamarnya, membuka pintu bercat putih itu. Tampak kamar luas dengan sofa di tengah. Matanya tertuju kepada koper besar yang diletakkan di samping pintu. Ada beberapa kardus yang Ravin tebak berisi buku-buku Rimay.

Seperti dugaannya, Rimay akan mencoba kabur darinya. Terlebih ancaman yang dia lontarkan siang tadi. Ia terus berjalan ke ranjang. Mendapati gadis itu tertidur pulang dengan hijab berwarna kuning yang masih melekat. Ada tas punggung yang di letakkan di samping ranjang.

"Hey, kau! Cepat bangun!"

Masih tetap tidur dengan suara dengkuran, Rimay terbuai di alam mimpi hingga air liurnya membasahi bantal. Membuat Ravin jijik melihatnya.

Ia mengingat betapa menyebalkannya jika harus tidur seranjang dengan gadis ini lagi. Ravin ingin mengusirnya, membuat Rimay pindah ke kamar tamu.

"Bangun!" Kali ini Ravin membentak. Akan tetapi tak ada respon dari Rimay.

"Kau seperti orang mati, kalau kau tidak bangun aku akan membunuhmu," kata Ravin sembari membuka selimut.

Perlahan mata Rimay terbuka, melihat Ravin dengan setengah kesadarannya. Tersenyum mendapati wajah tampan sang suami.

"Eh, Mas Ravin. Sini Mas tidur," katanya sembari menepuk bantal di sampingnya. Kemudian mata itu kembali tertutup. Ia menarik selimut dengan mata terpejam.

"Jadi kau sungguh ingin mati?" tanya Ravin dengan nyalang.

Seketika itu juga mata Rimay terbuka lebar, kini kesadarannya kembali sepenuhnya. Membuat semua memori bermunculan satu persatu. Sekarang dia tahu di mana posisinya berada.

Segera turun dari ranjang dan berlutut di depan Ravin, tangannya memohon.

"Ampuni aku Presdir, jangan bunuh aku. Aku masih perawan tidak mau mati penasaran, kuliahku juga belum selesai, aku belum kerja cari uang buat menghajikan orang tuaku. Banyak anak jalanan yang harus kuurus. Ampuni aku Presdir, tolong lepaskan aku. Biarkan aku pergi baik-baik."

Rimay berkata panjang lebar hingga membuat kening Ravin berkerut. Mata gadis itu tertutup tidak berani menatap matanya. Terlihat keseriusan di sana.

"Kau pikir aku akan melepaskanmu dengan mudah setelah semua yang kau lakukan?"

Ravin memandang ke bawah, kali ini Rimay mendongak menatap bola mata Ravin dengan mata berkaca-kaca. Tak ada rasa iba di hati Ravin, jiwa hobi menyiksa masih melekat di sudut hatinya.

"Nggak dilepasin nggak papa, asal disayang kayak dulu," kata Rimay jujur.

.
.
.
.
Bersambung.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang