Dari lima soal aku hanya yakin 1 jawaban benar. Sungguh terlalu otakku ini. Kulirik Vio, dia mengerjakan soal mata kuliah bahasa inggris VI dengan semangat. Aku sudah selesai walau tidak yakin benar. Setidaknya sudah berusaha, dari tadi perutku berbunyi. Bagaimana dengan Presdir yang menungguku di luar ke kelas? Pasti dia juga sama laparnya.
Melirik sekeliling, sudah banyak bangku kosong dengan selembar kertas di atas meja. Artinya beberapa temanku sudah selesai mengerjakan soal dan meninggalkan kelas. Pandangan kualihkan pada jam dinding yang terletak di depan, pukul sepuluh. Tiga puluh menit lagi waktu habis.
"Vi, aku udah selesai. Duluan ya, aku tungguin kamu di kantin," bisikku kepada Vio.
"Aku juga udah selesai kok, dikit lagi. Bentar."
Ntah apa yang dia tulis, jarinya begitu cepat sampai kepalaku tak mampu membaca tulisannya yang mirip cacing.
"Udah selesai, ayo pergi," ucapnya sembari memasukkan alat tulis ke dalam tas.
Kami berdiri, sedikit menunduk hormat kepada dosen pengawas sebelum berlalu keluar dari kelas. Presdir sudah menungguku dengan kipas angin di sampingnya. Aku tidak ingat membawa kipas angin ke kampus. Dari mana dia bisa mendapatkannya?
"Dek, sudah selesai?"
Aku mengangguk, melepas kunci kursi roda dan mulai mendorongnya menuju kantin, "alhamdulillah udah. Ayo kita makan di kantin."
"Nyonya, kipas anginnya mau dibawa atau dikembalikan ke ruang rektor?" tanya salah satu pengawal.
Jadi itu kipas angin milik rektor? Ya ampun. Berani sekali meminjam kipas angin dari sana.
"Bawa saja, di kantin panas. Banyak bau orang miskin," jawab Presdir.
Tatapan sebal Vio tunjukan walau tak berani mengatai. Aku sendiri juga sebal mendengar perkataan menyebalkan dari Presidir. Tetapi lama kelamaan kupingku bisa membiasakan diri.
"Kalian udah selesai?" tanya Jiho sembari berlari ke arah kami.
Jaket biru yang dia kenakan serta gaya rambut bebas itu sangat tampan seperti biasa. Membiusku dengan segala aroma maskulin yang dia punya.
Cinta pertamaku, impianku, calon jodohku. Han Ji Ho. Tampan seperti biasa.
"Udah, ayo ke kantin bareng," jawab Vio mendahuluiku.
Kami berjalan bersama seperti biasanya, hanya ditambahi Presdir di antara kami. Awalnya memang susah karena mereka tidak nyaman dengan kehadiran Presdir yang memiliki sifat menyebalkan. Tetapi sejak Presdir selalu mentraktir kami, perlahan mereka bisa menerima Presdir.
"Hari ini kita ke rumah belajar yuk, anak-anak nanyain kamu lo Rim," kata Vio ketika kami memasuki kantin.
"Mereka merengek katanya kangen kamu." Ji Ho menambahi.
Dua orang pengawal mengelap meja sampai mengkilap serta tempat duduk untukku. Perlakuan berlebihan yang sudah kuterima sejak seminggu yang lalu. Walau canggung tetapi aku mulai terbiasa.
"Aku nggak bisa ikut, hari ini mau nganter Mas Ravin ke dokter habis itu ke sekolah Okis." Menggeser kursi dan duduk. Aku mulai memberi kode ke Bi Kantin seperti biasanya.
"Iya juga sih, kalau udah nikah emang sulit mau ke mana-mana. Nggak papa, ntar aku jelasan ke anak-anak."
Respon dari Jiho membuat hatiku getir. Statusku yang sudah menikah membuat jarak di antara kami benar-benar hanya sebatas sahabat, terlebih semua orang tahu bahwa aku dan Presdir menikah karena cinta pada pandangan pertama.
Wakil Presdir, Rico. Dan ayahnya yang ternyata dewan komisaris yang menyemburkan kopi di hari pengumuman perniakahanku, Anas Nugroho. Mereka mengancam supaya aku tidak menceritakan kepada siapapun kondisi pernikahan kami yang sebenarnya. Harus berpura-pura bahwa kami memang pasangan suami istri yang menikah dengan landasan cinta untuk menutupi masalah kesehatan mental Presdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Presdir? END
Romance(FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Bukan karena cinta, perjodohan, ataupun janin yang butuh status. Tapi Kenapa aku bisa menikah dengan dia? Pagi itu ketika aku membuka mata, aku terkejut melihat seorang pria tampan sedang tertidur pulas di sampingku. Bul...