12. Anak Nakal

60.9K 7.5K 101
                                    

"Assalamualaikum," sapaku sembari mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam, silakan masuk."

Aku memasuki ruangan dengan meja dan sofa di tengah, ada galon di samping jendela kecil yang tak tertutup horden. Di sebelah ruangan ini adalah kantor TU. Sudah ada Okis duduk bersama Bu Nirmala di sofa. Guru BK.

"Loh, Rimay ...."

"Iya, Bu. Saya wali dari Okis. Saya kakak iparnya."

Bu Nirmala tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dia merubah posisi duduk setelah mata kami berhenti bertatapan. Ia berdiri menyambutku. Kemudian mempersilakan aku duduk di samping Okis yang tak acuh.

"Maaf Ibu sangat terkejut, kalau begitu silakan duduk. Ibu akan jelaskan masalah adik iparmu ini."

Aku melirik ke Okis yang sibuk memainkan ponsel, Bu Nirmala tetap hangat seperti dulu. Dia menghidangkan teh untukku. Tanpa maksud merendahkan beliau menjelaskan bahwa Okis sering membuat masalah di sekolah. Dari mulai bobol wifi, bolos sekolah, menyontek, merusak fasilitas sekolah. Dan ini yang paling parah sampai aku dipanggil ke sini adalah karena Okis menindas ketua kelasnya hingga anak itu masuk rumah sakit.

"Cepet bayar aja kayak biasanya, beres. Pengap lama-lama gue di sini." Okis memotong pembicaraan kami.

Bu Nirmala memalingkan wajah, tak berkomentar. Sepertinya benar jika setiap ada masalah Okis menyeleseikannya hanya dengan uang.

Aku tahu bahwa Okis kurang kasih sayang dan perhatian dari orang dewasa, apalagi Mamanya tidak tinggal serumah dan katanya sudah menikah lagi. Presdir tidak bisa diharapkan mendidik Okis dengan benar jika melihat perilaku kasarnya yang membuat orang takut.

Tinggalah aku, walau tak mudah setidaknya selama menjadi kakak iparnya aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk mendidik Okis.

"Hukum sesuai prosedur, Bu. Kami akan menemui wali murid dan murid yang menjadi korban untuk meminta maaf."

Mendengar ucapanku, Okis berdiri dan menendang meja dengan Keras. "Siapa lo berani ngatur?!"

Dia sangat tidak sopan, aku pun ikut berdiri. "Aku kakak iparmu, walimu, keluargamu."

Sejenak Okis terdiam mendengar ucapanku. Kemudian senyum mengejek keluar dari bibirnya. Sudah kuduga reaksinya akan seperti itu.

"Keluarga? Nggak usah sok jadi keluarga gue."

Okis menggunakan jari telunjuknya mendorong keningku beberapa kali hingga aku mundur ke belakang. Emosiku masih tertahan, sabar. Dia hanya anak kecil yang butuh bimbingan. Aku mengepalkan tangan, masih mencoba sekuat tenaga untuk menahan diri atas perlakuannya yang kasar dan tak menghargaiku.

"Selesein kayak biasa dan nggak usah ikut campur urusan gue," ucap Okis sebelum berbalik dan keluar dari ruangan.

Tinggalah aku dan Bu Nirmala yang berada di ruangan. Aku duduk kembali. Rasanya kepala ini berdenyut nyeri, setelah UTS bukannya pikiran tenang tetapi malah banyak masalah menumpuk seperti ini. Okis yang terlahir kaya raya dan selalu semena-mena tidak mudah dihadapi.

"Maaf ya, Bu. Aku akan membimbing Okis lebih baik lagi."

Aku sedikit menunduk, tak bisa menatap mata Bu Nirmala yang iba. Tiba-tiba Bu Nirmala menggenggam tanganku dengan lembut.

"Kamu gadis baik Rimay, Ibu yakin kamu bisa membuat Okis menjadi anak yang baik juga. Ibu sendiri tidak bisa membantu, sekolah kita terlalu takut dengan Finanansial group."

"Atas nama Finansial group aku minta maaf kepada Ibu dan guru-guru yang lain."

Bu Nirmala menggeleng. Menatap hangat padaku. Beliau masih menjadi guru yang hangat seperti dulu.

Aku keluar dari ruangan setelah meminta supaya Okis dihukum secara normal tanpa membedakan statusnya yang merupakan tuan muda Finansial group. Tak ada cara lain supaya Okis berubah selain mulai memperlakukan dia secara normal seperti siswa yang lain. Nanti akan kupikirkan cara mendekati dia baik-baik.

Waktu menunjukkan jam dua belas siang, jam istirahat kedua. Siswa siswi berseragam putih abu-abu keluar dari kelas. Sebagian menuju mushola, kantin dan tempat yang lain.

Aku berjalan diikuti dua pengawal menelusuri koridor sekolah. Kenangan masa SMA terlintas lagi. Hingga seorang siswi berlari menghanpiriku dengan senyum lebarnya.

"Mbak Rimay!" panggilnya ketika berlari menuju kemari menyelip di antara anak-anak yang berlalu lalang.

"Ran, udah istirahat ya."

Napasnya ngos-ngosan, ia mengatur napas sebelum menjawab perkataanku.

"Mbak Rimay ke sini kok nggak bilang-bilang, ada keperluan apa Mbak?"

Gadis berambut hitam lebat sepinggang, Kirana Putri Nandia. Salah satu anggota komunitas rumah belajar.

"Itu ngurusin Okis. Kamu kenal Okis nggak?"

Mendengar pertanyaanku Ran diam sejenak kemudian menjawab, "siapa di sini yang nggak kenal Okisena Surya Diningrat, tuan muda Finansial group yang ganteng banget."

Aku cukup terkejut ternyata Okis sangat populer, bahkan Ran yang merupakan anak rajin dengan segala prestasi memuji Okis. Padahal menurutku sifat mereka bertolak belakang.

"Kalau begitu bisa tidak kamu awasi Okis selama di sekolah? Cukup laporkan seberapa sering dia berbuat nakal."

"Tentu, Mbak. Aku kan ketua OSIS jadi mendapat informasi seperti itu hal yang gampang."

"Makasih ya, Ran. Kalau begitu aku pergi dulu."

"Hati-hati, Mbak."

Hanya kubalas dengan senyuman setelah itu berjalan menuju mobil yang sudah menunggu di halaman.

"Kita mau ke mana Nyonya?" tanya supir padaku setelah duduk.

Mau kemana aku sendiri bingung. Sekarang sudah jam makan siang dan Presdir makan siang bersama dokter Valerie. Aku makan siang sendiri rasanya sangat tidak enak. Apalagi di saat suasana hatiku buruk seperti ini.

"Kita ke restoran Purnama di jalan anggrek."

Aku menghubungi Bang Roni, pemilik restoran yang pernah konsultasi padaku tentang masalah istrinya. Meminta membuat 100 nasi kotak, walau tidak ada teman makan tetapi masih ada para pengawal dan juga anak jalanan yang bisa kuajak makan bersama.

Setibanya di restoran aku menyapa Bang Roni dan istrinya yang kini harmonis, ternyata konsultasi tiga bulan lalu berhasil. Senang rasanya melihat mereka harmonis.

"Ini nasi kotaknya sudah siap," kata Bang Roni sembari mengeluarkan nasi kotak.

"Iya, Bang. Makasih ya. Ini uangnya." Aku memberikan uang satu juta lima ratus ribu setelah mendapatkan diskon.

Semenjak menjadi istri Presdir uangku berlimpah ruah. Di rekening pribadiku ada uang sebesar 10 milyar untuk jajan katanya. Belum lagi Pak Sabihis memberitahu bahwa kini aku mempunyai saham 5 % di Finansial group. Mendapat dua pengawal, mobil dan supir yang khusus untukku.

Awalnya terkejut dengan semua fasiltas ini, aku takut memakainya. Tetapi kata Pak Sabihis itu semua wajar dan aku tidak perlu sungkan.

Aku paling anti menolak rejeki, walau begitu aku tidak menggunakan secara berlebihan dan secukupnya. Takut ditagih lagi jika Presdir sudah sembuh.

"Sering-seringlah mampir, kamu pasti saya kasih diskon," kata Bang Roni lagi setelah membantu memasukkan kotak nasi ke mobil.

"Tentu, pokoknya jangan lupa wajib diskon ya, Bang."

"Siap."

Kami saling melempar senyum dan mengobrol sejenak sebelum berpisah.
.
.
.
Bersambung.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang