20. Sofa

58.8K 7.9K 377
                                    

Lampu menyala terang, waktu menunjukkan jam dua belas malam. Aku duduk berhadapan dengan Presdir di sofa berwarna putih nan halus ini. Tak berani melihat dia, ekspresi Presdir kembali menakutkan seperti dulu, ketika pertama kali bertemu di kantor penerbit.

Tak bisa berhenti meremas tangan, aku sangat gugup. Pertanyaan terus berputar di kepala, bagaimana cara keluar dari situasi ini? Selain dibunuh ada satu hal yang juga sama menakutkannya, yakni ditagih uang Presdir yang sudah kugunakan.

"Jadi, apakah kau sudah memikirkan mau mati dengan cara apa?" tanya Presdir.

Mataku menatapnya, dia masih memasang ekspresi dingin dengan melipat tangan di dada. Tampan. Kenapa di ujung kematianku seperti ini masih mengganggap dia sangat tampan. Otak! Kumohon bekerjalah dan jangan tertipu dengan wajah tampannya itu. Orang tampan memang menyusahkan sampai membuat pikiranku tidak waras.

"Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?" tawarku. Masih mencoba bertahan hidup!

"Apa keuntungan yang bisa kudapatkan?"

Matanya penuh selidik menatap, walaupun aku takut tapi jangan sampai terlihat lemah. Membalas tatapannya dengan berani seakan dia bukan apa-apa di mataku.

"Istri yang imut."

Sejurus kemudian dia tertawa lepas, "hahahaa ... aku suka dengan kenarsisanmu."

Aku ingin berterima kasih tetapi sepertinya itu bukan pujian, memang tidak ada yang bisa kutawarkan untuk bertahan hidup. Wajahku pas-pasan dengan sedikit cubby, hidungku tidak sepertinya yang seperti prosotan. Miskin dan nilai IP ku sangat pas-pasan. Sama sekali tidak memiliki sesuatu untuk dipakai membuat kesepakatan. Sedihnya aku sangat sadar akan hal itu.

"Begini saja, bagaimana jika kamu menggadaikan komunitasmu," tawarnya.

"Komunitas itu bukan milikku, ketuanya juga bukan aku. Lagi pula, itu komunitas bukan yayasan. Bagaimana bisa digadaikan?"

Mata kami masih bertatapan, dia bergeming. Hidupku ditentukan sekarang. Tetapi permintaannya aneh, bagaimana bisa aku menggadaikan komunitas.

"Ceritakan tentang komunitasmu," perintahnya.

"Apa ini sebuah kesepakatan?"

Presdir tertarik dengan komunitasku, mungkin ini memang kesempatan untukku bertahan hidup.

"Jika komunitasmu bisa menguntungkanku tentu ini bisa dijadikan kesepakatan."

Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan berat, mencoba mencari tahu jawaban seperti apa yang diinginkan Presdir. Dia bilang menguntungkan, dalam hal apa yang dia maksud. Dibandingkan Finansial Group tentu komunitasku tidak ada seujung kuku.

"Anggota komunitasku memang banyak, tetapi kami tidak berpusat. Di setiap daerah ada komunitas rumah berbagi, hanya ketua yang melakukan pertemuan beberapa kali dalam setahun. Kami kompak mendukung satu sama lain, terutama ketika mengumpulkan donasi untuk korban bencana alam atau pun mengirim bantuan kemanusiaan."

Aku menjawab seadanya dan sebisaku. Semoga jawaban ini membuat Presdir puas. Dia masih bergeming.

"Aku kuberi kau kesempatan, jika komunitasmu bisa membuat nama baikku kembali. Aku akan mempertimbangkan dirimu untuk hidup."

Itu mudah, bahkan aku bisa memanfaatkan Presdir sekaligus. Membuat kekuasaannya di pihakku dengan dasar demi nama baik. Ternyata kesempatanku hidup terbuka lebar.

"Aku bisa, tapi selama itu apakah aku bisa pulang? Presdir sudah tidak membutuhkan aku di sini, 'kan?"

"Kau pikir aku akan melepaskanmu dengan mudah? Anggap saja sampai saat itu kau disandra. Tetap jalani kebiasaan seperti biasa di sini."

Aku menunduk lagi, "yaudah deh nggak papa."

Sandra aku Mas, aku rela. Liat wajah tampanmu setiap hari adalah menyandraan paling nikmat. Disandra selamanya juga tidak masalah. Sebenarnya dari siang sudah berkemas tetapi mau pergi rasanya tidak rela.

Kapan lagi seperti ini? Hidup mewah dengan kekuasaan yang cukup untuk bisa membantu orang lain tanpa menunggu sumbangan dari donatur. Uang jajan melimpah bisa untuk membangun masjid, membelikan baju untuk anak jalanan. Bahkan bisa juga untuk membangun panti asuhan.

Walaupun taruhannya nyawa tetapi aku masih mencoba peruntungan mempertahankan posisi sebagai nyonya Surya Diningrat. Setidaknya sampai Presdir menikah dengan dokter Valerie tahun depan.

"Lalu, apakah kita masih suami istri?" pertanyaanku keluar dengan malu-malu.

Pipiku merona ketika ingat betapa kekarnya otot dibalik baju itu, duh jadi ingin lihat lagi.

"Kenapa bertanya?"

Aku mengalihkan pandangan, malu menatapnya, "ya kan kalau suami istri seperti itu."

"Seperti itu?"

"Itu loh ... Seperti itu ... ya begitulah, ya kayak gitu ...."

Kacau! Apa yang sebenarnya ingin kukatakan? Mulutku berhentilah menanyakan hal absurd. Tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakannya.

"Maksudmu sex?" Presdir memperjelas.

"Bukan!"

Iya iya itu yang aku maksud. Ayolah Presdir kita kan suami istri. Malam pertama kita kapan? Setidaknya biarkan aku melihat otot kekar di balik baju itu lagi.

Benar-benar otakku kacau jika melihat orang tampan halal di depanku ini. Nafsu mengalahkan rasa takut. Ya Allah selamatkan otakku dari hal gila ini!

"Lalu?" Matanya memicing. Masih melipat tangan di dada.

"Apa aku harus pindah kamar atau tetap di sini?"

Kumohon tetap di sini. Biarkan ada kemungkinan kita menjalankan malam pertama. Walaupun aku takut setengah mati denganmu tetapi wajah tampanmu benar-benar tidak boleh disia-siakan.

Presdir bergeming, terlihat berpikir sebelum menjawab pertanyaanku.

"Ini rahasia kita, jangan biarkan orang lain tahu sekalipun itu pelayan. Jadi bersikaplah normal seperti sebelumnya. Kau bisa tidur di lantai kamar ini."

"Lantai?"

"Kalau kau keberatakan tidur di lantai kau bisa tidur satu ranjang denganku. Kita bisa sekalian melakukan sex."

Mauuuuuu ....!
Ayoo Presdir!
Apakah aku bisa berteriak seperti itu? Nyatanya aku tidak berani.

"Tidak perlu, aku bisa tidur di lantai."

Presdir berdiri, ia membuka kancing kemejanya sembari berjalan menuju kamar mandi. Aku terus mengamatinya. Sekarang rasanya menyesal karena waktu Presdir masih lupa ingatan aku tidak memfoto ABSnya.

Malam itu aku tidur di sofa setelah meletakkan bajuku di ruang ganti kembali. Suara air mengalir dari shower terdengar dari kamar mandi.

Aku mengambil selimut di lemari paling bawah dan juga mengambil bantal yang tadi mendapat iler ku. Meletakkannya di sofa halus nan lembut.

Sekarang perasaan takut menyerbu ketika menutup mata, aku meraih jilbab terusan yang baru saja aku lepas. Jika aku mati dibunuh Presdir setidaknya mayatku ditemukan dengan berhijab. Pikiranku simpel sekali.

Sampai Presdir selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah pun aku belum bisa ke dunia mimpi. Rasanya resah dan takut.

Lebih baik solat tahajud. Berdoa kepada Allah semoga umurku bisa lebih panjang. Berdoa juga supaya hati Presdir luluh padaku, syukur syukur bisa jatuh cinta.

Aku masuk ke dalam kamar mandi, mengambil wudhu dan menggelar sajadah.

"Apa yang mau kau lakukan?" tanya Presdir yang sudah memakai baju tidur.

"Solat tahajud. Presdir sudah solat Isya belum?"

Aku memakai mukena dan bersiap untuk solat.

"Untuk apa solat, aku sudah memiliki segalanya."

Dia naik ke ranjang. Mengambil selimut dan memposisikan diri untuk tidur.

"Presdir, solat dan pesugihan itu beda."

.
.
.
Bersambung.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang