30. Perpustakaan

53.6K 7.3K 408
                                    

Jangan lupa komen perparagraf ya gengs. Biar semangat up tiap hari.
.
.
.
.

......

Rupanya perkataan Presdir tentang Ji Ho terngiang dan menjadi pikiran. Apakah benar Ji Ho menyukaiku? Berpikir seperti itu rasanya aku menjadi orang yang ke-ge-eran. Semalaman aku memikirkan perkataan Presdir tapi tetap saja tidak menemukan titik terang.

Aku penasaran dengan kenyataan yang mungkin tersembunyi atau setidaknya menuntaskan rasa ge-er. Pagi itu setelah kelas selesai aku ke perpustakaan, tempat di mana Ji Ho biasa berada.

Jajaran buku di rak perpustakaan kampus hanya kulewati. Sembari terus berpikir tentang Ji Ho. Mencoba mengingat apakah ada kejadian janggal di persahabatan kami atau kelakuan yang menandakan dia menyukaiku.

Aku melirik jam dinding, pukul sebelas. Seharusnya jam segini Ji Ho sudah selesai kelas pagi. Aku terus berjalan dengan tangan dan menyapu buku yang berjejer rapi. Ada sedikit debu yang menempel di jari.

Perpustakaan ini tenang, Bu penjaga sangat galak. Tak akan ada yang berani bersuara. Aku menuju barisan rak nomor 5. Mencari buku tantang sastra inggris, jurusanku. Sembari menunggu Ji Ho.

Mataku terus melihat pintu, berharap Ji Ho segera muncul. Lima belas menit menunggu, berdiri di rak paling dekat dengan pintu sembari menyandarkan punggung. Membuang napas berat. Memikirkan beberapa kemungkinan jika perkataan Presdir memang benar.

Memang tidak ada yang bisa menduga hati manusia, sekalipun dia sangat dekat dengan kita tapi belum tentu kita tahu semuanya. Hal itu berlaku juga untuk Ji Ho.

"Kenapa di sini sendirian?" Pertanyaan itu membuatku berjingkrak sembari mengelus dada. Hijab coklat yang aku kenakan kutarik ke belakang karena sedikit melorot.

Aku segera menoleh, ada Ji Ho dengan alis terangkat. Selain karena baik, hal yang aku paling aku sukai darinya adalah wajahnya yang tampan, memang ya sahabatku ini mahluk paling tampan di kampus. Tak heran banyak pujian datang untuknya.

"Nunggu kamu, udah lama nggak ngobrol."

"Ayo duduk di sana, memang sejak kamu nikah kita jarang ngobrol."

Ji Ho menarikku ke kursi paling pojok. Jauh dari Bu penjaga perpustakaan. Dia duduk duluan setelah meletakkan tas di samping meja, dengan wajah tersenyum cerah dia menyuruhku untuk duduk di depannya. Sepertinya dia sangat antusias. Memang kuakui akhir-akhir ini hubungan kami tidak sedekat dulu. Sibuk dengan urusan masing-masing. Terlebih kita di fakultas yang berbeda. Sulit mencari waktu bertemu.

"Aku siap mendengar ceritamu," katanya. Antusias.

Kebiasaanku curhat padanya setiap kali ada masalah, Ji Ho akan mendengarkan dengan seksama. Jika ada yang menggangguku atau membuatku sedih dia adalah orang pertama yang maju.

Seperti perisai dari segala macam bahaya, dia melindungiku. Padahal, kami sama-sama ahli bela diri tapi ketika di pertarungan sungguhan dia selalu maju yang paling depan dan menyuruhku untuk berada di belakang.

"Nggak sih, cuma mau bilang kalau minggu ini aku akan pulang ke rumah."

"Wah, bagus dong. Kau ingat, kita ada janji mau mancing bareng di danau. Pulang nanti kamu harus nepatin janji mancing tapi ikan tangkapanmu untukku."

Aku memukul lengannya dengan keras, membuat dia mengaduh pelan. Enak sana meminta ikan hasil tangkapanku!

"Nggak maulah, harusnya kamu yang kasih hasil tangkapanmu."

"Eh eh eh di rumah Presdir apa kamu tidak dikasih makan? Seharusnya sebagai nyonya besar Surya Diningrat hidupmu sudah seperti ratu."

Sekali lagi aku memukulnya, kucupit kedua pipinya itu dengan keras sampai dia menepuk punggung tanganku supaya lepas.

"Sekalipun aku jadi Nyonya tapi aku masih Rimay yang sama, makanan di rumah Presdir itu itu mulu. Aku kangen makan pecel Bude Lin di perempatan. Kangen juga makan ikan bakar sama kamu."

"Harusnya kamu bilang kalau kangen, aku bisa mengantar makanan yang kamu inginkan ke rumah Presdir."

Dia mengusap pipinya yang memerah akibat cubitanku. Berbeda ketika ada Vio ataupun orang lain. Sikap Ji Ho padaku terbilang hangat. Aku heran,  sejak SMP banyak gadis yang bilang kalau Ji Ho dingin dan cuek. Sampai kami kuliah pun pandangan orang ke Ji Ho tetap seperti itu. Tapi menurutku tidak sama sekali. Sikapnya hangat dan penuh perhatian, mungkin karena aku sahabatnya yang paling dekat.

"Aku juga akan pulang bersama Presdir," ucapku kemudian. Mencoba melihat reaksinya.

Jika benar ucapan Presdir tentu dia tidak akan suka Presdir bersamaku. Dia diam sesaat, terkejut. Kemudian tersenyum lagi dengan cerah seperti biasa.

"Bagus dong rame-rame. Kita bisa ajak Vio sekalian."

Apa yang kukhawatirkan? Ji Ho tak mungkin menyukaiku. Dasar Presdir! Hampir saja aku menanyakan sesuatu yang akan membuat malu.

"Iya, ayo kita mancing rame-rame. Pasti seru."

Kami mengobrol seperti biasa, tak ada yang aneh. Ji Ho tetap Ji Ho, sahabat yang paling aku percaya. Dia mendukung setiap langkahku. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tiba-tiba seseorang memanggilnya, seorang senior. Ji Ho pamit keluar sebentar, meninggalkan aku di sana sendiri.

Aku mengecek ponsel, ada pesan masuk dari Ran. Menanyakan novel yang kupinjam. Loh, bukankah sudah kutitipkan pada Okis? Wah anak itu sungguh tidak amanah. Aku segera mengirim pesan ke Okis supaya mengembalikan novel ke Ran.

Tiba-tiba suara ponsel berbunyi dengan keras, membuat orang di sekeliling melihatku. Aku mencari sumber suara. Dari tas Ji Ho. Segera kubuka tas itu dan mematikan alarmnya yang berbunyi.

Tapi, mataku dikejutkan dengan amplop berwarna merah muda. Ada tulisan selamat ulang tahun Rimay di bagian luar.

"Loh, ultahku kan empat bulan lalu."

Aku ingat betul hari ulang tahun yang dirayakan bersama. Karena lahir di bulan yang sama aku dan Ji Ho saling bertukar kado. Kami juga biasa bertukar amplop tanda ucapan.

Biasanya seperti itu, tapi ulang tahun yang kemarin Ji Ho bilang tidak sempat menulis tanda ucapan untukku. Padahal Vio bilang melihat Ji Ho menulis surat dan memasukkan di amplop berwarna merah muda. Apakah yang dimaksud Vio amplop ini?

"Kenapa nggak dikasih ke aku?"

Sebenarnya aku ingin mengambil amplop itu, tapi ini menyalahi aturan privasi. Pasti ada alasan kenapa Ji Ho tidak memberikan amplop ini dan berbohong. Bisa jadi isinya adalah permintaan aneh-aneh atau sesuatu yang tidak baik.

Aku memasukkan kembali amplop itu ke dalam tas bersama dengan ponsel Ji Ho. Keraguan tentang perkataan Presdir muncul kembali karena melihat kejanggalan surat itu.

"Maaf ya lama, udah jam makan siang nih, ayo ke kantin." Ji Ho kembali, ia mengambil tas yang baru saja kuletakkan di bawah.

"Tadi alarmmu bunyi, trus aku matiin."

Ji Ho terkejut dan segera membuka tasnya. Lega setelah memastikan sesuatu.

"Eh, amplop itu buat aku, ya?" tanyaku.

"Awalnya iya tapi sekarang nggak."

"Ih, kok gitu sih."

"Udahlah, ayo ke kantin. Vio pasti nyariin kita."

Dia berjalan duluan keluar dari perpustakaan sementara aku mengikuti dari belakang.

.
.
.
.
Bersambung
Jangan lupa pencet bintang ya.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang