3. Hobiku Menolong Orang

98.4K 10.7K 1.1K
                                    

Hobiku menolong orang, kata ayah
Menolong orang jangan menerima imbalan, karena imbalan dari Allah jauh lebih banyak. Kejadian seperti ini sudah biasa, bahkan yang lebih berbahaya dari ini sudah pernah aku alami.

Menolong adalah panggilan hati, mungkin karena dari kecil ayah mengajari seperti itu. Ayahku yang sekarang sebenarnya adalah pamanku. Sebelum ayah menikahi bunda, beliau sering mengajak keliling Indonesia untuk menolong orang. Katanya pengalaman hati itu penting.

Maka dari itu kebiasaan menolong orang terbawa sampai sekarang, dari mulai nyebrangin nenek-nenek, menolong orang lahiran, menolong tukang bakso yang gerobaknya nyungsep di paretan, menolong preman yang digebukin warga, pelacur yang mau dibakar warga, pokoknya banyak.

Untuk membekali hobi aneh ini aku belajar bela diri. Dari mulai Taekwondo, Karate, PSHT dan Pagar Nusa.

Pria yang kutolong dibius untuk operasi, akhirnya dia melepaskan ganggamannya. Tak membuang waktu lagi, aku segera keluar dari ruangan UGD.

Saat keluar dari ruangan, seorang wanita menghampiriku dan memberikan cek senilai 200 juta. Uang segitu kalau untuk beli baju anak-anak jalanan pasti dapat banyak. 

"Nggak usah repot-repot Bu, duh jadi enak. Tapi kalau anda memaksa tolong sumbangkan saja ke komunitas kami. Di sini Bu," ucapku sembari memberikan lembaran donasi untuk komunitas. Ada gunanya  membawa brosur setiap hari.

"Baiklah Nak, saya sumbangkan saja. Tapi kamu buru-buru mau ke mana?"

"Saya mau demo Bu, anda liat foto orang ini. Dia Presdir Finansial grup, gara-gara dia saya dikeluarkan dari kampus. Kalau ibu pernah disakiti dia atau punya kenalan yang pernah disakiti dia, hubungi saya Bu. Saya akan mengajaknya demo meminta keadilan."

" ... Nggak ada Nak."

Ibu itu cuma nyengir. Emang aku aneh ya? Mungkin.

"Kalau begitu saya permisi dulu Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, hati-hati Nak."

Aku berlari keluar dari rumah sakit, menghentikan bajaj dan buru-buru ke tempat demo. Sesampainya di sana ternyata sudah terlambat, demo dimulai dengan orasi yang dipimpin Jiho, dia memang paling bisa diandalkan. Seribu orang lebih memadati depan gedung setinggi 82 lantai itu. Menyerukan aspirasi dengan semangat menggebu.

Tapi ada yang aneh, tidak ada tindakan apapun dari pihak Finansial Grup. Bahkan sampai hari ke tiga Finansial Grup masih bungkam, padahal media massa ikut menyudutkan perusahaan besar itu.

Mendapat tekanan seperti ini seharusnya Finansial Grup sudah bertindak, tetapi mereka hanya diam. Kami juga mulai lelah menjelang hari ketiga.

"Rimay!"

Ah ketahuan ayah, pulang terlalu sore lagi hari ini.

"Masuk rumah ngendap-ngendap kaya maling, tidak pakai salam pula. Apa ayah pernah mengajari kamu seperti itu?"

Kali ini ayah berkacak pinggang, padahal dua hari kemarin tidak ketahuan masuk kamar lewat pintu belakang. Tapi hari ini sedang sial.

"Assalamualaikum," ucapku.

"Waalaikumsalam! cepat masuk lewat pintu depan!"

"Iya, Yah."

Hari ini ada tamu, mobilnya terlihat mewah. BMW. Terlalu mengkilat, silau. Baunya sih orang kaya.

"Assalamualaikum," sapaku ketika memasuki rumah. Seorang Tante tersenyum hangat. Beliau cantik dan elegan, sangat cocok dengan mobil yang terparkir di depan.

"Waalaikumsalam." Ayah dan Tante itu menjawab berbarengan.

"Kamu kenal ibu ini?" tanya Ayah.

"Iya, Rimay kenal. Ada perlu apa ya Tante sampai datang ke sini?"

Bagaimana aku bisa lupa dengan tente yang mendonasikan uang dua ratus juta tiga hari yang lalu? Dialah ibu dari pria yang kuselamatkan ketika kecelakaan mobil.

"Bantu anak saya lagi Nak, saya mohon," pintanya.

"Bantu apa, Tante?" Aku duduk di sampingnya.

"Dokter bilang anak saya mendapat trauma berat, kasusnya langka tapi seperti Myshophobia dan Phobophia. Tapi anehnya dia tergantung sama satu orang yang dia panggil malaikat, dan saya rasa itu kamu, Nak."

Bagaimana bisa? Ya walaupun dari awal pria itu memang aneh karena tidak mau disentuh orang lain selain aku.

"Saya kurang  paham mengenai penyakitnya, tapi Rimay mau membantu, 'kan?" tanya Ayah.

Ah, Ayah tidak tahu kalau anaknya sudah pernah dipeluk oleh anak Tante ini.

"Maaf Tante, tapi saya nggak bisa bantu, waktu saya menolong dia terus menerus memegang tangan saya dan memeluk saya, sebagai muslimah saya nggak bisa."

Ayah terkejut mendengar jawabanku. Sudah pasti. Boncengan sepeda motor bersama Jiho saja Ayah melarang apalagi sampai acara peluk memeluk.

"Berani sekali anak ibu memeluk dan memegang anak saya! Pokoknya saya tidak akan izinkan anak saya menolong anak ibu lagi!" Bentak Ayah.

Di saat seperti inilah aku bisa kagum dan bangga menjadi anak Ayah. Rasanya terharu dibela.

"Saya akan bayar berapa pun, Pak." Tante itu mulai terlihat panik.

"Anda pikir saya akan menjual kehormatan anak saya! Segampang itu anda bicara!" Bentak ayah lagi.

"Bagaimana jika nikahkan saja anak Bapak dengan anak saya. Dengan begitu anak saya sah sah saja memegang anak Bapak."

Heeeh ... Mataku membulat sempurna. Ide konyol macam apa itu? Umurku baru dua puluh tahun, masih suka loncat sana loncat sini. Belum pantas dan belum berpikir untuk menikah muda. Terlebih orang yang ingin kunikahi adalah Ji Ho.

"Maaf Tante, tapi saya masih kuliah. Saya nggak bisa nikah sekarang. Iya 'kan Yah...?" Aku menyenggol tangan Ayah.

"Maharnya berapa, Buk?"

Pertanyaan macam apa itu Ayah! Kenapa malah tanya mahar? Ayah tidak berniat menjualku, 'kan?

"Seratus juta, bagaimana Pak?"

"Enak saja, masa depan anak saya lebih berharga dari itu!"

Ayah selalu berkata agar aku segera menikah untuk menghindari fitnah, tetapi tidak pernah sekalipun aku membawa lelaki untuk dikenalkan kepada Ayah. Masih berharap Ji Ho yang akan melamar, walaupun Ji Ho tidak menyukaiku tetapi bukan berarti aku mau menikah dengan sembarang orang.

"Bagaimana kalau 500 juta Pak?"

"Tambah 200 juta lagi."

"Oke Pak. Deal."

Apakah yang kalian tawar menawar adalah hidupku? Kumohon hentikan hal gila ini.

"Ayah, kenapa nggak tanya pendapat Rimay dulu, Rimay nggak mau nikah sama orang yang nggak Rimay kenal." Aku berusaha protes.

"Rimay percaya, 'kan sama Ayah ... menolong orang itu keharusan Nak. Apalagi ini menyangkut nyawa, Rimay mau orang itu mati gara-gara Rimay nggak nolong? Dia punya keluarga, kasihan keluarganya, dia juga punya tetangga, pasti tetangganya akan sedih.

"Rimay mau membuat banyak orang menderita? Apalagi masjid desa sebelah roboh karena tertimpa pohon, butuh banyak dana untuk memperbaikinya."

Stop! Tolong hentikan! aku tidak kuat membayangkan itu semua. Ayah menyerang titik terlemahku. Tetapi Ayah benar, kasihan. Aku tidak boleh egois, lagi pula jodoh di tangan Allah, kalau nanti memang tidak jodoh kita pasti berpisah atau jika dia sudah sembuh pasti kita bisa berpisah.

Ya benar! Berpikir seperti itu tidak masalah. Jangan anggap ini pernikahan tapi anggaplah menolong sesama manusia. Apalagi maharnya bisa untuk memperbaiki masjid.

"Baiklah, Rimay akan bantu."

Malam ini juga aku akan menikah. Tidak, tetapi lebih tepatnya menolong orang. Aku akan menolong pria itu dan saat dia sembuh semua akan seperti semula.
.
.
.
.

Bersambung.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang