14. Lampu Jalan

56.6K 7.7K 180
                                    

Seminggu telah berlalu sejak kejadian di ruang BK, Okis benar-benar mendapat hukuman skorsing. Sejak itu pula dia tidak pulang ke rumah. Awalnya kupikir dia hanya merajuk dan akan pulang jika sudah merasa lebih baik.

"Mikirin apa sih, Dek?" tanya Presdir yang berbaring di sampingku.

"Bukan apa-apa, ayo tidur, Mas."

Aku menyampingkan rambut panjangku sebelum berbaring. Menghadap ke arahnya untuk mengusap rambut pendek Presdir yang lebat. Kebiasaan sebelum tidur. Wajah Presdir sangat mewah dan tampan. Kenapa bisa ada manusia setampan ini? Jantungku masih saja tidak kuat melihat ketampanannya.

Dua minggu lebih berada di rumah ini, aktifitasku di komunitas benar-benar terpengaruh. Walau memiliki posisi pendiri akan tetapi sebenarnya mereka tidak membutuhkanku karena memiliki Ji Ho sebagai ketua.

Saat ini tugasku hanya penasehat. Mereka juga maklum aku tidak aktif lagi, karena memang anggota yang sudah menikah akan diberikan kelonggaran untuk tidak mengikuti semua acara. Itu merupakan keistimewaan untuk anggota perempuan.

"Mas, udah tidur?" tanyaku lirih.

Presdir tidak menjawab. Perlahan dengkuran halus terdengar. AC ruangan kamar sangat dingin. Kutarik selimut menyelimutinya sebelum beranjak.

Berjalan mengambil hijab dan mengganti baju tidur dengan baju biasa sebelum keluar kamar. Rumah ini sangat besar, aku tidak mengunjungi banyak ruangan yang berada di rumah ini karena takut tersesat.

Bahkan kupikir untuk berkeliling rumah membutuhkan google maps supaya tidak nyasar. Bisa dibayangkan seluas apa rumah utama keluarga surya diningrat. Sekelas sultan jika dibandingkan dengan rumahku yang ruang tamunya dimasuki motor karena tidak memiliki garasi.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Okis tak pulang lagi hari ini. Ntah kenapa rasanya resah dan tak nyaman, takut terjadi sesuatu dengan anak itu.

Aku berjalan ke ruang tengah setelah melewati lorong kamar. Ada lampu kristal tergantung dengan sinar yang menyala terang. Di dinding terpasang foto besar. Presdir, ayah Presdir dan Okis. Foto tiga pria yang tidak seperti foto keluarga. Di wajah mereka tidak ada senyum sama sekali. Raut wajah dan ekspresi selurus jalan tol.

Mengambil foto Okis menggunakan ponsel, aku mengirim foto itu ke grup. Siapa tahu ada yang melihat Okis. Mereka langsung menanggapi dan berniat membantuku mencari Okis.

Hingga sebuah telepon masuk dari Bang Sabron, penjaga club malam.

"Rim, gue tadi ngusir anak itu dari sini karena maksa masuk," ucapnya.

"Terus sekarang dia ada di mana, Bang?"

"Kayaknya sih tadi dia berurusan sama preman. Gue juga nggak tahu."

"Kalau gitu aku ke sana sekarang."

Okis benar-benar membuat khawatir. Aku keluar rumah dan dihadang pengawal. Setelah bersikeras dan berdebat dengan Pak Sabihis akhirnya mereka membiarkanku pergi asal ditemani.

Handri dan Petra mengawalku menuju lokasi. Langit malam tanpa bintang, udara cukup dingin. Mobil yang melaju kencang berhenti di depan club malam.

Setelah menanyakan perihal Okis, aku memaksa Hendri dan Petra berpencar. Kami tidak bisa membuang waktu atau hal buruk akan terjadi kepada anak itu. Bagaimana aku bisa bertanggung jawab di depan Mama mertua dan Presdir nanti? Terlebih lagi aku akan merasa sangat bersalah karena tidak mampu menjaga anak nakal itu.

Awan hitam memenuhi langit, mengusir cahaya rembulan sebagai penerang. Aku masuk ke gang kecil, bau lumut tercium jelas.

Dengan menggunakan senter ponsel aku terus berjalan seorang diri, berharap bertemu Okis atau setidaknya manusia untuk bertanya. Bulu kudukku merinding, sesekali aku menoleh ke belakang karena takut ada Mbak Kunti yang mengikuti atau Mas Pocong yang kepo.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang