1. Manusia Pisang

290K 15K 1.3K
                                    

Finansial Grup, perusahaan terbesar di Indonesia yang menguasai semua bidang. Dari mulai properti, transportasi, saham, sampai media masa, menafkahi ratusan ribu karyawan yang tersebar di lebih dari seratus cabang perusahaan.

Seperti kerajaan, perusahaan ini memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar. Mereka juga bekerja sama dengan pemerintah dalam segala sektor industri.

Dalam hitungan detik Finansial Group mampu menghasilkan ratusan juta rupiah, kejayaan Finansial Grup tidak lepas dari orang-orang yang bekerja keras di dalamnya terutama sang presiden direktur, Ravinio Surya Diningrat. Pria berusia dua puluh enam tahun yang sangat cerdas, pekerja keras dan tegas.

Namanya bahkan termuat dalam lima puluh orang paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME. Wajahnya pun sangat tampan dan mewah, sekilas seperti malaikat bak turun dari langit. Tapi percayalah sifatnya seperti iblis.

Sekarang di hadapanku. Bukan, tapi di hadapan semua orang yang berada di kantor penerbitan terbesar ini, aku menyaksikan secara langsung bahwa dia tidak layak disebut manusia. Dia sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan.

"Kenapa diam saja? Kau pilih mati di sini atau seluruh keluargamu yang akan mati?"

Tanpa perasaan dia menindas pria muda yang sudah bersujud padanya di lantai.

"Maafkan saya, Pak Ravin. Tolong ampuni saya."

Dia hendak mencium kaki Si bos tak punya hati itu tapi buru-buru pengawal melempar tubuhnya seperti sampah yang tidak memiliki harga.

Sebelumnya aku juga pernah berhadapan dengan Finansial grup, itu tentang perebutan tanah secara paksa. Memaksa warga menjual tanahnya dengan harga murah untuk dijadikan apartemen mewah. Komunitasku yang mengajar anak jalanan dan mendirikan camp di area itu pun juga terkena imbasnya.

Penentangan secara terang-terangan dari kami justru berakibat dihapuskannya komunitas dari kegiatan resmi kampus, Finansial Grup membeli kampus kami.

"Kalau tidak berguna bukankah lebih baik mati saja? Bahkan secuil upil lebih berharga dibanding dirimu."

Dia mengucapkannya seakan mati adalah hal yang mudah. Walaupun tampan dan kaya, tapi sikapnya tidak lebih baik dari pohon pisang yang memiliki jantung tapi tidak memiliki hati.

Pria muda malang menghapus air matanya, aku merasa kasihan sungguh! Mataku terbelalak setelah dia mengambil gunting, berusaha memotong lehernya sendiri.

"Jangan .... !" Teriakku.

Buru-buru gunting itu kurebut, aku tahu konsekuensi menetang perintah dari Presiden Direktur, jika besok mayatku ditemukan di aliran sungai Ciliwung aku tidak heran. Tapi rasa kemanusiaanku mengatakan bahwa bunuh diri atas perintah orang lain bukanlah sikap yang bisa diampuni.

"Jangan cegah saya! Saya harus mati sekarang!"

"Maksud saya jangan pakai gunting, Mas. Soalnya nggak bakal langsung mati, mending beli pisau dapur yang dijual depan kantor, mumpung ada diskon."

Dia tak menghiraukanku dan malah berusaha merebut gunting kembali. Padahal niatku baik.

"Sudah saya bilang nggak bakal bisa langsung mati, Mas harus tersiksa dulu dua sampai tiga jam nunggu kehabisan darah. Mending pakai pisau aja."

Kami berebut gunting, dia sangat bersikukuh. Tapi aku tidak menyerah semudah itu, walau hijab ini sedikit membuat pergerakanku sulit. Tak masalah, aku sangat kuat seperti biasa.

"Ck! Membosankan."

Setelah mendengar kalimat yang keluar dari bibir si presdir dia berhenti, menyerahkan gunting itu sepenuhnya padaku.

"Tolong Pak, beri saya kesempatan untuk mati." Memohon sembari melipat kedua tangan.

"Sudah tidak menarik," jawabnya. "Bereskan dia, buang ke tempat yang jauh. Jangan sampai saya melihatnya lagi."

"Baik Pak, akan saya kerjakan."

"Ampuni saya, tolong ampuni saya," teriak pemuda itu ketika para pengawal Presdir penyeretnya.

Setidaknya dia tidak mati, syukurlah. Niatku sebenarnya hanya mengulur waktu karena aku yakin Presdir Ravin bukan orang yang sabar.

"Apa yang kalian lihat? Mau nasib kalian seperti dia?" mata Presdir melihat satu persatu karyawannya.

Seperti semut yang terkena balsem, semua orang langsung berpencar dengan tergesa gesa.

Kini terlihat jelas wajah Presdir yang sangat tampan seperti di berita. Alisnya tebal, rahangnya kuat, dia mirip cowok tampan yang keluar dari komik romance, sangat sangat tampan.

Tapi kenapa sekarang tanganku yang gemetar, kami tidak sengaja bertatapan. Lupakan soal tampan. Dia adalah pria jahat, bisa jadi aku mati di tangannya.

"Kau pemberani, siapa namamu gadis kecil berhijab?" tanyanya.

Tidak boleh takut, setidaknya untuk menyelamatkan harga diri. Harus terlihat tegas.

"Kenapa tanya-tanya, naksir?"

"Hahaha ... Kau lucu sekali. Mana mungkin saya naksir dengan gadis jelek sepertimu. Bahkan kau tidak lebih cantik dari secuil upil."

Kali ini aku marah, bagaimana bisa dia membandingkan kecantikan wanita anggun sepertiku dengan secuil upil? Benar-benar tidak berperasaan!

"Kamu juga tidak lebih tampan dari kotoran sapi!"

Aku mengucapkan itu sembari menghentakkan kaki, mencoba menggertak. Tapi percuma, dia hanya terkekeh.

Kondisi kantor sedang kacau, tidak mungkin aku bisa mengantarkan naskah ini. Lebih baik pulang sekarang atau urusanku dengan si Presdir akan semakin panjang.

"Kau sangat berani, akan kuberi hadiah."

Presdir tersenyum licik. Tampan dan menakutkan, tubuhku bergetar. Ada aura penindasan yang kuat darinya. Seperti terhipnotis aku sulit berpaling dari tatapan mata bening yang menghanyutkan itu.

"Tidak usah repot-repot, saya permisi dulu. Semoga kita tidak bertemu lagi."

Aku segera berbalik dan berlari meninggalkan kantor. Berusaha menenangkan diri, takut dengan hadiah yang akan dia berikan nanti. Bagaimana jika hadiah itu adalah racun tikus yang harus kuminum di tempat? Oh tidak! Kabur adalah jalan terbaik.

Aku Rimay Ghinovia Agatha berdoa pada Allah SWT. Semoga tidak akan bertemu lagi dengan Presiden Direktur Finansial Grup, Ravinio Surya Diningrat. Manusia yang mirip pohon pisang, memiliki jantung tapi tak memiliki hati.

Berjalan meninggalkan kantor, napasku terengah-engah. Aku takut sekali berurusan dengan orang itu. Dia membunuh dan menyingkirkan orang dengan mudah, setiap orang yang berselisih paham dengan Presdir Ravinio kebanyakan mati atau menghilang. Walaupun pihak kepolisian dan masyarakat menduga ada yang janggal, tetapi selalu tidak ada bukti kuat menyeretnya ke pengadilan.

"Di dekatnya saja rasanya merinding," kataku.

Menuruni anak tangga menuju MRT, memeriksa barang bawaan. Ah, novel yang kukerjakan selama sepuluh tahun pada akhirnya tidak bisa kukirim. Padahal aku sangat ingin menerbitkan novelku di sana.

"Mbak Rimay, kenapa ada di sini?"

Mataku segera beralih ke samping, mendapati gadis berseragam putih abu-abu dengan rambut terurai indah. "Ran? Kamu sendiri kenapa ada di sini?"

"Oh, aku habis bimbel. Ini mau pulang."

"Yaudah, ayo bareng."

"Iya."

Udara yang panas membuatku mengibarkan hijab, Jakarta memang sangat panas. Belum lagi macetnya yang parah. Kalau ibu kota pindah aku tidak keberatan.

Kami melangkah masuk ke dalam kereta, berdesak desakan dengan orang yang baru pulang kerja.

Bersambung.

Peringatan!
Dilarang plagiat novel ini di YouTube atau manapun. Aku gk iklas lahir batin dan bakal aku tagih di akhirat.

(1003)

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang