16. Es Cendol

57.8K 7.9K 115
                                    

Rasanya panas, kepala pusing dan mata berat untuk terbuka. Setelah solat subuh aku benar-benar ambruk. Hanya mendengar samar-samar percakapan antara dokter, Pak Sabihis dan presdir. Badan menggigil, tak memperdulikan mereka yang berada di sekitar.

"Dek, makan dulu habis itu minum obat."

Aroma sup jagung tercium jelas, walau terlihat enak aku tidak nafsu makan. Perlahan aku menggelengkan kepala, tak ingin makan. Lidahku rasanya pahit dan tenggorokanku tidak nyaman.

"Ayo makan. Mas sedih kalau Adek sakit seperti ini."

Presdir sangat perhatian, jauh dari perkiraan. Apakah dia sudah menganggap aku manusia bukan boneka kesayangan seperti yang dokter Valerie katakan waktu itu? Ntah kenapa sekarang aku menjadi berharap.

Oh, ya Allah wajah tampan itu cemberut dan terlihat sedih. Kasihan sekali wajah mewah Presdir bermuram durja. Perlahan aku duduk. Menahan pusing di kepala.

Presdir duduk di kursi roda, mengambil sup yang dibawa pelayan. Menggunakan tangan kekar dia menyuapiku. Hari ini dia memakai kemeja putih dengan lengan pendek. Tampannya ... duh, jantungku ingin meledak melebihi kepala yang berdenyut nyeri.

"Enak nggak?" tanyanya sembari tersenyum senang melihatku makan.

Debaran apa ini? Perhatiannya membuat pertahananku yang menilai dia sebagai mahluk kejam runtuh seketika. Senyumnya manis dan sikapnya hangat. Apakah dia benar Presdir yang memiliki tatapan tajam waktu itu? Kenapa sekarang yang terlihat di matanya adalah kasih sayang?

"Enak."

Aku mengangguk. Dia terus menyuapiku sembari tersenyum puas. Perhatian yang belum pernah kurasakan sebelumnya, termasuk dari keluarga kandungku sendiri. Sekarang malah diberikan pertama kali oleh pria yang kuanggap jahat.

"Sekarang waktunya minum obat," ucapnya setelah aku menghabiskan sup jagung.

Dia mengusap rambutku dengan lembut, bolehkah aku terlena seperti ini atas perhatiannya? Rasanya tidak bisa menahan perasaan yang mengalir begitu saja.

Perlahan aku meraih pipinya dengan kedua tangan, mata kami bertatapan. "Terima kasih."

Rambutku diusap lagi, "sekarang Adek tidur lagi ya, nanti dokter akan ke sini jadi kita tidak perlu ke rumah sakit untuk melepas gips."

Setiap kali dia berbicara lembut dan memberikan perhatian rasanya dia bukan orang yang kutemui ketika di kantor penerbit. Perlahan aku menganggapnya orang lain, suamiku, orang yang selalu bersikap lembut dan penuh kasih untukku, hingga membuat perasaan ini luluh lantah.

Aku tak menyangka akan memiliki perasaan ini. Awalnya biasa saja, tidak menganggap bahwa yang kujalani ini adalah pernikahan sungguhan. Tetapi semua berubah ketika merasakan kehangatan dan perhatian dari Presdir yang setiap hari ditunjukkan.

Jika hanya tampan aku masih bisa menolak rasa yang hadir, karena orang yang memintaku menjadi pacar juga tak kalah tampannya walau kuakui Presdirlah yang paling tampan. Tetapi setiap kali berada di sisinya aku merasa tenang dan dicintai. Perasaan yang belum pernah ada sebelumnya.

Sekuat apapun menolak, perasaan ini terus mengalir tak terbendung. Membuatku seakan jatuh kedalam senyum manis Presdir setiap kali membuka mata ketika bangun tidur.

Waktu berjalan begitu saja, dua hari setelah sakit aku menjadi lebih terbuka dan senang berada di sisi presdir. Bahagia ketika makan bersamanya, bercanda dan bercerita banyak hal. Dia seperti suami sempurna untukku.

Setelah gips dilepas, presdir bisa berjalan walau memakai tongkat.

Masih sama, menungguku di depan kelas bersama pengawal. Tak lagi canggung. Aku menikmati setiap kalimat pedasnya tentang makanan rakyat miskin. Toh, pada akhirnya dia ikut makan.

"Hari ini kamu masih tidak bisa ikut kumpul ya, Rim?" rajuk Vio.

Sementara Ji Ho membuka proposal. Mengecek proposal untuk acara anak yatim yang akan dilaksanakan akhir bulan ini.

"Mas Ravin belum sehat sepenuhnya, jika dia sudah sehat dan kembali bekerja mungkin aku bisa ikut."

"Kalian tidak usah meminta Dek Rimay ikut ke tempat kumuh lagi," ucap Presdir.

"Tuh Vi, suaminya aja menentang. Udah lah nggak papa. Kita juga banyak anggota yang bantu." Ji Ho memasukkan proposal itu ke dalam tas punggunggunya.

Vio mengembuskan napas berat, biasanya kemana mana selalu bersamaku. Kita naik motornya setiap kali ada kegiatan. Motorku sering rusak maka dari itu langganan kami adalah motor metik merahnya. Tetapi setelah ada Presdir semua berubah. Pasti dia merasa kehilangan diriku.

"Kalau nggak ada Rimay tuh nggak ada yang bisa diajak patungan bensin. Uang jajanku jadi berkurang banyak," keluh Vio.

Oh ya ampun bensin, ternyata di mata Vio bensin lebih berharga dari pada kehadiranku. Dia bukan kehilangan diriku tetapi kehilangan uang bensinnya. Apa yang kuharapkan dari teman yang suka hobi nyablak ini?

"Yaelah Vi. Kan bisa boncengan sama Ji Ho. Biar bisa ngirit uang bensin," saranku.

Empat mangkok bakso habis seperti biasa. Hari ini cuma dua mata kuliah yang harus kuhadiri. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga sore. Aku ingin berjalan-jalan dengan presdir.

Kulirik presdir, ternyata dia sedang memandangku. Mata kami bertatapan sesaat sebelum aku berpaling. Jantungku berdebar.

"Bukan mahrom, Rim. Dosa." Vio mengibaskan tangannya ke udara.

"Yaudah jadi mahrom aja," ucap Ji Ho enteng.

Mataku terbelalak. Apa yang baru saja kudengar? Ji Ho mengajak Vio menjadi mahrom? Kulihat Ji Ho yang dengan santainya memainkan ponsel.

"Dih, palingan biar aku yang disuruh bayar bensin terus 'kan. Teman macam apa kamu, Ji Ho?"

"Kok tahu sih? Hahaha ...." Tawa Ji Ho.

Seketika Vio memukuli lengannya. Ternyata mereka hanya bercanda. Sempat aku berpikir bahwa Ji Ho mungkin menyukai Vio. Mengingat Ji Ho tak pernah berpacaran seumur hidup sekalipun banyak gadis yang menyukai dia sejak SMP.

Tetapi jika mereka akhirnya pacaran itu juga bagus, dua sahabat baikku menikah. Aku hanya perlu mengamplop satu kali. Lumayan irit.

Tunggu apa yang kupikirkan tadi? Aku merestui mereka? Apa sebenarnya rasa untuk Ji Ho selama ini bukan rasa cinta?

"Dek, kuliahmu sudah selesai, 'kan?" tanya Presdir membuyarkan lamunanku.

"Iya, udah. Ayo kita pergi sekarang."

Aku beranjak, membantu presdir untuk berdiri. Kemudian menggandeng tangannya. "Kami duluan ya."

"Hati-hati," ucap mereka bersamaan.

Kami berjalan menuju parkiran. Mobil sudah menunggu. Cuaca yang panas membuatku ingin makan es cendol.

"Pak, ntar mampir beli es cendol depan kampus ya?" pintaku setelah kami naik ke dalam mobil.

"Jangan, Dek. Makanan orang miskin nggak higienis." Cegahnya.

Aku sudah terbiasa dengan larangan ini dan itu, tetapi sekarang aku tahu cara mengatasinya.

"Yah ... padahal Adek pingin banget loh minum es cendol bareng Mas Ravin. Apalagi es cendol dawet ayu. Pasti enak banget kalau makan bareng Mas Ravin."

Presdir diam sesaat, "kalau begitu Mas akan belikan kamu semua es cendol dawet ayu yang ada di Jakarta."

"Ehhh ...."

Sultan keluar.
.
.
.

Bersambung

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang