8. Kakak Adik?

67.2K 8.9K 275
                                    

Bagi Okis, Ravin adalah Ayah, Ibu sekaligus kakak. Keluarga satu-satunya yang dia miliki. Masih jelas di ingatan ketika ia masih berumur lima tahun. Waktu itu Okis tidak mampu menjadi murid terbaik di kelulusan TK yang membawakan puisi. Sang Papa marah besar hingga memukulinya.

Ravin maju, membela hingga bersujud di kaki Papa yang keangkuhannya tiada tara. Di mata pria itu, semua harus sempurna. Termasuk anak-anak yang dia besarkan tanpa seorang istri.

"Kakak ... maaf," ucap Okis sembari menangis. Mendekat ke Ravin yang ketika itu berumur 15 tahun.

Masih di tempat tidur karena badannya babak belur, tangan penuh luka itu mengusap rambut Okis.

"Kakak tidak apa-apa, kamu jangan menangis. Jika Papa tahu, beliau akan memukul lagi." Masih berusaha tersenyum di antara lebamnya pipi.

Ingatan itu terus terngiang, kakaknya tumbuh di antara didikan keras sang Papa untuk menjadi penerus Finansial Group. Menjadi pelindungnya serta mengambil semua beban untuk ditanggung sendiri. Di mata orang lain, Ravin adalah mahluk jahat. Tetapi bagi Okis, Ravin adalah sosok superman yang sesungguhnya.

Padahal selama ini kakaknya tidak mampu didekati para gadis cantik, pria itu terlalu cuek dan kasar. Tak ada wanita yang bisa menjangkaunya sekalipun sudah mengemis cinta. Tetapi kini, gadis matre memanfaatkan keadaan sang kakak. Sudah jelas Okis harus segera mengusir gadis itu pergi atau akan menjadi bahaya suatu hari nanti.

Berjalan cepat, membuka pintu kaca kemudian berdiri di depan Rimay dan Ravin. Okis memandang kakak iparnya dengan tatapan nyalang.

Bukannya takut, gadis berhijab di hadapan Okis malah tersenyum hangat.

"Kamu pasti Okisena. Namaku Rimay Ghinovia Agatha, panggil aja Mbak Rimay." Mengulurkan tangan dengan wajah tersenyum lebar.

Ditangkis Okis dengan kasar, tatapan nyalang masih sama. Bahkan kini semakin tajam. "Nggak usah basa-basi, keluar lo dari rumah gue."

"Hey! Apa yang kamu katakan kepada malaikat saya? Berani sekali kamu!"

Masih di kursi roda, Ravin tak terima dengan tindakan Okis yang kasar. Kakaknya itu sedang tidak normal, Okis tidak memperdulikan pendapatnya. Hal yang paling penting sekarang adalah membuat gadis di hadapannya mau pergi dari rumah ini. Jika perlu, Okis akan menyeretnya.

"Oke siap, aku akan keluar dengan senang hati."

Rimay bergegas berdiri, merapikan hijab kuning bermotif bunga. Mengambil tasnya yang terletak di meja. Wajah terkejut tampak dari Okis. Semudah itukah wanita matre ini menyerah? Batinnya. Masih bingung kenapa gadis itu tak ada perlawanan sama sekali.

"Aku pergi dulu ya, Mas Ravin. Wassalamualaikum."

Bergegas membuka pintu kaca yang menuju ruang tengah. Rimay melesat pergi.

"Tidak! Malaikatku! Jangan pergi! Dek Rimay kembali!"

Jatuh dari kursi roda, Ravin merangkak menyusul Rimay. Okis yang masih terpaku di tempat segara sadar kakaknya tidak bisa hidup tanpa gadis itu.

"Kakak bangun!" Mencoba membantu Ravin kembali ke kursi roda.

"Tuan ...." Pak sabihis dan beberapa pelayan berlari ke arah Ravin yang jatuh.

Mereka semua dihempas Ravin, masih berusaha mengejar Rimay tak memperdulikan orang-orang yang mengkhawatirkan dirinya.

"Cepat cegah Malaikat pergi!" teriak Ravin begitu keras. Wajahnya sangat panik hingga tak peduli dengan kakinya yang mengeluarkan darah lagi.

Tak tahan melihat itu, Okis segera berlari menyusul Rimay. Jika diperlukan maka dia akan menyeret gadis itu supaya mau kembali. Dia begitu bodoh, tak tahu bahwa kakaknya sangat membutuhkan Rimay yang Okis anggap matre itu. Lebih tepatnya dia dia tahu mantra apa sampai kakaknya terjerat seperti ini.

Melewati ruang tengah yang luas, Okis menabrak pelayan hingga hampir terjatuh. Tak peduli, dia bergegas mengejar Rimay yang hampir melewati gerbang.

"Tunggu!" Napas pemuda itu tersengal-sengal.

Rimay berhenti, ia berbalik sebelum sampai gerbang. Mata mereka bertemu. "Ada apa lagi? Aku bersumpah tidak mengambil apapun dari rumahmu. Kamu bisa memeriksanya."

"Bukan itu, tapi ... jangan tinggalkan kakak gue. Untuk saat ini, tolong tetap berada di sisinya. Lagi pula lo udah ngambil 700 juta, 'kan?"

Menarik tangan gadis itu untuk masuk kembali tanpa menunggu jawaban, Rimay tampak kesakitan akibat cengramam yang begitu kuat. Okis sangat tinggi, hampir sejajar dengan Ravin. Dia juga tak ada niat melawan, hanya pasrah diseret seperti ini.

"Malaikat ...." Ravin histeris melihat Rimay kembali.

Mendorong Rimay segera mendekat ke Ravin hingga hampir terjungkal. Gadis berusia 20 tahun itu masih sabar menghadapi perlakuan kasar sang adik ipar. Memasang senyum terpaksa dan mendekat ke Ravin. Pria itu segara memeluk Rimay, tenggelam di antara dada Rimay dengan manja.

"Jangan pergi lagi, saya bisa mati tanpa kamu," ucap Ravin dengan nada memelas.

Sekujur tubuh Okis merinding mendengar kalimat itu, para pelayan dan pengawal bahkan bergidik ngeri. Ravin yang kasarnya setengah mati, tak segan membunuh orang dan menghancurkan perusahaan orang lain kini tunduk tak berdaya di depan seorang gadis.

Ada apa dengan kakak? Batin Okis, bahkan amnesia tidak mungkin menjadi gila dan kepribadian berubah seperti ini.

"Adek nggak akan ninggalin Mas Ravin." Mengusap rambut tebal pria itu, semakin manja dan mengeratkan pelukan di pinggang. Ravin terlihat sangat nyaman.

Bukan hanya Okis dan orang-orang yang ada di sekitar mereka, bahkan Rimay sendiri jauh lebih merinding dan takut kepada Ravin. Terlihat jelas dari wajah gadis itu bahwa dia sedang menahan tubuhnya yang gemetar ketakutan.

Okis memalingkan wajah, melihat ke pantulan air di kolam renang. Tak tahu bahwa keadaan serumit ini. Dia bersumpah, jika Rimay menyakiti kakaknya dia akan menghancurkan gadis itu sampai menjadi abu. Berbalik, melihat ke Ravin yang masih memeluk istrinya.

"Kak, apa lo inget gue?"

Pria itu melihat ke Okis, keningnya berkerut, "siapa?"

"Gue adek lo."

Memandang ke Rimay, Ravin tampak tak percaya dengan ucapan Okis. "Dek, Mas nggak punya adik yang jelek seperti upil ini, 'kan?"

Rimay diam sesaat, "dia bener adeknya Mas Ravin."

Memandang ke Okis yang terharu dipanggil upil. Baru kali ini dia bahagia dipanggil upil oleh kakaknya. Percaya bahwa ingatan sang kakak tidak sepenuhnya hilang. Dia masih kakak yang sama yang selalu memanggil orang yang tidak disukai dengan kata 'upil'.

"Kakak ...." Okis memeluk Ravin. Ia terharu sekaligus bahagia.

Sebelumnya, hubungan mereka saling peduli di belakang. Ravin hanya menunjukkan kasih sayangnya lewat marah-marah sementara Okis terkadang membangkang untuk mencari perhatian. Kini, mereka berpelukan. Tampak di raut wajah para pelayan, ada apa dengan kakak adik ini?

"Jangan peluk saya upil jelek!" Ravin mendorong Okis menjauh. Kemudian bergegas memeluk Rimay lagi.

Mengambil tas sekolahnya, Okis merasa malu sendiri jika mengingat pelukan dengan sang kakak yang spontan itu. Jika kakaknya sudah sadar dari kegilaan ini pasti dia akan diejek sampai mati.

Sebelum beranjak pergi, Okis memperingatkan Rimay, "kalo lo berani macem-macem di rumah ini. Gue pastiin hidup lo bakal ancur."

Meninggalkan pasangan suami istri yang masih berpelukan. Okis berjalan menuju lantai tiga, tampat kamarnya berada.

Bersambung.

Jangan lupa pencet bintang dan follow penulisnya ya, biar penulisnya semangat nulis.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang