Langit mendung dengan awan hitam menggumpal, air menggenangi sebagian halaman kampus. Banyak orang berlalu-lalang menggunakan payung.
Aku dan Presdir keluar dari mobil dengan dipayungi oleh pengawal. Pria kejam ini mengantarkanku tepat di depan kelas setelah mengambil satu payung dari pengawal dan memayungiku, seperti biasa banyak bisikan yang terdengar. Kami menuju kelas dalam diam.
Ada yang mengganjal di hati, perasaan sakit yang tidak kuketahui asalnya. Ponsel dengan akun instagram yang baru diberikan Presdir kugenggam kuat-kuat.
"Jika aku memohon untuk tidak bunuh wanita itu. Apakah Presdir akan mengabulkan?"
Pertanyaan itu lolos begitu saja, perasaan ingin menolong walau mempertaruhkan nyawa masih bersemanyam di hatiku dengan kuat. Aku berhenti, menoleh ke Presdir yang langkahnya ikut terhenti.
Mengingat bahwa pria yang kucintai ini adalah orang jahat membuat hatiku sangat sakit. Kami seperti berjalan di dunia yang berbeda, setiap hari sekuat tenaga aku menyelamatkan orang dan berusaha mengubah dunia menjadi lebih baik.
Tetapi Presdir berbeda, nyawa dan dunia digenggamnya dengan begitu mudah, beberapa kata darinya bisa membuat orang lain kehilangan nyawa dan hidup mereka.
Masih di bawah payung yang sama mata kami bertatapan. Air mataku menetes begitu saja tanpa aba-aba. Perasaan tidak berdaya, antara rasa cinta dan juga panggilan jiwa.
"Aku tak melukaimu, tapi kenapa kamu menangis?" tanyanya heran.
Payung hitam yang dipegang Presdir mempu mencegah air hujan mengenai tubuh kami, tetapi tidak dengan air mataku yang terus mengalir deras.
"Hatiku sakit melihat Presdir berbuat salah, aku merasa semakin jauh dan terlalu jauh dengan duniamu."
Perkataan itu jujur dari lubuk hati, perasaan mengganjal bahwa aku dan Presdir tidak bisa berada di jalan yang sama.
Aku menghapus ingus yang mengalir mengikuti air mata. Berusaha menatap Presdir lagi dengan segala rasa sesak.
"Masuklah, nanti sore aku jemput. Cepat hapus air matamu atau orang-orang akan menganggap aku melukaimu."
Segera kuhapus air mata dengan menggunakan tangan. Tidak mungkin Presdir mempedulikanku sekalipun air mata darah keluar. Bodoh! Pria ini hanya mengganggapku alat untuk memperbaiki pamornya, tak lebih.
Payung dari Presdir digantikan Petra, pria itu pergi tanpa kata. Jika bercerai dan tak ada rasa cinta. Mungkin aku bisa melawan Presdir seperti dulu, mati pun tidak masalah asal aku bisa menegakkan keadilan.
Tetapi sekarang berbeda. Perasaan peduli dan sayang ada di sini. Bersemanyam dengan indah tak terusik sekalipun melihat dia berbuat salah.
"Saya antar ke kelas, Nyonya." Petra membawakan tas punggungku.
Aku melangkah meninggalkan halaman setelah mobil Presdir tak terlihat lagi. Hari ini nyawa seseorang melayang tetapi aku tidak berdaya melawan.
"Rimay!" Vio berlari ke arahku sembari membawa makalah berwarna biru.
"Pagi, Vi." Sapaku. Mencoba tersenyum.
Kami berjalan berdampingan menuju kelas. Vio memberikan makalah tugas kelompok. Hari ini kami presentasi, aku tak fokus dan malah membuat kelompokku kacau ketika kami berada di depan kelas.
Bersyukur Vio cerdas dan mampu menutupi kesalahanku dalam menjawab pertanyaan dari dosen. Membuatku selamat dari nilai D.
"Hari ini kamu kenapa?" tanya Vio ketika dosen sudah meninggalkan kelas.
Apa yang bisa kukatakan? Tidak mungkin aku bilang bahwa mencintai Presdir sekalipun melihat dia membunuh orang, atau tentang perjanjianku dengan Presdir?
Aku menempelkan pipiku ke meja setelah menyibakkan jilbab ke samping, teman-teman yang lain sudah meninggalkan kelas tetapi aku masih enggan untuk beranjak.
"Walaupun aku bukan Mbak solusi seperti kamu, tapi aku sahabatmu yang bisa mengurangi beban." Desak Vio lagi.
Ia juga masih duduk di bangkunya, menatapku penuh rasa khawatir. Gadis berhijab biru, hari ini pun Vio terlihat cantik.
Aku mengeluarkan ponsel, kemudian membuka akun instagram yang diberikan Presdir tadi pagi. Menunjukkannya kepada Vio.
"Aku pingin nambah followers, tapi nggak tau caranya. Apa aku harus beli?"
Vio mengambil ponselku, screenshoot dan mengirimnya ke chat WA.
"Cuma kayak gini gampang, tenang aja. Ntar malem followersmu udah banyak. Eh tapi tumben kamu mau gunain sosmed."
Bagaimana menjelaskannya? Ah, aku sudah terlalu banyak berbohong.
"Iya, lagi pingin. Bantu ya Vi."
"Siap. Oh ya, hari ini kamu bisa ikut ke rumah berbagi nggak? Kayaknya kita harus pindah, soalnya besok digusur."
"Loh, kenapa digusur bukannya itu tanah resmi ya, jauh dari sungai juga jadi nggak mungkin digusur pemerintah."
Aku duduk tegak, menatap Vio penuh pertanyaan. Bagaimana semua bisa terjadi?
"Aku jelaskan nanti, udah ditunggu Ji Ho dari tadi. Kamu mau ikut atau nggak?"
Vio berdiri sembari memakai tas punggungnya, sedikit merapikan hijabnya yang kusut sembari menatapku meminta jawaban.
Ada kelas lagi nanti jam dua, sepertinya tak masalah jika aku pergi tanpa memberitahu Presdir. Toh ini juga kegiatan yang menunjang pembelajaranku.
"Aku ikut, naik motormu ya," ucapku sembari berdiri.
"Trus gimana sama pengawalmu?"
"Biar mereka naik mobil, udah lama nggak naik motor aku kangen bau kenalpot dan debu jalan."
Vio memicingkan matanya setelah mendengar ucapanku, membuat senyum ini hadir kembali. Ah, sejak kapan duniaku hanya ada Presdir sementara masih banyak hal yang kumiliki.
"Iya deh, hormat hamba, Nyonya." Vio menanggapi candaanku.
Kami berjalan keluar dari kelas, langsung bertemu Hendri dan Petra. Debat ini itu sampai akhirnya mereka mau menurut padaku.
Vio memberikan helm pink bergambar hello kitty, ingatanku kembali ke tragedi itu. Ketika menolong Presdir. Memakai helm hello kitty ini dan dibonceng Vio.
"Pagangan, Rim." Vio mengegas motornya keluar dari area kampus.
Hujan telah reda, menyisakan aroma air hujan yang kuat. Gumpalan awan masih berada di atas kami. Tetapi enggan untuk jatuh ke bumi seperti tadi pagi.
Aku memegang pinggang Vio, kini aku bisa merasakan angin yang berembus menerpa kulit. Kami melewati Bundaran HI. Monas terlihat kokoh di tempatnya.
Ji Ho memutuskan berangkat duluan setelah kelasnya selesai, ada hal yang mendesak katanya. Aku harap tak terjadi masalah yang serius.
Tapi tak kusangka setibanya di sana langsung disambut debat luar biasa antara pekerja kontruksi dan warga. Tak terkecuali Ji Ho dan beberapa teman anggota rumah berbagi.
"Itu yang kumaksud, tanah di area sini dijual paksa. Pelakunya pihak PT Adi Bakti, mereka mau buat mall di sini."
Vio membuka helmnya, diikuti olehku.
"Katamu penggusurannya besok, tapi kenapa udah ada sapator di sana?" tanyaku sembari menunjuk alat berat yang sudah menghancurkan satu rumah.
"PT Adi Bakti itu curang, kayaknya mereka ngajuin tanggal penggusuran."
Dasar, mereka berbuat seenaknya mentang-mentang orang kaya. Aku berjalan ke arah mereka. Orang-orang itu masih berdebat sampai terdengar kalimat kasar.
Saling dorong pun terjadi bahkan sebelum kalimat dari bibirku keluar, kali ini mereka saling melempar batu.
"Stop! Stop dulu!" Aku berteriak tetapi tak ada yang peduli. Mereka sedang asik baku hantam.
.
.
.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Presdir? END
Romansa(FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Bukan karena cinta, perjodohan, ataupun janin yang butuh status. Tapi Kenapa aku bisa menikah dengan dia? Pagi itu ketika aku membuka mata, aku terkejut melihat seorang pria tampan sedang tertidur pulas di sampingku. Bul...