11. Perasaan apa ini?

61.4K 7.4K 173
                                    

Aku mendorong kursi roda yang diduduki Predir memasuki klinik milik dokter Valerie untuk kedua kalinya. Tampak sepi dan hanya ada beberapa suster menyambut kami. Memang jika kami datang klinik sengaja dikosongkan. Hal itu untuk menjaga kerahasiaan tentang kondisi Presdir. Bagi orang biasa sepertiku yang harus antri karena memakai BPJS terlalu rumit masuk ke dalam keribetan para kaum elit seperti ini.

Walau tak terlalu mengerti tetapi tetap kuturuti. Aku mendorong kursi roda itu menuju meja pendaftaran, mengisi formulir sebagai wali dari Presdir.

"Selamat siang Dokter," sapaku ketika memasuki ruangan dokter Valerie.

Dia memakai baju kasual dengan jas putih, meletakkan kacamatanya ketika kami datang. Kemudian langsung memandang Presdir dengan senyum lebar.

"Siang Ravin. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyanya dengan senyum cerah.

Yang menyapa dia adalah aku tetapi yang disapa balik malah Presdir. Dokter Valerie benar-benar mengabaikanku sepenuhnya. Seperti inikah yang dinamakan terkacangkan?

"Bukan urusanmu." Presdir membuang muka.

"Kamu tetap tampan seperti biasa ya," kata dokter Valerie lagi. Kali ini dia memegang tangan presdir.

Hallo ... Aku ada di sini, tetapi sepertinya dokter Valerie tidak melihatku yang sebesar sama sekali.

Aku merasa tidak nyaman dengan tingkahnya. Setidaknya hargailah aku sedikit saja sebagai istri Presdir. Bagaimana bisa dokter valerie mendekati Presdir secara terang-terangan seperti itu?

Tanpa memandang bahwa ada aku, baiklah kuakui kami menikah karena hal yang tidak disengaja. Tetapi statusku jelas di sini sebagai istri dan wali Presdir.

"Bisa kita mulai saja terapinya? Aku tidak suka berlama-lama di sini bersamamu." Presdir nembalas tatapan dokter Valerie dengan benci.

"Tentu."

Dokter Valerie berjalan menuju kursi, menyuruh presdir untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan.

Ruangan yang cukup lebar bercat putih, memiliki kursi utama milik Dokter valerie, kursi pasien dan juga kursi yang bisa digunakan wali. Ruangan ini menggunakan AC, memiliki jendala kaca transparan yang tembus pandang. Ada horden abu-abu terpasang untuk menutupi sinar matahari masuk.

"Kau ... Siapa namamu?" tanya Dokter Valerie sembari menunjukku.

"Aku?"

"Iya, kamu."

"Rimay dokter, istri presdir Ravinio." Aku menekankan kata istri. Mungkin saja dia lupa.

Setelah mendengar jawabanku dokter Valerie berjalan mengambil kacamatanya lagi dan memakainya, kemudian mengikat rambutnya yang panjang bergelombang.

"Oh iya, Rimay. Maaf saya lupa." Dokter Valerie kembali duduk. "Kau bisa menunggu di luar."

"Kenapa Dek Rimay harus menunggu di luar?" tanya Ravin sembari bangkit dari posisi setengah duduk.

"Karena dia hanya akan mengganggu," jawabnya santai.

"Berani sekali kau mengusir  malaikat. Kau mau mati?"

Mendengar kemarahan Presdir yang meledak ledak, dokter Valerie menghampiriku. "Kita bicara sebentar di luar." Bisiknya.

Berjalan mengabaikan ucapan Presdir, dia memang memiliki kharisma yang kuat. Aku bahkan sampai terpesona dengan dokter Valerie.

"Aku mau keluar sebentar. Mas Ravin silakan berbaring dulu."

"Kalau ada apa-apa bilanglah padaku. Akan kubunuh siapapun yang menyakitimu."

Senyumku mengembang. Ucapannya memang kasar tetapi itu menunjukkan betapa dia peduli. Presdir Ravinio, suamiku. Bolehkah aku merasa senang dengan perhatiannya?

"Tentu saja. Aku percaya Mas Ravin akan melindungiku," ucapku sembari tersenyum lebar.

Kemudian mengikuti dokter Valerie keluar dari ruangan. Sejak pertama kali berjumpa dengan dokter Valerie aku merasa kagum dengan pesonanya. Dia terlihat sangat cerdas dan berkharisma. Ketika mata kami bertatapan rasanya langsung gugup.

Kami berjalan ke lorong arah ke kamar mandi. Sepi, tak ada siapapun. Aku menunggu dia berbicara lebih dulu.

"Rimay, saya mengatakan ini bukan karena membenci kamu. Tetapi sudah sepantasnya kamu tahu. Saya bukan hanya dokter atau pun sebatas teman Ravin. Tetapi saya juga orang yang akan dijodohkan dengan Ravin. Jika tetap pada rencana awal maka tahun depan kami menikah.

"Saya memberi peringatan sebagai sesama wanita jangan mencintai Ravin atau hatimu akan terluka. Ravin bersikap seperti itu karena kondisi mentalnya yang tidak stabil ditambah hilang ingtan.

"Saya akan jelaskan secara sederhana,  Ravin kehilangan ingatanya ketika diculik setelah itu dia kecelakaan, di saat tidak ada siapapun yang dia ingat kamu datang menolong dan membuat dia tenang. Seperti anak kecil yang mempercayai bahwa tidak bisa tidur jika tidak memeluk boneka kesayangan. Seperti itulah Ravin saat ini.

"Sebagai orang yang menjaga dia, saya harap kamu mengerti dan mencoba menjauhinya sebisa mungkin. Biarkan dia berfikir bahwa tidak ada kamu pun dia bisa baik-baik saja. Kamu mengerti maksud saya, 'kan?"

Aku mengangguk. Dia menjelaskan secara sederhana dan otak lemotku pun mengerti. Setelah ingatannya pulih maka Presdir tidak membutuhkanku lagi. Secara garis besar seperti itu. Ditambah dokter Valerie akan cemburu jika aku terlalu dekat dengan Presdir.

"Oh ya, kamu masih kuliah, 'kan?"

"Iya."

"Masa depanmu masih jauh, setelah Ravin sembuh dan bercerai kamu bisa mendapatkan pria yang setara. Pernikahan yang tidak setara hanya akan menimbulkan masalah. Saya harap kamu paham."

Perlahan aku mengangguk lagi. Walau ingin membatah tetapi tekanan yang dokter Valerie berikan mampu membuatku tak bisa mengatakan apapun. Seperti anak kecil yang hanya bisa menurut.

"Nanti saya ingin makan siang berdua dengan Ravin, tidak masalah, 'kan? Atau kamu mau ikut?"

Benar-benar rasanya sesak. Aku tidak bisa membatah sedikitpun atau berkata tidak. Dia adalah orang yang akan dijodohkan dan menikah dengan presdir. Aku tidak memiliki kuasa untuk menolak sekalipun berstatus istri.

Ayo, tenangkan diri. Jangan biarkan perasaan menjadi seorang istri yang tidak rela tertanam di hati.

"Tidak perlu, kalian silakan makan siang bersama. Lagi pula saya akan ke sekolah Okis."

"Baiklah, bicaralah kepada Ravin dulu sebelum pergi supaya dia tidak marah-marah lagi."

"Baiklah," jawabku sembari berjalan meninggalkan dokter Valerie menuju Presdir yang menungguku.

Walau sulit akhirnya aku bisa menjelaskan dan membuat Presdir mengerti bahwa aku harus mengurus Okis.

Selama perjalanan menuju sekolah, dadaku rasanya sesak akibat perkataan dokter Valerie yang terus terngiang. Walau aku tidak memiliki perasaan cinta kepada Presdir tetapi membiarkan suamiku makan siang bersama gadis lain terasa tidak nyaman. Oke, aku paham kalau mereka akan dijodohkan dan menikah. Tetapi sekarang mereka tidak memiliki hubungan apapun dan statusku masih seorang istri.

Astagfirullah, perasaan tidak rela apa ini? Kenapa rasanya sungguh tidak nyaman. Beristigfar terus menerus, dan sampailah aku ke depan sekolah Okis.

Gerbang sekolah yang menjulang tinggi, halaman sekolah yang luas, fasilitas yang lengkap. Bagaimana bisa kebetulan seperti ini? Okis bersekolah di SMA ku dulu. SMA Bakti Pekerti. Sekolah swasta dengan standar tinggi.

Mobil mulai memasuki halaman, masih sama seperti tiga tahun lalu ketika aku lulus. Ji Ho adalah ketua OSIS yang dikagumi, aku anggota palang merah dan Vio anggota paskibra. Masa-masa yang sangat menyenangkan untuk diingat. Tak menyangka waktu berlalu begitu cepat.

Tak perlu bertanya, aku hafal di mana letak ruang BK. Sebelumnya, aku memasuki ruangan ini hanya untuk piket atau sekedar konseling tentang jurusan yang akan kupilih untuk masuk ke perguruan tinggi. Tak menyangka akhirnya aku memasuki ruangan BK karena seorang anak yang berstatus adik ipar.

Bersambung

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang