Dingin dan rasanya tak nyaman tidur di sofa seperti ini. Aku mempererat selimut, sesekali menoleh ke ranjang. Ada Presdir sedang tidur di sana. Aku juga ingin tidur di sana, di samping Presdir seperti sebelumnya. Tapi sekarang aku takut dicekik pas tidur.
Karena tidak tahan akhirnya aku duduk sembari mengembuskan napas berat. Aku merindukan Presdir yang dulu, Presdir yang penuh tatapan kasih sayang untukku. Sepertinya mulai sekarang kenangan tentang kebersamaan bersama Presdir harus dilupakan.
Presdir kembali ke awal, orang yang kejam, dingin dan tidak berperasaan. Tidak ada kelembutan dan manja-manja lagi seperti dulu.
Ah, rasanya sedih. Seharusnya dari awal aku tidak larut dengan perhatian dan cinta yang tak seharusnya ada. Itu semua semu. Ketika kenyataan telah kembali aku sudah semakin tenggelam ke dasar.
Air mataku mengalir tanpa aba-aba. Menangisi kepergian Presdir yang selalu memujaku, sekaligus menangisi kebodohan karena menaruh hati pada Presdir.
Aku kembali berbaring sembari menarik selimut, menghapus air mata dan memejamkan mata. Berusaha tidur kembali dan menggapai mimpi supaya melupakan kenyataan yang menyakitkan.
Pagi itu, setelah solat subuh. Kamar digedor begitu keras. Suara Okis memanggilku berulang-ulang. Aku mengemas mukena sekedarnya lalu mengambil hujab terusan.
Buru-buru membuka pintu sebelum Presdir bangun dan marah. Aku mendapati Okis dengan wajah khawatir dan berdiri dengan napas tersengal-sengal.
"Ada apa, Kis?" tanyaku. Menatap matanya.
"Mbak Rimay nggak papa, 'kan? Apa ada yang luka?"
Okis memutar badanku, mengamati dari ujung kaki sampai ujung kepala seperti mencari sesuatu. Raut wajahnya cemas. Padahal kemarin dia baik-baik saja ketika bilang akan menginap di rumah temannya. Sekarang masih subuh dan dia sudah pulang. Lumayan aneh.
"Mbak baik-baik aja, Kis. Memangnya kenapa?"
Aku menatap bola mata beningnya, mencari penjelasan kenapa dia terlihat sangat panik seperti ini. Dia mengkhawatirkanku.
"Katanya ingatan Kak Ravin sudah kembali?" tanya Okis. Sepertinya sejak tadi dia penasaran dengan keadaan kakaknya.
Okis menyeka keringat yang mengalir, kaos polos berwarna coklat dengan jaket kulit abu-abu yang dia kenakan terbalik. Terlihat jelas kalau ia datang dengan terburu-buru.
"Iya, ingatan kakakmu memang sudah kembali." Aku menjawab santai.
"Kenapa pagi-pagi sudah ribut?" pertanyaan keluar dari orang di belakangku.
Presdir berjalan ke arah kami dengan melipat tangan di dada. Tatapannya tajam menunjukkan bahwa dia terusik karena keributan pagi ini yang disebabkan adiknya sendiri.
Bukannya fokus ke permasalahan Okis, aku malah gagal fokus karena penampilan Presdir ketika bangun tidur.
Presdir terlihat sangat tampan, halalnya itu loh yang buat hatiku tidak tahan untuk memandang.
Okis menarik tanganku, dia melangkah ke depan dan membuat aku berada di belakangnya. Badannya tinggi dan besar untuk diriku yang mungil ini. Tidak aku bukan mungil, hanya saja tinggi mereka yang keterlaluan.
"Gue harap kakak ngelepasin Mbak Rimay, kalau kakak berani nyakitin Mbak Rimay siap-siap dapet balasan dari gue."
Presdir masih melipat tangan di dada dengan santai, padahal wajah Okis merah padam menatapnya penuh dengan intimindasi.
Perlahan Presdir menarik tanganku hingga jatuh ke dadanya, aku mendongak ke atas. Melihat wajah tampan Presdir yang masih menatap Okis.
"Dia istri Kakak, kamu tidak berhak ikut campur."
Mata mereka bertatapan penuh emosi, aku ingin ikut campur tapi takut. Hubungan mereka ternyata menegangkan seperti ini. Padahal aku kira Okis sangat menyayangi kakaknya.
Okis menarik tangan kiriku, sekarang dua orang manusia tampan dengan tinggi di atas rata-rata ini sama-sama menarik tanganku.
"Mbak Rimay juga kakak gue." Okis mengucapkannya dengan penuh penekanan.
Presdir kembali menarikku mendekat padanya, kali lebih keras dari sebelumnya. Lama-lama tanganku sakit.
"Hanya kakak ipar," balas Presdir.
Mereka saling menarik terus menerus, membuat tanganku semakin sakit.
"Apa kalian bisa berhenti? Tanganku sakit."
Aku menatap mereka bergantian, matahari sudah muncul dan perutku mulai lapar. Tetapi dua orang ini masih meributkan hal yang menurutku tidak penting. Oke, aku terharu Okis membelaku. Tak menyangka bahwa bocah nakal yang pernah membuat kepalaku pusing berani membelaku di hadapan Presdir bahkan sampai menentangnya.
Mereka membalas tatapanku dan sama-sama melepas pegangan tangan yang terasa sakit. Saling membuang muka, tak ingin menatap satu sama lain.
"Okis, makasih ya udah belain, Mbak. Tapi Mbak nggak papa kok. Presdir memperlakukan Mbak dengan baik."
Okis membalas tatapanku, wajahnya terlihat curiga. Tetapi kubalas dengan senyuman.
"Kalau ada apa-apa Mbak bisa ngomong ke gue."
Tiba-tiba Presdir merangkulku dari belakang, melingkarkan tangannya ke leher sehingga punggungku jatuh di dadanya. Jantung ini berdetak kencang seakan waktu berhenti berputar.
"Kau dengar sendiri, 'kan Dek Rimay bilang apa? Lebih baik sekarang kamu keluar dari sini."
Presdir mengatakan itu dengan nada mengejek. Okis menatapnya dengan penuh amarah tapi pada akhirnya pergi juga.
Setelah Okis pergi, Presdir melepaskan tangannya dan menutup pintu. Ia menatapku seperti memindai dari ujung kaki sampai kepala. Masih tak mengerti apa yang sebenarnya dia pikirkan.
"Okis anak yang keras, bagaimana bisa dia perhatian padamu?" Pertanyaan dari Presdir akhirnya keluar.
Mata kami masih bertatapan, kemudian aku mundur beberapa langkah karena jarak kami sekarang terlalu dekat. Jantungku tak terkendali jika melihat wajahnya yang tampan.
"Aku juga tidak tahu," jawabku sekedarnya.
Pada dasarnya aku juga tidak tahu kenapa Okis bertindak seperti itu. Akhir-akhir ini kami memang cukup dekat dan sering mengobrol ataupun makan mie bersama.
Presdir berjalan melewatiku, sepertinya dia tidak tertarik membahas masalah ini lebih lanjut. Dia menuju kamar mandi, suara air kran terdengar.
Aku yang sudah mandi mengganti baju, kemudian memasukkan makalah yang aku selesaikan kemarin. Lalu berjalan menuju laptop yang sedang dicas, mengambil laptop dan memasukkan ke dalam tas punggungku.
Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh ketika Presdir keluar dari ruang ganti. Dengan setelan jas berwarna biru dongker dan dasi senada dia terlihat sangat keren.
Aku mengalihkan pandangan ketika mata kami bertetapan. Rasanya gugup. Aku yakin ini bukan perasaan takut tetapi rasa malu ketika memandangnya seperti menggelitik.
"Ayo, Presdir. Sarapan."
Dia berjalan mendekat, "panggil aku seperti biasa. Jangan sampai orang lain curiga tentang perjanjian kita. Kau masih ingin hidup 'kan Dek Rimay?"
Kalimat penuh penekanan itu terasa masuk sampai ke tulang, dia masih saja mengancam membunuhku. Seolah membunuh manusia hal yang mudah.
"Iya, aku mengerti," jawabku.
Kami sama-sama keluar dari kamar menuju meja makan, sudah ada Okis di sana dengan tatapan tajam menatap kami. Sekarang dia sudah memakai seragam sekolah lengkap. Ada tas punggung berwarna hitam di letakkan di kursi sampingnya.
.
.
.Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Presdir? END
Romance(FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Bukan karena cinta, perjodohan, ataupun janin yang butuh status. Tapi Kenapa aku bisa menikah dengan dia? Pagi itu ketika aku membuka mata, aku terkejut melihat seorang pria tampan sedang tertidur pulas di sampingku. Bul...