39. Teh Botol

53.7K 7.3K 871
                                    

Ramaikan dengan komen perparagraf gengs. Makasih
.
.
.

Dia, orang yang beberapa bulan lalu adalah musuhku, membuat aku dikeluarkan dari kampus, penentang terbesar komunitas, tujuan kami pun sangat bertolak belakang. Sifat bagai iblis dan malaikat, tentu di sini aku yang malaikatnya.

Tapi sekarang semua berubah, dia suamiku. Mahluk paling tampan di muka bumi yang halal untuk aku grayah-grayah. Aduh, nikmat sekali.

Otak bobrokku treveling liar setiap kali melihat wajahnya yang mewah. Kaum miskin dan tak punya apapun selain ginjal yang masih utuh sepertiku, tak pernah berani membayangkan bisa menikah dengan Presiden Direktur Finansial Group.

Walaupun dia kejam dan omongannya nyinyir, tapi semua setimpal dengan otot kekarnya yang menggoda. Tak apa, akan aku terima kekurangannya itu. Toh, tak ada manusia yang sempurna. Sungguh baik sekali diriku ini.

"Aku mau mandi dulu, banyak kuman dari orang miskin," ucapnya. Berjalan menuju kamar mandi.

Dari belakang aku mengikuti, pipiku memerah. Mandi bareng Presdir? Indah sekali. Akhirnya mataku mendapatkan vitamin setelah 20 tahun hidup. Nikmat mana yang kau dustakan?

Tiba-tiba Presdir berhenti tepat di depan pintu, membuat keningku menabrak punggungnya hingga terpental beberapa langkah ke belakang. Dia berbalik, memandangku heran.

"Kenapa kau ikut?"

"Loh, bukannya kita mandi bareng?"

"Kau mau ngelakuin pertama kali di kamar mandi? Katanya sakit loh."

Mendengar itu aku mundur, nyaliku ciut seketika. Tidak mau melakukannya di kamar mandi. Kepalaku menggeleng keras, menolak.

"Ganti baju sana, aku sudah pesan makanan dan baju ganti." Presdir mengibaskan tangan sebelum berbalik dan masuk ke dalam kamar mandi.

Suara air terdengar beberapa saat setelah Presdir masuk, aku menempelkan kupingku di pintu. Mencoba menguping. Ingin mandi bareng tapi takut. Aku memukul kepalaku sendiri dengan genggaman tangan, stop berpikir bobrok!

Ranjang king size terlihat begitu empuk, aku menjatuhkan diri di sana. Mata memandang ke langit-langit kamar, ada lampu yang menyala terang. Aku mengulurkan kedua tangan mencoba menghalau sinar lampu.

Jari-jari kosong tak ada cincin pernikahan, hanya ada beberapa gelang kecil imut yang kubeli di pasar malam. Uang mahar sudah menjadi masjid tak mungkin bisa dijadikan cincin. Tak ada foto pre-wedding juga, menikah tapi rasanya ada yang kurang. Sah sih, tapi sedih.

Setidaknya aku ada foto di kondangan yang diadakan Ayah, walaupun hanya sebentar tapi aku merasa bahagia.

Suara pintu diketuk, aku segera bangkit. "Masuk."

Seorang pelayan masuk membawa dua spageti, wine, dan baju ganti. Aku mengambil botol wine itu, ini alkohol. Kupikir Presdir sudah berhenti minum alkohol.

"Bawa ini kembali dan ganti dengan Sprite atau nggak teh botol Sosro."

Pelayan perempuan itu menelengkan kepala, bingung dengan permintaanku. Mungkin inilah pertama kalinya dia mendapat permintaan seperti ini. Kami bertatapan sesaat sebelum akhirnya dia menggangguk.

"Baik, Nyonya." Dia menunduk sembari mengambil wine itu.

Sebelum pergi dia mengacungkan jempol padaku. "Suara Nyonya dan Presdir sungguh bagus. Kalian sangat serasi."

Keningku berkerut, sebelum aku bertanya pelayan itu sudah keluar kamar. Tak mengerti maksudnya, apakah dia hadir di kondangan? Tunggu, aku inget beberapa orang merekam lagu yang kami bawakan tadi.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang