25. Bubur

57K 7.8K 173
                                    

Saat itu Ravin sadar bahwa ada yang berbeda. Senyum yang muncul dari bibir Rimay sungguh membuat hati lega. Pria itu menarik tangan Rimay keluar dari kerumunan masa. Langit yang sedari tadi mendung meneteskan air yang dikandungnya. Membasahi orang-orang tak terkecuali kedua insan itu.

Ravin semakin erat menggenggam, seakan tak mengijinkan gadis itu lepas lagi. Tangan kirinya mencoba menghalau guyuran hujan.

Mereka masuk ke dalam mobil dalam keadaan basah kuyup, Ravin membuka jasnya, menyisakan kemeja putih yang sedikit basah.

Darah di dahi Rimay terus mengalir, gadis itu mencoba menghentikan pendarahan menggunakan tangannya.

"Kita ke rumah sakit sekarang," ucap Ravin kepada supir.

"Tapi Presdir, teman-temanku dan warga bagaimana?"

Mendengar Rimay lebih mengkhawatirkan orang lain dari pada dirinya, membuat Ravin menatap tajam gadis itu. Padahal Rimay bisa kehabisan darah jika tidak segera mendapat pertolongan.

"Kamu ingin aku membunuh mereka semua?"

Rimay terkejut kemudian menggeleng pelan, ia menunduk takut. Ravin mengembuskan napas berat.

Hujan mengiringi kepergian mereka ke rumah sakit, luka di dahi Rimay cukup dalam. Tak terkecuali kedua pengawal Rimay juga masuk rumah sakit karena terluka. Gadis itu terus menerus menanyakan keadaan pengawalnya.

Tiga jahitan di dahi membuat Rimay tak boleh lagi pergi ke tempat berbahaya seperti itu. Tak ada pilihan lain selain menurut, Ravin mengancam akan membunuh orang-orang yang terlibat.

Tetapi itu hanya di mulut, nyatanya Ravin menyelesaikan masalah. Ia membeli proyek mall itu dan mengembalikan tanah yang direbut paksa dengan harga yang normal. Bekerja sama dengan Rumah Berbagi, kini dia mendapatkan reputasi baik seperti yang direncanakan Rico.

"Istirahat, kalau kau tidak sembuh aku akan membunuhmu."

Ancaman yang sering terlontar sampai membuat semua orang hafal.

"Lapar, Presdir. Tanganku lemas untuk makan. Aduh duh duh ... kepalaku sakit."

Para pelayan mengalihkan pandangan melihat kelakuan Rimay, gadis itu seperti tak kenal takut. Sejak saat itu, setiap Ravin berkata pedas kepada Rimay selalu berbanding terbalik dengan perbuatan. Membuat Rimay besar kepala dan semakin berbuat seenaknya. Merasa bahwa Presdir tak akan membunuhnya seperti ancaman.

"Apa tanganmu harus kupotong dulu?"

Mendengar itu bukannya takut Rimay malah tersenyum, Ravin kembali duduk. Tepat di samping tempat tidur di mana Rimay beristirahat.

Para pelayan membawakan bubur sumsum yang diminta Rimay beberapa saat yang lalu. Menaruhnya di atas nakas tepat di samping gadis itu.

"Suapin, Presdir. Aduuh duh duh ...."

Rimay memegang kepalanya yang tak sakit. Ia menatap ke arah Ravin dengan tatapan memelas. Pria itu masih bersikukuh tak menuruti permintaan Rimay dan malah melipat tangannya di depan dada.

"Aku pingin upload foto Presdir lagi nyuapin aku, pasti banyak yang muji Presdir."

Rimay mengambil ponselnya dan memberikan kepada pelayan supaya bersiap memfoto.

"Aa ...." Rimay membuka mulutnya lebar-lebar. Menunggu Ravin menyuapkan makanan di sana.

Sikap angkuh Ravin akhirnya luluh juga, dia mengambil mangkok dan sendok. Menyuapkan kepada Rimay yang sedari tadi membuka mulut.

"Puas?"

"He'em. Enak banget kalau disuapin Presdir."

Rimay tersenyum sangat manis sampai mampu membuat hati Ravin bergetar, senyum kecil muncul di sudut pria itu. Ntah kapan terakhir kali Ravin tersenyum.

Selama beberapa hari Rimay terus bersikap manja, mencari kesempatan untuk lebih dekat dengan Ravin. Pria itu sadar betul, tetapi berbeda dengan para gadis yang mendekatinya dan membuatnya tak nyaman. Kini ia malah suka. Menantikan sikap manja gadis itu setiap saat.

Di dalam ruang kantornya Ravin menscroll bolak balik instagram Rimay yang menampilkan kebersamaan mereka. Selama beberapa hari Rimay selalu mengupload kebaikan Ravin, dari mulai menyelamatkannya dari tawuran, merawatnya ketika sakit. Serta sikap manis lainnya.

"Seharusnya kau bilang kalau suka gadis itu, jadi aku bisa berhati-hati," ucap Rico.

Pemuda itu sudah berada di ruangan Ravin tanpa pemilik ruangan sadari. Ravin menutup iPadnya. Kemudian membalas tatapan Rico.

Pria itu memberikan berkas kepada Ravin yang butuh tanda tangan segera, tetapi kini enggan membahasnya. Ia lebih tertarik kepada perubahan sikap Ravin beberapa hari belakangan.

"Apa menurutmu aku suka dengan gadis itu?"

Mendengar pertanyaan polos dari Ravin membuat mata Rico memicing merendahkan. Ia berjalan untuk duduk di sofa. Awalnya dia marah karena Ravin tiba-tiba memukulnya, bahkan tak ada ucapan maaf dari sahabatnya itu. Tetapi kini Rico sadar, saat itu Ravin hanya terlalu polos soal perasaannya sendiri.

"Aku tanya beberapa hal, apa kau selalu khawatir dengan gadis itu?"

"Iya."

"Apa kau selalu ingin bersamanya?"

"Iya."

"Apa kau merasa senang saat bersamanya?"

"Iya."

"Sudah jelas. Kau menyukai dia."

"Tidak mungkin! Aku hanya memanfaatkan gadis itu untuk memperbaiki popularitas."

"Sekarang popularitasmu sudah baik. Kalau begitu bunuh dia seperti rencana awal."

Ravin terdiam. Rico benar, setelah popularitasnya membaik seperti sekarang tak ada alasan lagi untuk bersama Rimay. Dulu, ia berencana membunuh Rimay yang terlalu tahu banyak hal mengenai dirinya dan Finansial Group. Gadis itu berbahaya jika dilepaskan begitu saja.

Membunuh Rimay? Tidak! Melihat dahinya terluka saja sudah membuat Ravin khawatir setelah mati. Bagaimana bisa Ravin membunuhnya? Mengingat Rimay tidak berada di sampingnya menimbulkan perasaan sesak di dada.

"Kenapa diam? Baru sadar kalau kau sudah jatuh cinta?"

Rico semakin gencar memancing Ravin menyadari perasaannya. Masih belum membalas, Ravin mencoba menata perasaan dan menyakinkan bahwa ini bukan perasaan cinta. Tetapi percuma sekuat apapun dia mencoba Rimay tetap dominan di dalam hati. Sejak kapan dia jatuh sangat dalam dengan gadis itu? Ravin merasa logika yang selalu dia pakai selama ini hilang tak berbekas.

"Apa yang harus kulakukan?"

Ravin yang cerdas mendadak bodoh. Tak tahu harus berbuat apa mengatasi perasaan cinta yang tanpa disadari tumbuh subur di dalam hatinya.

"Kau punya tunangan, Valerie. Tahun depan kau harus menikah dengannya. Jadi kau harus menyingkirkan Rimay sebelum perasaanmu semakin tak terkendali dan membuatmu bertindak bodoh."

Benar, tahun depan dia harus menikah dengan Valerie untuk memperkuat kedudukannya di Finansial Group dan semakin di percayai oleh Pram. Dia harus menyingkirkan Rimay secepatnya. Tapi ... kenapa dadanya terasa sesak?

"Biarkan aku berpikir."

Selly masuk ke dalam ruangan dan memberitahu bahwa Ravin harus segera bertemu investor yang datang dari Rusia. Dengan pikiran kalut pria itu meninggalkan mejanya. Berjalan keluar dari ruangan dan terus berpikir apakah dia bisa menyingkirkan Rimay?

Berapa kali pun dipikirkan semua terasa sulit padahal membunuh orang merupakan sesuatu yang mudah baginya. Hari itu Ravin terus berpikir.

Sampai pulang ke rumah Ravin masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Dia akan mempertimbangkan keputusan terbaik dengan mengedepankan logika bukan hati.

"Di mana Rimay?" tanya Ravin ketika tak mendepati Rimay setelah pulang dari kantor.

"Nyonya Rimay pergi dengan nona Valerie sejak tadi siang."

Valerie? Perasaan Ravin sungguh tak nyaman. Gadis nekat yang selalu mengejarnya sejak di bangku SMP itu kenapa bisa bersama Rimay? Untuk apa? Ravin segara berlari keluar dari rumah menuju mobil untuk mencari keberadaan Rimay dan Valerie.

.
.
.
Bersambung.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang