Ramaikan lewat komen bab terakhir ya gengs 🤧
.
.
.Angin berembus menerpa wajah, cahaya lampu menerangi pantai, deburan ombak menerpa karang dan juga kakiku. Bulan sabit berada di ujung bersama beberapa bintang. Bersinar terang dan tetap cantik setiap kali aku melihatnya.
Setelah bertemu Okis siang tadi, aku mengetahui segalanya. Alasan Presdir mencampakkanku, perjanjian dengan dokter Valerie dan perjuangan mereka melawan Pram.
Okis memohon supaya jangan tinggalkan kakaknya, lebih dari siapapun, kakaknya adalah orang paling terluka dengan keadaan ini.
Aku memejamkan mata, merasakan takdir lucu yang terjadi, saling cinta tapi tidak bisa bersama, rasa sesaknya.
"Kau sudah menunggu lama?"
Pertanyaan itu membuatku menoleh, terlihat Predir mengenakan setelah jas dengan kemeja putih, di malam pernikahan dia malah datang kemari untuk memenuhi panggilanku.
"Okis sudah mengatakan semuanya, kenapa selama ini Mas berbohong?"
Angin menerpa rambutnya hingga ketampanannya terlihat sempurna, wajahnya masih tegas seperti biasa. Selama ini aku begitu merindukan sosoknya. Bisa melihatnya lagi seperti ini sungguh keajaiban.
"Tidak berbohong pun kita akan tetap berpisah."
Benar, bicara jujur pun tidak ada yang bisa kita lakukan. Keadaan tidak bisa berbalik dengan mudah, terkadang memang ada saatnya merasa tidak berdaya meskipun memiliki segalanya.
Aku mendekat, meraih tangannya dengan mata berkaca-kaca. Pemilik tangan ini adalah orang paling terluka. Selalu mencintai dan berusaha melindungiku.
"Selama apapun aku akan menunggumu."
Pada akhirnya air mataku menetes juga, perlahan kepalaku mendongak menatap wajahnya yang jauh lebih tinggi dariku, dia tidak menepis tanganku dan malah mengalihkan pandangan.
"Kau tidak perlu menungguku. Kejar saja impianmu," jawabnya dengan sikap dingin.
Aku tahu dia berusaha menahan diri, sama sepertiku saat ini. Deburan ombak membuat suasana menjadi hening untuk beberapa saat.
"Sebelum tahu kenyataan, aku sangat membenci diriku sendiri karena tetap mencintaimu meski sudah dicampakkan. Aku juga berusaha membencimu karena berpikir bahwa kamu lebih memilih harta dibanding hubungan kita.
"Sekarang aku lega karena rasa cinta ini bukan untuk orang yang salah. Jangan menyuruhku melupakanmu, karena itu menyakitiku."
"Apa kau sadar dengan ucapanmu?"
"Aku sangat sadar."
"Masa depanmu masih panjang, akan ada banyak pria yang kau temui nanti. Jangan menunggu aku yang tidak pasti."
"Rasa cintaku pasti, rasa sakit di dadaku pasti, rasa rindu yang membuat sesak juga pasti," jawabku.
"Kalau melupakanku membuat hatimu sakit, maka jangan lupakan aku. Tapi juga jangan menungguku, kau bebas memilih pergi atau tetap tinggal. Aku tidak akan pernah mengekangmu."
"Aku akan menunggumu dan itu pilihanku."
Ravin mengembuskan napas berat, perlahan meraih pipiku. Menghapus air mata di sana. Dia menyerah dengan sikapku yang keras kepala.
"Aku nggak suka ngeliat kamu nangis," katanya sembari tersenyum.
"Aku nggak bakal nangis lagi."
"Tepati, kamu nggak boleh nangis lagi."
"Kalau kangen aku pasti nangis. Eh, tapi, berarti aku nunggu suami orang dong. Dosa nggak sih, aku kayak gitu?"
Bibirnya menyungging, sedikit tertawa. "Aku dan Valerie bahkan tidak akan tinggal serumah. Kalau pun kami memiliki anak, itu pasti program. Dia juga bebas punya pria lain. Pernikahanku dan dia hanya formalitas di atas kertas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Presdir? END
Romance(FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Bukan karena cinta, perjodohan, ataupun janin yang butuh status. Tapi Kenapa aku bisa menikah dengan dia? Pagi itu ketika aku membuka mata, aku terkejut melihat seorang pria tampan sedang tertidur pulas di sampingku. Bul...