Dingin, hujan masih deras di luar. Okis menolak dibawa ke rumah sakit. Tetapi untungnya dia mau diajak pulang. Aku melihat jam di ponsel, waktu menunjukkan pukul satu malam. Kami masih berada di dalam mobil menuju rumah.
Walaupun AC mobil sudah dimatikan dan aku memakai handuk yang diberikan pengawal akan tetapi rasa dingin itu masih menyusup ke dalam kulit, aku menggigil.
Mata kami saling bertatapan ketika tak sengaja melirik, Okis segera memalingkan wajah melihat ke luar jendela. Derasnya hujan mengguyur Jakarta Selatan, aku berharap tidak akan ada banjir.
Masalah banjir masih saja membuat resah di saat musim hujan seperti ini, aku selalu teringat kepada para gelandangan yang tidak memiliki tempat tinggal setiap kali hujan deras di tengah malam.
Kedinginan dan tak ada tempat berteduh, bukan tak ingin berubah. Mereka juga sudah berusaha. Akan tetapi lapangan pekerjaan dan perhatian pemerintah menjadi faktor utama. Pendidikan rendah juga menjadi alasan angka kemiskinan semakin tinggi.
Mobil memasuki area rumah, gerbang hitam tinggi menjulang. Rumah megah dengan air mancur tepat di tengah halaman. Lampu menyala terang. Tempat berteduh yang diimpikan banyak orang sampai lupa caranya bersyukur dan menghargai orang yang bahkan kesulitan menepis rasa dingin akibat hujan.
"Hati-hati turunnya, Nyonya," kata pengawal setelah membukakan pintu.
Aku melangkah keluar dari mobil, langsung disambut pelayan dengan handuk kering. Mataku melirik ke Okis sebelum masuk ke dalam. Anak itu masih saja diam.
"Okis, nanti makan mie instan bareng, yuk? Aku tunggu di dapur ya setelah ganti baju."
Dia mengabaikan ucapanku dan berlalu begitu saja, susah sekali mendekati anak itu. Tetapi bukan Rimay namanya jika begini saja sudah menyerah.
Aku berjalan menuju kamar untuk mandi dan berganti baju. Memakai baju tidur yang tadi, kali ini didobel dengan jaket merah muda. Dingin.
Presdir masih tidur, waktu menunjukkan pukul setengah dua pagi. Walaupun mengantuk tetapi aku sudah membuat janji akan makan mie bersama Okis. Memang anak itu tidak menjawab tetapi tidak ada salahnya aku tetap ke dapur.
Aku membuat mie instan sendiri tanpa bantuan pelayan. Ini sudah malam, jam istirahat mereka terganggu gara-gara aku. Jadi menyuruh mereka istirahat adalah tindakan yang benar. Lagi pula hanya masak mie, siapa mahasiwa yang sering makan di kos-kosan tidak bisa masak mie sendiri? Mie instan sudah mendarah daging.
Sampai mie matang dan siap makan, Okis belum juga tampak. Aku masih menunggu sampai jam dua pagi. Rasa kantuk menyerbu. Ya ampun. Rasanya mataku lengket dan ingin terpejam.
"Kau bodoh? Kenapa tidak langsung tidur?"
Suara Okis menghentikan pejaman mataku, anak itu akhirnya datang. Aku pun tersenyum cerah. Sekeras-kerasnya batu jika ditetesi air terus menerus sudah pasti akan berlubang juga. Seperti Okis, hatinya yang keras terhadapku perlahan akan lunak.
"Ayo makan mie. Aku sudah menunggumu."
Aku berdiri, mengambilkan mie instan yang masih ada di panci kecil tepat di depan kami.
Setelah mendengus kesal akhirnya Okis duduk di sampingku, tangannya disilangkan menunjukkan keangkuhan.
"Ayo cepat dimakan."
Kini tepat di depannya ada semangkok mie instan rasa ayam bawang dan dicampur dengan satu telur.
Keningnya mengernyit setelah melihat mangkok mie itu. "Makanan rakyat jelata."
Rasanya seperti melihat duplikat Presdir. Pedas sekali ucapannya itu, apakah Mama mertua dulu hobi makan cemilan cabai ketika mengandung mereka? Sungguh membuat tekanan darahku bisa naik menghadapi dua orang dengan mulut sepedas ini.
"Ayo coba dulu, makanan rakyat jelata juga enak kok."
Aku mengambil mangkok dan mengisinya dengan mie yang lebih banyak dari Okis, mulai memakannya tanpa memperdulikan Okis yang hanya mengamati. Biarlah, jangan pedulikan dia. Aku akan makan makanan rakyat jelata yang nikmat ini.
Meniupnya sebelum memakan, aku menikmati suapan pertama mie instan rasa ayam bawang. Rasa masyarakat yang bersahabat dengan kantong.
"Ambilkan lagi," ucap Okis membuatku menoleh samping.
Mangkoknya kosong, isinya kemana? Aku melihat ke bawah meja. Tak ada apapun. Apa dia membuangnya? Keningku berkerut, kemudian melihat ke arah bibinya yang berminyak.
"Gue hanya ingin bermurah hati makanya gue makan."
Benar-bener anak ini gengsinya setinggi langit. Aku pun mengambilkan lagi mie instan yang masih tersisa di panci.
"Terima kasih atas kemurahan hati Tuan Muda," ucapku dengan nada bercanda.
Saat itu juga kami sama-sama menahan tawa. Jika didekati pelan-pelan ternyata Okis tak semanakutkan seperti pertama kali bertemu. Apakah Presdir juga sama? Bukankah mereka saudara dan sifatnya mirip. Tiba-tiba pikiran tentang Presdir menerpa.
Malam itu kami memasak mie instan lagi, kali ini dengan tiga telur. Wajah Okis masih lebam. Tetapi aku bersyukur tidak ada luka serius. Aku mengimbangi obrolannya, dia tetaplah seorang anak SMA biasa. Tak begitu sulit menyesuaikan obrolan dengan dia. Apalagi kita satu SMA. Membicarakan para guru killer cukup membuat suasana obrolan menjadi hangat.
Jam setengah empat pagi aku baru tidur. Menatap Presdir yang masih tertidur lelap tanpa tahu apa yang telah terjadi padaku malam ini.
"Apakah kalau aku mendekatimu seperti Okis, kita juga bisa dekat?" gumamku.
Dulu aku yakin orang yang aku sukai adalah Ji Ho. Hal itu karena kami setiap hari bersama dari kecil. Dia kriteria yang cocok untuk menjadi suami. Pengertian dan tahu banyak hal tentangku, rasanya nyaman berada di dekatnya.
Apakah rasa nyaman bisa dikaterogikan cinta?
Aku terlelap dengan menggenggam tangan Presdir. Tangan yang tak mungkin bisa aku gapai lagi jika ingatannya kembali. Terapinya tinggal sekali lagi. Setelah itu dia bisa mengingat semuanya.
Besok gips di kaki juga sudah dilepas sehingga Presdir bisa kembali berjalan. Walau mungkin nanti masih menggunakan tongkat.
Wajah tampan ini tidak mungkin bisa kupandang setiap hari lagi jika semua kembali normal. Aku sendiri tidak tahu perasaan apa yang kurasakan untuk Presdir. Tetapi yang pasti, aku tidak merasa takut lagi padanya.
"Dek, sudah subuh."
Ah, rasanya baru sebentar aku tidur. Bahkan belum terjun ke dunia mimpi. Senyum tampan mengawali hariku lagi, aku memegang wajahnya. Kami masih berbaring.
"Sebentar lagi ya, bangunin Adek lima menit lagi."
Kepalaku rasanya pusing, berat. Mataku sulit terbuka dan terus ingin terpejam.
Tangan dingin menepel di pipiku kemudian kening. Rasanya nyaman.
"Dek, kamu demam."
Apa? demam? Mataku sedikit terbuka. Melihat wajah panik Presdir yang memanggil pelayan. Kemudian menyelimutiku.
Pusing, aku tidak menghiraukan apapun lagi dan kembali tertidur. Ya ampun, aku belum solat subuh. Mataku terpaksa terbuka dan duduk seperti Presdir.
"Berbaring saja, Dokter akan segera datang," pintanya.
Aku melihat jam, masih jam setengah lima pagi. Tak apa, berbaring sebentar lagi. Dokter pasti akan datang dengan cepat dan memberiku obat jika tidak ingin mati di tangan Presdir.
.
.
.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Presdir? END
Romance(FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Bukan karena cinta, perjodohan, ataupun janin yang butuh status. Tapi Kenapa aku bisa menikah dengan dia? Pagi itu ketika aku membuka mata, aku terkejut melihat seorang pria tampan sedang tertidur pulas di sampingku. Bul...