56. Makanan

22.6K 3.8K 584
                                    

Ramaikan lewat komen ya gengs 🤧
.
.
.
.
.

Asap mengepul dari kuah bakso, aroma tercium wangi. Bibirku mengembang, mulai mengaduk isi mangkok supaya sambalnya merata. Perlahan mencicipi menggunakan sendok.

"Aku akan traktir hari ini, makan aja sepuasnya." Jiho mengeluarkan dompet. Terlihat uang ratusan ribu di sana.

"Kamu mau es nggak, Rim. Aku ambilin ya?" tanya Vio.

"Udah nggak usah, kalian makan aja. Ntar dingin nggak enak."

Vio memelukku dari samping, membuat kuah bakso di sendok bergoyang.

"Pokoknya hari ini aku bakal menemenin kamu seharian," ujarnya.

"Aku juga bakal nemenin kalian, habis solat dhuhur kita ke Ancol yuk?" Ajak Jiho.

"Kalian memang yang terbaik, udah cepet makan." Aku menunjuk mangkok mereka.

"Kamu nggak papa 'kan? Nggak sedih kan?" Tanya Vio lagi.

Kali ini aku langsung memakan satu pentol bakso berukuran kecil, berusaha menguyahnya secepat mungkin supaya lupa dengan perasaan hatiku Tidak menjawab pertanyaan Vio. Mataku berkaca-kaca.

"Rimay itu kuat, nggak mungkin sedih cuma karena mantan. Iya, 'kan?"

Ekspektasi mereka padaku terlalu tinggi, setiap mendengar kabar tentang pernikahan Presdir, hatiku selalu nyeri. Berusaha mengalihkan perhatian pada hal lain.

Sama seperti sekarang, pura-pura baik-baik saja dengan lahap memakan bakso. Seolah aku orang paling kuat sedunia.

Kenyataannya semua ini kebohongan, aku bahkan tidak bisa merasakan pentol bakso. Apakah ini sedap atau tidak, semua terasa pahit. Sama seperti perasaanku saat ini.

Aku menoleh ke arah Vio, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

"Orang yang aku cintai hari ini nikah, mana mungkin aku nggak sedih?"

Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes juga, Vio langsung memelukku. Ikut menangis bersama seakan ikut merasakan sakit hati.

Hatiku seakan hancur ketika melihat Presdir menikah dengan Dokter Valerie dan disiarkan di seluruh media. Pesta pernikahan yang sesungguhnya, dihadiri oleh banyak orang, memakai gaun cantik dan tuxedo. Sesuatu yang aku impikan selama menikah dengannya.

Dari pernikahan sampai perceraianku, semua terasa seperti mainan, mulai ijab kabul asal-asalan di rumah sakit. Lalu perceraian sepihak dari Presdir. Pernikahan 6 bulan terasa seperti angin lalu. Selesai begitu saja.

Namun, kenapa hatiku tak bisa seperti angin lalu juga? Kenapa ini terasa sangat sakit? Kenangan tanpa foto itu terpatri di hatiku sangat dalam.

Hingga ketika aku membuka mata, aku merasa masih ada Presdir di sampingku. Perpisahan ini seperti mimpi. Lebih tepatnya aku berharap bahwa ini hanyalah mimpi.

Padahal berpisah adalah keputusanku sendiri, tidak mau melihat Presdir menikah dengan orang lain di saat kami masih bersama. Kupikir setelah berpisah, perasaan cinta bisa memudar. Tapi kenapa malah semakin kental? Aku sungguh tidak bisa mengendalikan hatiku sendiri.

"Ah, sudah kuduga dari awal si Presdir sialan itu memang kampret." Jiho ikut emosi.

Aku mengelap ingus sembari melanjutkan mengunyah bakso di mulut, melepaskan pelukan Vio.

"Ayo pergi, ayo ke Korea ketemu oppa-oppa ganteng, hiks." Aku mengatakannya dengan tangisan yang tak bisa berhenti.

"Makanya ayo cepetan selesaiin skripsi." Vio mengambil tissue lalu mengelap pipiku.

Ada Apa Dengan Presdir? ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang