Komen perparagraf ya gengs
.
.
.
***/Pintu besi itu dibuka, menampilkan atap gedung yang sangat luas. Cahaya mentari menyorot dari ufuk barat. Kicauan burung terbang di atas awan dengan bebasnya. Lalu lalang kendaraan dan kebisingan di bawah gedung dengan klakson mobil terdengar jelas. Ravin melangkah menapaki atap gedung Finansial Group, menuju Rico yang menunggunya dari tadi.
Dari kejauhan Ravin dapat melihat Rico berada di samping tembok pembatas yang tingginya sebahu. Asap rokok mengepul keluar dari bibir. Ketika dekat aroma tembakau itu mampu tercium oleh Ravin.
"Ada apa kau memanggilku ke sini?" tanya Ravin tanpa basa basi.
Rico berbalik, menghadap pemandangan kota Jakarta yang padat. Ia menghisap rokoknya lagi, mengembuskan dengan pelan asap itu sebelum menjawab pertanyaan Ravin.
"Aku sudah menemukan beberapa hacker. Tinggal menunggu empat sampai lima bulan untuk menyerang markas Pram."
"Berita bagus," respon Ravin.
"Secepatnya kirim Okis keluar negeri, bunuh Rimay atau campakkan dia. Kau pasti sadar bahwa kau tidak boleh punya kelemahan."
Rico tak berani menatap mata Ravin, sadar bahwa penderitaan sahabatnya itu adalah rasa kesepian. Tak boleh memiliki sesuatu yang disayang atau hidupnya akan terancam.
"Aku akan pikirkan cara lain, kau tahu Okis sangat menyukai sekolahnya di sini. Dan Rimay ...."
Sulit untuk mengatakan kelanjutannya, Ravin tak bisa mengakui hal yang menjadi kelemahan terbesar dalam hidupnya.
"Kau mencintainya?" Rico bertanya padahal sudah tahu jawabannya.
Mendengar itu Ravin tersenyum kecut, kenyataan yang sulit dicerna nalar. Dia tak kuasa menolak rasa yang tumbuh subur di hatinya.
"Aku akan ikut mati jika membunuh Rimay, melepaskannya pun tidak sanggup. Sepanjang hidup akan dipenuhi rasa khawatir, biarkan dia di sisiku. Hal itu malah membuatnya lebih aman."
Ravin menyenderkan punggungnya di tembok, tepat di sebelah Rico. Angin sore dengan senja mulai kembali ke peraduan menyapu mereka. Menerbangkan helaian rambut hitam nan lurus. Rico masih menikmati batang rokoknya yang tinggal setengah.
"Memangnya kau bisa mengurung Rimay di bawah tanah? Itu sama saja kau menyiksa gadis itu."
Apa yang dikatakan Rico memang benar, tapi bukan berarti Ravin bisa melepaskan atau membunuh Rimay. Sehari saja tanpa gadis itu di sisinya Ravin merasa ada bagian dari hidupnya yang hilang. Sekalipun itu sulit, Ravin akan berusaha membuat Rimay berada di sisinya dan menjadi sangat egois.
"Aku akan melindunginya, kau tenang saja. Tugasmu urus persiapan misi kita," ucap Ravin sembari menepuk pundak Rico. Setelah itu berjalan meninggalkannya sendirian di atap gedung.
Sesulit apapun Ravin akan berusaha, dia tidak akan membiarkan sesuatu menyakiti Rimay. Walaupun egois, sekarang dia akan mengikat Rimay sampai gadis itu tak akan meninggalkannya sedikitpun.
Ravin menaiki lif, tak ada yang berani masuk lif jika sang Presdir itu ada di dalam. Dikawal dua orang menuju lobi, semua orang tunduk hormat padanya. Mobil BMW hitam sudah menunggu di depan. Lengkap dengan supir yang membukakan pintu. Mobil pengawal berada di belakangnya.
Baru saja Ravin keluar dari pintu kaca, seseorang wanita menghampirinya. Cecil, salah satu sekretaris Ravin.
"Ini, Pak. Kadonya sudah siap. Cincinnya juga sudah saya selipkan di dalam."
"Taruh di jok belakang." Perintahnya.
Sudut bibir Ravin terangkat, sangat senang dengan kado yang dia persiapkan untuk Rimay. Ia membuka kancing jas sebelum masuk ke dalam mobil.
Terpacu oleh waktu, Ravin melihat ke samping keluar dari kaca mobil. Kotak kado warna merah muda tepat di sampingnya. Berisi cincin permata seharga 3 milyar yang dia beli dari Paris.
"Semoga dia suka," gumamnya.
Kini ia ingat sejak kapan hatinya tersentuh oleh Rimay, di antara para gadis yang mendekatinya karena status. Rimay hadir dengan pesona dan cara yang berbeda.
Ketika ia masih hilang ingatan dan bermanja dengan Rimay yang disangka malaikat, gadis itu selalu bercerita sebelum dia tidur sembari mengusap rambutnya dengan lembut seperti anak kecil.
Bukan tantang kisah dongeng, bukan juga tentang politik ataupun cara menjadi sukses. Tapi Rimay bercerita tentang jiwanya yang bebas. Petualangannya dalam membantu banyak orang. Di akhir cerita gadis itu selalu menambahkan hikmah.
"Pernah disakiti di masa lalu bukan berarti kita bisa jadi orang jahat di masa depan."
Itu kalimat Rimay ketika dia bercerita tentang seorang preman yang menyiksa anak jalanan hanya karena dulu dia pernah disiksa. Memang, masa kecil sangat berpengaruh pada karakter seseorang di masa depan. Tapi bukan berarti harus mengalami siklus yang sama hanya karena dendam.
Ravin menyentuh keningnya, kecupan dari Rimay sebelum tidur masih terasa di sana. Masa kecilnya yang suram, tanpa kasih sayang, terasa terobati dengan kehadiran gadis itu.
Memilikinya menjadi obsesi. Kebaikannya menjadi penutan diri. Rasa cintanya terasa hangat di hati.
Sesampainya di rumah Ravin segera mengambil kotak kado itu, membawanya masuk ke dalam dengan hati gembira. Mencari keberadaan istrinya, tak sabar memberikan kado pertama untuk gadis itu.
"Di mana Rimay?" tanya Ravin ke Pak Sabihis yang menyambutnya.
"Nyonya ada di teras belakang, Tuan," jawabnya.
Segera Ravin berjalan ke teras belakang, mencari sosok yang dia rindukan seharian ini. Melewati lampu krital yang tergantung di ruang tengah, lalu melewati kolam renang, dapur dan terus berjalan ke belakang.
Langkahnya terhenti ketika mendengar pertanyaan Okis.
"Mbak nganggep gue keluarga, 'kan? Kenapa Mbak nggak pernah cerita soal benda terlarang yang buat Mbak trauma?" tanya Okis
"Dari mana kamu tahu soal itu?"
Rimay tampak terkejut, wajahnya serius memandang sang adik ipar. Sementara itu Ravin masih terpaku dengan kotak kadonya.
"Apa itu penting? Sekarang kasih tau di mana ibu kandung yang buat lo trauma sama gaun tidur warna merah? Gue bakal bunuh tu orang!"
Rimay menggeleng, ia berjalan mendekat ke Okis. Mencoba menenangkan dengan memegang tangan pemuda berseragam putih abu-abu tersebut.
"Itu udah berlalu, nggak usah diungkit lagi. Toh, sekarang udah nggak apa-apa. Gimana pun beliau tetap ibuku." Rimay mengatakannya dengan tersenyum.
"Tapi lo masih trauma, kan?"
"Jangan dipikirkan, nanti juga sembuh."
Dengan cepat Okis memeluk Rimay, membuat gadis itu terpaku di tempat. Ia berkedip beberapa kali seperti tidak memercayai tindakan adik iparnya.
"Gue keluarga lo, kalau ada apa-apa wajib cerita ke gue. Paham?"
Mendengar itu Rimay tersenyum lalu menepuk punggung pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu.
Sementara itu Ravin melempar kotak kado ke Pak Sabihis yang berada di sebelahnya. "Buang," ucapnya.
"Ini dibuang?" tanya Pak Sabihis, belum yakin dengan pendengarannya barusan.
"Kamu tuli?!"
"Maaf, Tuan. Saya akan membuangnya."
Kado berisi gaun tidur warna merah itu terselip cincin permata, Ravin pikir Rimay akan menyukainya. Memakaikan cincin itu di saat malam pertama ketika Rimay memakai gaun tidur warna merah yang cantik. Ravin membayangkan terlalu jauh tanpa tahu kenyataan yang ada.
Pria itu berjalan cepat, memisahkan Okis yang memeluk Rimay dengan erat. Menarik gadis pujaannya hingga jatuh di dada.
"Sudah cukup adegan pelukannya," ucap Ravin ketus.
.
.
.
.
Bersambung
Jangan lupa pencet bintang ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Presdir? END
Romance(FOLLOW DULU SEBELUM BACA) Bukan karena cinta, perjodohan, ataupun janin yang butuh status. Tapi Kenapa aku bisa menikah dengan dia? Pagi itu ketika aku membuka mata, aku terkejut melihat seorang pria tampan sedang tertidur pulas di sampingku. Bul...