Hari ini ada pelajaran olah raga, dan Mai tidak bisa mengikuti pelajaran tersebut karena cedera di betisnya. Sebenarnya akibat kejadian di halaman depan sekolah, dia diperbolehkan tetap di ruang Kesehatan. Namun, Mai menyukai olah raga, jadi dia tetap datang ke lapangan basket indoor sekolah. Bangunan itu dibangun tepat disamping kafetaria.
Sebagaimana lapangan indoor lain, tempat ini cukup luas, nyaman, dingin dan sirkulasi udaranya aman. Setiap tahun pihak sekolah selalu memperhatikan kondisi tempat ini karena memang SMA Bintang terkenal akan bidang olah raganya yang bagus. Mereka selalu memenangkan perlombaan basket ataupun voli. Iya, Mai adalah salah satu dari murid teladan yang berprestasi itu. Kalau saja tidak cedera, dia benar-benar lihai memegang bola.
Gadis itu duduk di salah satu bangku kayu yang berada di pinggir lapangan. Dia tersenyum melihat seluruh teman sekelasnya mulai berkumpul di tengah bersama seorang guru olah raga pria. Guru kelas mereka masih muda dan terlihat tangguh—seperti seorang pemain sepak bola. Namanya adalah Guntur Sadewa, atau kerap dipanggil Pak Guntur.
Tubuh atletis pria ini tercetak jelas dalam kaos ketat yang dia kenakan. Masih berusia tiga puluh tahunan, belum menikah, dan sering jadi bahan obrolan gadis-gadis, itulah dirinya. Bagaimana tidak, selain punya tubuh bagus, wajahnya cukup tampan. Sudah sekitar setahunan dia bekerja di sekolah ini, dan setahun itu pula dia sering mendapat godaan dari para murid kelas dua belas.
Pak Guntur kelihatan sedang memberikan pengetahuan umum tentang permainan basket yang akan mereka lakukan. Sesekali dia bercanda sehingga membuat para murid tertawa gembira.
Mai ikut tersenyum meskipun tidak tahu mereka sedang berbicara apa. Dia hanya bisa mendengar samar-samar. Perhatiannya kemudian tersita setelah Axel masuk ke Gedung ini dengan masih mengenakan seragam biasa dan memanggul ransel serta membawa clipboard yang biasa ia pakai untuk alas menggambar. Dia langsung duduk di bangku yang berada di seberang lapangan dengan Mai.
"Gak ikut olah raga?" heran Mai memicingkan mata ke arahnya.
Pak Guntur mengatakan bahwa Axel tidak bisa ikut pelajaran olah raga karena tangannya sedang sakit. Pria itu jga menegaskan bahwa sesuai dengan surat dokter, Axel memang memiliki cedera di tulang lengan kiri.
"Jadi Axel dan Permai tidak bisa ikut pembelajaran hari ini," katanya kemudian.
"Mai," ralat Mai lirih. Dia sudah sering dipanggil Permai oleh orang yang tidak kenal baik dengan dirinya. Namanya memang indah dan unik, Permaisuri, tapi terkadang malah menjadi bahan ejekan oleh orang yang tak suka dengannya—terutama lawan dari sekolah lain ketika sedang ikut perlombaan voli.
Mai sempat mendengar itu dan tidak percaya sama sekali. Belum ada satu jam yang lalu, Axel menggendongnya sampai ke ruang Kesehatan. Bagaimana mungkin dia mengalami cedera tangan?
Dia kemudian berpikir kalau sejak dia masuk sekolah dan mengenal Axel, teman sekelasnya ini memang selalu menghiraukan segala macam pelajaran. Anehnya, dia selalu bisa memberikan alasan yang bagus—selain itu, ada surat asli dari dokter yang mendukung alasannya tidak masuk atau lolos dari pelajaran olah raga.
Setelah duduk, Axel terlihat mengambil kertas dan pena dari dalam ranselnya, kemudian menggambar kembali. Raut wajahnya selalu serius dan dipenuhi rasa tegang. Lagi-lagi dia tahu kalau Mai sedang menatapnya, jadi dia mengangkat kepala dan meliriknya balik.
Mai spontan menoleh ke sembarnag arah. Dalam hati dia jengkel, kenapa dia selalu tahu kalau dilihat!
Pelajaran olah raga dimulai. Semua murid kelihatan sibuk dengan pemanasan yang dipimpin oleh guru mereka. Selama lima belas menit pertama, pembelajaran ini berlangsung normal, dan Mai hanya memperhatikan. Akan tetapi, tiba-tiba Axel berhenti menggambar dan mendongakkan kepala—dan bersikap layaknya tengah mendengar sesuatu yang misterius.
Kenapa lagi dia?, Mai mengerutkan dahi.
Dengan ekspresi panik di wajah, Axel berdiri, lalu berlari meninggalkan tempat ini tanpa berpamitan pada guru atau siapapun. Kepergian lelaki ini membuat diri Mai makin penasaran.
Dari semua orang, gadis itu seolah hanya ingin tahu tentangnya. Dia pun menyusulnya tanpa berpamitan pula. Benaknya dipenuhi akan pertanyaan yang sama, mengapa dirinya sangat ingin tahu tentang Axel? Kenapa kepalanya mendadak dipenuhi wajah Axel? Kenapa Axel sangat misterius? Siapa dia itu? Apa tujuannya masuk sekolah ini jika dari awal tidak ada niatan bersekolah?
Ketika sudah keluar dari lapangan indoor itu, Mai bisa melihat kalau Axel berlari di lorong yang menuju ke arah halaman belakang sekolah. Ketika dia hendak mengikuti, pandangannya tersita oleh sebuah remasan kertas yang sengaja dibuang sembarangan di lantai. Itu adalah kertas yang tadi digambari oleh Axel.
"Gambaran?" Dia memungut benda itu, dan lantas membukanya. Gambaran yang tercoret di atas kerta itu membuat dada Mai berdebar seketika. Dia melotot tidak percaya saat tahu kalau sedari tadi laki-laki itu menggambar wajahnya. "Hah?"
Dia mengantongi kertas gambar tersebut, lalu pergi menyusulnya ke halaman belakang. Langkahnya sudah cukup cepat untuk orang yang sedang cedera kaki. Axel terlalu misterius, sikapnya juga berubah-ubah. Untuk memastikan hal yang sama tidak terjadi, dia sempat mencium aroma tubuhnya. Ia yakin kali ini, dia berbau sangat wangi. Semenjak dihina Axel, dia menyemprotkan dua kali lipat parfum yang biasa dia pakai.
Sayangnya, begitu tiba di tempat tujuan, dia tidak menemukan siapapun. Kondisi belakang sekolah ini tetap sepi, rimbun dan kurang terawat—melihat tembok pembatasnya saja sudah cukup ngeri.
"Kemana dia?"
Mendadak, sebuah suara di belakangnya bertanya, "nyari apa, Nona?"
Sontak saja Mai terloncat kaget, berbalik dan melotot pada orang yang mengagetkannya. Pak Guntur. Iya, tiba-tiba saja guru olah raga ini sudah berdiri di situ. Padahal tadi pria ini masih sibuk dengan pembelajarannya di lapangan.
"Pak ... Guntur ... " Mai yakin tidak mendengar ada langkah kaki mengikutinya tadi. Jelas saja dia curiga, ada yang tidak masuk akal di sini. Dia mundur selangkah demi selangkah ketika melihat kalau pria itu sedang tersenyum aneh padanya. Untuk pertama kalinya, dia melihat sosok wajah yang berbeda dari pria ini.
Pak Guntur kemudian mendekat cepat, lalu membungkam mulut Mai dengan tangan besarnya. Tidak ada kamera pengawas ataupun orang yang ada disitu. Dia jelas melakukan hal semacam ini karena sudah tahu situasi belakang sekolah dengan baik. Senyuman di bibirnya lenyap ketika dia berbisik, "harusnya kamu tetap di lapangan saja tadi."
"Emmm!" Mai panik, matanya melotot, berusaha keras berteriak, tapi tidak bisa. Ia kehabisan napas dalam hitungan detik saja. Jemari tangan Pak Guntur terlalu kuat menekan mulut dan hidungnya. Hal ini memaksanya bertingkah seperti kucing yang berkelahi. Tangannya berusaha keras mencakari tangan yang sedang membekapnya itu. Berulang kali dia juga memukul dada Pak Guntur, tapi sama sekali tidak melemahkan bungkamannya.
"Shh, shh, shh," desis Pak Guntur melirik ke berbagai arah, memastikan tidak ada yang melihat ini. "Anak baik seharusnya gak meninggalkan kelas."
"Mmmm!" Mai masih punya keinginan melawan. Ia ingin sekali bertanya, mengapa gurunya sendiri melakukan ini padanya? Ada apa sebenarnya ini?
Pak Guntur menendang betis Mai yang cedera, dan itu langsung membuat Mai kesakitan bukan main. Gadis ini semakin meronta dengan mata yang berlinang air mata. Rasa sakitnya sampai menjalar ke tulang belakang, tengkuk dan kepala.
"Kamu pasti heran, kenapa saya melakukan ini?" bisik pria itu.
Dada Mai sudah sesak, kepalanya sakit karena pasokan oksigen berkurang drastis. Sebelum kelopak matanya benar-benar menutup, dia melihat senyuman guru olah raganya mengembang lagi, dan—saking lebarnya senyuman itu sampai-sampai giginya terlihat, deretan gigi normal yang mendadak berubah menajam dan mengerikan.
Axel, panggilnya dalam hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KELABU (Werewolf Story) [END]
Teen FictionSejak kembali ke sekolah, kehadiran murid baru, Axel, selalu mengundang perhatian Mai. Gadis itu sering memperhatikannya dimanapun, kelas, kantin, halaman, dan lainnya. Axel sangat misterius. Dia selalu menghindari Mai sejak tahu gadis itu berbau ma...